Sentimen
Informasi Tambahan
Agama: Islam
Event: Zakat Fitrah
Belajar Keadilan Islam dari Syed Muhammad Naquib Al-Attas
Beritasatu.com
Jenis Media: Nasional

Jakarta, Beritasatu.com - Syed Muhammad Naquib Al-Attas, seorang filsuf dan cendekiawan muslim asal Malaysia, dikenal luas karena pemikirannya yang mendalam mengenai Islamisasi ilmu pengetahuan, tasawuf, dan metafisika Islam. Lahir pada tahun 1931, Al-Attas membawa perspektif yang khas dalam memahami berbagai konsep dasar dalam agama Islam, salah satunya adalah keadilan.
Pemikiran Al-Attas tidak dapat dipisahkan dari keyakinannya bahwa pengetahuan dan keadilan bukan hanya berfungsi sebagai prinsip moral dan sosial, tetapi juga harus dilihat dalam kerangka metafisika Islam, yang melibatkan pemahaman mendalam tentang hakikat manusia, Tuhan, dan alam semesta.
Dalam konteks Ramadan, bulan yang penuh berkah dan menjadi waktu bagi umat Muslim untuk meningkatkan ketakwaan dan menjalani ibadah dengan penuh kesadaran. pemikiran Al-Attas tentang keadilan dapat memberikan nuansa baru bersikap adil di bulan yang penuh berkah ini. Keadilan dalam pandangan Al-Attas bukan hanya soal pembagian yang adil atau pemerataan, tetapi lebih luas dari itu, yaitu tentang keseimbangan dan keselarasan dengan hukum ilahi. Ramadan sendiri merupakan waktu yang tepat untuk merefleksikan dan memperdalam pemahaman tentang keadilan, baik dalam dimensi spiritual maupun sosial.
Bagi Al-Attas, keadilan adalah, "meletakkan segala sesuatu pada tempatnya yang sesuai dalam tatanan hierarki eksistensi". Artinya, keadilan bukan hanya menyangkut kesetaraan, melainkan juga pengakuan terhadap hakikat dan tujuan setiap entitas dalam kosmos. Di bulan Ramadan ini, segala tindakan kita bisa ditujukan agar sesuai dengan tujuan ilahi. Ramadan mengajarkan umat muslim untuk memahami posisi mereka sebagai hamba (‘abd) dan khalifah di bumi, serta menghormati tujuan penciptaan yang lebih besar, yang mencakup hubungan dengan Tuhan dan dengan sesama manusia.
Al-Attas juga menekankan bahwa keadilan terkait erat dengan keseimbangan universal (mīzān), yang merupakan salah satu konsep utama dalam pemikirannya. Dalam Ramadan, umat muslim berusaha untuk menjaga keseimbangan dalam hidup mereka— baik dalam aspek ibadah, hubungan sosial, maupun pengelolaan sumber daya. Puasa, sebagai ibadah yang dilakukan selama bulan Ramadan, mengajarkan pentingnya mengatur diri dan menjaga keseimbangan antara kebutuhan jasmani dan rohani. Puasa bukan hanya sekadar menahan lapar dan dahaga, tetapi juga sebagai bentuk penyeimbangan antara hak-hak tubuh dan kewajiban spiritual.
Selain itu, dalam bulan Ramadan, umat muslim diajak untuk merenungkan kembali pengetahuan yang dimiliki. Al-Attas berpendapat bahwa ketidakadilan seringkali berasal dari kebodohan (jahl) dan ketidakmampuan untuk memahami hakikat realitas. Di bulan Ramadan, umat muslim diingatkan untuk mendalami ilmu yang dapat membawa mereka lebih dekat kepada Tuhan.
Pembelajaran selama bulan suci ini bukan hanya terbatas pada ilmu agama, tetapi juga pada pemahaman yang lebih mendalam tentang tatanan alam semesta dan hubungan antara ciptaan dan Pencipta. Sehingga, pengetahuan yang benar menjadi kunci untuk mengatasi ketidakadilan dan mencapai kesejahteraan yang sejati, baik dalam konteks pribadi maupun sosial.
Keadilan sosial dalam pandangan Al-Attas sangat terkait dengan penerapan adab dalam kehidupan sehari-hari. Ramadan adalah waktu yang sangat baik untuk melatih diri dalam berperilaku adil, baik dalam hubungan dengan Tuhan, sesama manusia, maupun alam semesta. Menghormati hak orang lain, berbagi dengan yang membutuhkan, dan menjaga etika dalam bertindak adalah bentuk implementasi dari keadilan yang diajarkan oleh Al-Attas.
Pada bulan Ramadan juga mengingatkan kita tentang pentingnya kesadaran terhadap keadilan sosial. Al-Attas mengkritik konsep keadilan yang berkembang di Barat, yang seringkali memisahkan keadilan dari Tuhan dan tujuan metafisik. Dalam konteks ini, Ramadan mengajarkan umat Muslim untuk memperkuat solidaritas sosial, berbagi rezeki, dan memastikan bahwa hak-hak mereka yang kurang mampu tidak terabaikan. Melalui zakat, sedekah, dan bentuk amal lainnya, umat Muslim dapat melaksanakan keadilan sosial yang berdasarkan pada prinsip-prinsip wahyu, bukan pada konsep konsep sekuler yang seringkali mengabaikan dimensi spiritual. Dalam QS An-Nisa: 135 Allah SWT berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاۤءَ لِلّٰهِ وَلَوْ عَلٰٓى اَنْفُسِكُمْ اَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْاَقْرَبِيْنَۚ اِنْ يَّكُنْ غَنِيًّا اَوْ فَقِيْرًا فَاللّٰهُ اَوْلٰى بِهِمَاۗ فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوٰٓى اَنْ تَعْدِلُوْاۚ وَاِنْ تَلْوٗٓا اَوْ تُعْرِضُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرًا
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak keadilan dan saksi karena Allah, walaupun kesaksian itu memberatkan dirimu sendiri, ibu bapakmu, atau kerabatmu. Jika dia (yang diberatkan dalam kesaksian) kaya atau miskin, Allah lebih layak tahu (kemaslahatan) keduanya. Maka, janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang (dari kebenaran). Jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau berpaling (enggan menjadi saksi), sesungguhnya Allah Mahateliti terhadap segala apa yang kamu kerjakan.
Sentimen: positif (100%)