Sentimen
Undefined (0%)
9 Agu 2025 : 07.30
Tokoh Terkait

Cat Tembok Nomor Terserah

9 Agu 2025 : 07.30 Views 3

Espos.id Espos.id Jenis Media: Lifestyle

Cat Tembok Nomor Terserah

Cat tembok rumah ini perlu direvisi. Entah diganti, entah hanya dilapisi warna yang sama agar tampak kembali segar. Cat yang sekarang warnanya putih gading dengan berbagai mural buatan Aira, putri kami yang berusia lima tahun.

Bayangkan saja, hamparan putih gading itu berhias merah, biru, atau hijau. Bentuknya macam-macam, yang terbanyak adalah rumah. Mungkin, karena Aira sering membuka majalah atau tabloid properti yang sengaja aku tata di sudut ruang tamu. Satu-satunya tempat yang bebas dari mural Aira adalah ruang kerjaku. Itu karena aku selalu menguncinya.

“Kalau mau ganti, jangan warna putih lagi,” ucap Rani, istriku. Tiba-tiba ia sudah di sampingku. Aku baru akan bicara soal itu dengannya. Apa ia sekarang mahir membaca pikiran? “Aku mau hijau muda pastel,” katanya lagi.

“Biru muda pastel juga bagus. Tahun lalu kita sudah pakai warna hijau muda pastel, bolehlah sekarang pakai warna kesukaanku.”

Rani menggeleng. Ia mencomot satu katalog warna cat dari rak buku. Katalog itu kiriman sebuah perusahaan cat terkemuka negeri ini sebagai sarana promosi melalui kami sebagai agen perumahan dan pengembang. Iya, aku dan Rani memang terjun di bisnis ini sebelum kami menikah. Rani menjabat sebagai manajer pemasaran, sementara aku mengurusi RAB.

Katalog itu terbuka di bagian varian warna hijau. Rani menunjuk salah satunya yang ia sebut hijau muda pastel—yang bagiku tampak seperti hijau nyaris putih―nomor dua nol tiga. Tanpa meminta izin Rani, aku menyambar katalog itu dan membuka halaman dengan varian warna biru. Kutunjuk nomor empat nol lima―biru muda pastel.

“Ini bagus,” kataku.

Akan tetapi, Rani dengan sigapnya merebut katalog itu dan kembali membuka halaman warna-warna hijau. Telunjuk berhias kuteks warna persik tegas menuding.

“Aku mau yang ini,” katanya. “Hijau itu menyegarkan semangat. Aku ingin tiap hari bisa bangun dengan energi berlimpah dan siap mengeruk uang dari mana saja.”

Aku tidak pernah meragukan Rani sebagai manajer pemasaran properti. Bisa dengan mudahnya ia menjual sebidang tanah atau bangunan yang lokasinya tidak terlalu premium dengan harga nyaris dua kali lipat. Entah ilmu apa yang ia pakai. Sialnya (atau, untungnya?), para konsumen itu setuju tanpa banyak cingcong.

Sempat aku penasaran, apakah mereka yang membeli sesuatu dari Rani tidak pernah mengajukan protes atau apalah? Kata Rani, mereka tidak akan berani. Aku setuju saja. Aku juga mengalaminya, soal ketidakberanian itu.

Bukan, bukan! Bukan soal Rani menerapkan batas harga tertinggi. Untuk apa protes kalau aku pun menikmati hasilnya? Yang aku tidak berani membantah adalah pilihan sarapan yang ia sediakan. Selalu roti isi abon tuna atau selai stroberi. Padahal, aku ingin sesekali sarapan nasi padang dengan lauk kikil yang amat berminyak.

Jadi, begitu sampai kantor—yang untungnya aku dan Rani tidak satu lantai—aku sering berdalih ingin diam sebentar di lobi. Begitu Rani hilang ditelan lift, aku segera ke belakang gedung kantor, memesan satu bungkus nasi padang, lengkap dengan lauk kikil yang amat berminyak.

“Iya, lalu dalam beberapa bulan, kadar kolesterolmu melonjak riang gembira,” kata Rani suatu hari ketika ia akhirnya tahu aku sering membeli nasi padang di kedai belakang kantor. “Teruskan kebiasaan itu, aku akan menjadi janda dengan segera. Janda muda kaya raya. Pikirkan itu, Tomi.”

