Sentimen
Tokoh Terkait
One Piece dan Simbol Perlawanan
Espos.id
Jenis Media: Kolom

Jagat lini masa beragam platform dan pemberitaan media arus utama belakangan dipenuhi fenomena pengibaran bendera bajak laut dari serial anime One Piece.
Sopir truk yang biasanya menghiasi kendaraan dengan aksesori dan bendera merah putih saat menjelang peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia, kini menyatakan sikap tidak memasang bendera merah putih dan mengganti dengan bendera bergambar tengkorak bertopi jerami alias Jelly Roger.
Itu sebagai bentuk protes atas kebijakan pemerintah yang dinilai tidak adil bagi rakyat. Fenomena pengibaran bendera One Piece kini mendapatkan panggung publik, semakin teramplifikasi.
Banyak warga mulai memasang bendera anime itu di depan rumah, kendaraan, dan menjadikan sebagai foto profil di akun media sosial.
Bendera bajak laut di anime One Piece adalah simbol perlawanan atas ketidakadilan dan ketimpangan sosial.
Simbol perlawanan dari ruang anime itu ”dipinjam” untuk mengekspresikan kekecawaan warga terhadap pemerintah Indonesia di ruang publik.
Mungkin sebagian orang tidak mengikuti cerita seri manga asal Jepang itu, namun kegelisahan mereka bisa tersalurkan lewat simbol tersebut.
Di negara demokrasi ini, bersuara kritis terhadap penguasa jamak menjadi masalah serius. Gerakan pengibaran bendera One Piece semakin masif digemakan di ruang maya.
Itu dibarengi narasi kritis terhadap penguasa yang kini mulai lupa tugas menyejahterakan warga. Gerakan pengibaran bendera One Piece mendapatkan perhatian dari elite penguasa.
Alih-alih menerima kritik dan memperbaiki kebijakan, pemerintah malah defensif dan mengeluarkan ancaman jeratan pidana.
Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Budi Gunawan mengatakan mengibarkan bendera One Piece mengandung unsur tindak pidana.
Aksi itu dinilai mencederai kehormatan bendera merah putih. Budi Gunawan mengancam akan mengambil tindakan hukum atas pengibaran bendera One Piece, alasannya untuk melindungi martabat dan simbol negara.
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Sufmi Dasco Ahmad, yang seyogianya sebagai wakil rakyat harus menampung aspirasi rakyat, malah bersikap defensif dan melawan narasi publik.
Ia menyebut pengibaran bendera One Piece adalah upaya memecah belah persatuan dan kesatuan. Wakil rakyat Firman Soebagyo menyebut pemasangan bendera One Piece bagian dari provokasi untuk menyerang pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Para penguasa di ruang eksekutif dan legislatif tampak tak rela rakyat menggunakan hak politik untuk bersuara kritis. Selalu ada dalil untuk mencurigai gerakan-gerakan publik.
Alasannya berpotensi makar, tidak nasionalis, dibiayai asing, sampai motif yang tak masuk akal. Mereka tidak pernah curiga terhadap oligarki dan pejabat penggarong uang rakyat yang jelas-jelas merusak sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Gerakan Organik
Gerakan kritik dengan meminjam simbol bendera tengkorak One Piece merupakan gerakan organik, bukan gerakan rekayasa—apalagi berbayar—yang kerap dituduhkan penguasa.
Lembaga analisis media sosial Drone Emprit menyebut seruan memasang bendera One Piece berlangsung organik, tanpa mobilisasi tokoh atau kelompok tertentu.
Di media sosial X atau Twitter, perbincangan mengenai topik itu berlangsung secara natural karena interaksi didorong akun-akun terindikasi organik dan beragam.
Begitu juga gerakan serupa di Tiktok, berlangsung secara organik dan tidak terkoordinasi. Seharusnya kritik dan curahan perasaan publik tidak diganjar dengan serangan balik, melalui narasi tanding maupun ancaman hukum.
Seharusnya menjadi koreksi atas kebijakan yang telah dikeluarkan. Penggunaan ornamen dari budaya populer seperti bendera bajak laut jangan dimaknai sebagai bentuk makar atau ingin menggantikan bendera merah putih.
Itu cara berekspresi masyarakat secara aman di ruang publik yang kini didominasi elite politik dan