Kembali ke soal cat tembok, aku benar-benar ingin biru muda pastel karena memang belum pernah mencobanya untuk rumah ini. Aku tahu warna itu akan cocok sebab aku sudah melihat hasilnya pada bangunan lain. Proyek perumahan yang terakhir aku garap banyak mendapat permintaan cat warna itu dari klien. Dari seratus rumah, lima belas di antaranya memilih biru muda pastel sebagai cat interior.

“Kita belum pernah pakai biru muda pastel untuk rumah ini, Ran. Kenapa tidak kita coba dulu? Paling tidak, untuk ruang kerjaku.”

“Ruang kerja kita,” tukas Rani. “Aku juga bekerja di situ. Ingat, kan, kalau di sana ada dua meja, dua kursi yang sering kamu sebut singgasana, dua lemari arsip besar, dua lukisan receh yang tidak pernah aku suka, serta dua set komputer. Satu milikmu, satu milikku. Jadi, ya, aku juga punya hak menentukan segala sesuatu untuk ruangan itu.”

“Bagaimana kalau sisi bagianku dicat biru muda pastel dan sisi bagianmu dicat hijau nyaris putih itu?”

Rani mendelik, membuatku merasa bodoh sudah mengajukan pertanyaan maha sensitif. Bagi Rani, satu ruangan hanya boleh dicat dengan satu warna. Kalaupun harus memakai dua warna—biasanya untuk lis plafon dan plafon itu sendiri—maka hanya boleh dipadu dengan warna putih. Putih asli, bukan turunan seperti putih tulang atau putih gading.

“Seperti ruang tamu di rumah orang tuamu itu?” sahutnya.

Aduh!

“Siapa yang punya ide merah muda dipadu dengan kuning lemon?” cecar Rani lagi. “Maksudku, apa bagusnya menyandingkan dua warna kontras yang jelas bukan satu tipe untuk tembok ruang tamu? Apa tidak kasihan dengan mata para tamu?”

“Mereka jarang menerima tamu, Ran.”

Rani mendelik lagi. Kali ini membuatku surut sekian ribu tahun cahaya ke galaksi sebelah.

“Tetap ada orang lain yang pernah berkunjung, kan? Aku, misalnya. Apa kamu tidak kasihan dengan mataku, Tom?”

Aku tidak berani menjawab. Ucapan Rani mengingatkanku akan kejadian sebelum Aira lahir. Saat itu orang tuaku mengadakan selamatan tujuh bulan kehamilan Rani. Mereka memang masih setia dengan ritual tradisional. Sebenarnya, Rani tidak mau datang, tetapi berkali-kali ibuku meneleponnya, memastikan aku dan Rani datang. Itu satu-satunya momen Rani mengalah atas diriku. Selebihnya, ya, begitulah.

“Sampai sekarang, tembok di sana masih merah muda dan kuning lemon, kan, Tom?”

“Iya,” sahutku lirih.

Aku tidak tahu siapa yang memutuskan warna cat tembok ruang tamu rumah itu. Bapak tidak pernah peduli dengan urusan domestik, bahkan untuk perkara memanggil tukang demi membenahi genteng-genteng melorot. Bapak juga tidak peduli apakah aku sudah makan atau belum sepulang sekolah.

Bapak hanya duduk di balik meja kasir warung baksonya. Ibulah yang menjadi komandan di rumah. Ibu yang mengatur urusan dapur rumah dan dapur warung, perkara sekolah aku dan adikku, sampai soal memanggil tukang untuk keperluan ini-itu. Ibu menikmati hidup di kerajaan kecilnya. Dan, Bapak tidak pernah protes.

Sekalinya aku melihat Bapak bicara agak banyak adalah ketika meja kasirnya tiba-tiba berpindah tempat. Ia mengomel seperti jutaan proyektil yang lepas dari magasin. Intinya, dengan posisi meja yang jauh di sisi dalam warung, Bapak jadi tidak leluasa mendapat embusan angin dari luar.

Ibu berdalih akan memasang kipas angin di dekat meja kasir, tetapi Bapak menolak. Bapak tidak suka angin buatan. Badannya serasa membengkak dua kali lipat karena kembung.

Penyakit itu menurun kepadaku. Aku tidak kuat terkena angin dari kipas. Maka, aku berkeras merenovasi rumahku sendiri. Kubuat banyak jendela besar di beberapa ruangan, juga menaikkan daya listrik demi memasang penyejuk udara tambahan. Aku ingat bagaimana bola mata Rani nyaris keluar dari rongganya ketika tahu aku membeli penyejuk udara untuk kamar tamu. Ruangan itu nyaris tidak dipakai karena kami jarang sekali mendapat permintaan menginap dari siapa pun, termasuk keluarga Rani sendiri.

“Jadi,” ucap Rani memecah lamunanku, “kita pakai hijau muda pastel.”

Rani lama memandangiku. Sudut-sudut bibirnya tertarik ke samping. Ia tersenyum, tetapi untuk apa?

“Dan, kamu, Tomi,” lanjutnya, “boleh memakai biru muda pastel untuk ruang kerja kita.”

Kudengar riuh tepuk tangan. Dua orang berpakaian putih-putih mendorong meja troli berisi banyak makanan.

Aduh, mereka lagi. Aku tidak suka bagian ini.

***

Dua orang berpakaian putih-putih segera menyingkirkan barang-barang dari hadapan Rani dan Tomi. Pesawat telepon mainan, sebuah majalah bekas, buku gambar beserta sekotak pensil warna, juga beberapa boneka hewan. Semua ditata kembali dalam boks besar di sudut ruangan. Mereka lalu menyiapkan meja untuk menaruh makanan di sana. Ini jadwal makan siang untuk Rani dan Tomi.

Sambil mengawasi Rani dan Tomi makan, dua orang berpakaian putih-putih itu mengobrol dengan volume rendah.

“Lihat bagaimana mereka percaya bahwa kondisi belum berubah,” kata Orang Pertama.

Orang Kedua mengangguk. “Sudah dua tahun padahal, kupikir mereka bisa pulih.”

Orang Pertama menggeleng. “Akan sulit untuk pulih, efek kejadian itu terlalu dalam bagi mereka.”

“Aku tidak habis pikir.”

Orang Pertama mendekati Rani, membetulkan posisi sendoknya sementara Tomi menatap dengan mimik luar biasa cemburu.

“Yang lelaki masih bisa cemburu,” kata Orang Kedua saat Orang Pertama kembali ke sampingnya.

“Sangat. Kelihatan sekali ia begitu mencintai istrinya. Saking cintanya, sampai ikut jadi buta dan gelap mata.”

“Sebenarnya, berapa banyak yang mereka keruk dari para calon konsumen itu?” tanya Orang Kedua. “Belum pernah aku temui kasus semacam ini. Kebanyakan orang kemari karena siksaan fisik dan verbal.”

“Bayangkan saja kamu bisa membeli sepuluh unit apartemen mewah dengan segala isinya, juga liburan ke mana pun kamu mau dengan fasilitas nomor satu,” jawab Orang Pertama

“Tidak aneh juga. Wajar kalau melihat skala bisnis mereka.”

“Begitulah. Tetapi, yang perempuan suka—kalau tidak mau disebut hobi—bermain spekulasi,” jawab Orang Pertama. “Di meja judi.”

Orang Kedua mengangguk-anguk dengan takzim.

“Untung saja anaknya pandai mengatur keuangan, termasuk beberapa aset orang tuanya. Jadi, tidak semua ludes di meja judi,” Orang Pertama menengok ke arah Orang Kedua, “dalam semalam.”

Ribut-ribut kecil terjadi di meja Rani dan Tomi.

“Sisakan ikan itu untuk Aira. Anak kita butuh protein. Sebentar lagi ia sekolah.”

“Tidak. Aku suka ikan. Punyamu saja untuk Aira.”

Keributan reda dengan konklusi dari Rani yang tak sanggup dibantah Tomi.

“Aku juga heran,” kata Orang Kedua, “mereka masih saja menganggap anak mereka berumur lima tahun, padahal gadis itu kerap kemari. Tidak sadarkah mereka bahwa anaknya baru saja menikah?”

Orang Pertama tergelak, lalu menyahut, “Aku juga tidak tahu mengapa Aira bersedia menerima lamaranku.”

 

Sekar Mayang. Tukang donat dan tukang gambar. Hidup di Bali.

 

Pengumuman Penerimaan Cerpen

Redaksi menerima kiriman cerpen dari para penulis dengan ketentuan sebagai berikut:

Naskah dikirim dalam bentuk file attachment (lampiran), bukan ditulis langsung di badan surel.
Kirim ke alamat surel [email protected].
Panjang naskah 1.200 hingga 1.700 kata.
Kirim satu naskah saja dalam satu kali Kami tidak menerima kiriman beberapa cerpen dalam satu kali kiriman lewat surel.
Pastikan naskah belum pernah dimuat di media lain.
Sertakandata-data sebagai berikut:
-Nama lengkap

-Alamat surel aktif

-Alamat media sosial

-Nomor rekening (beserta nama pemilik rekening) dan NPWP

 

Sentimen: neutral (0%)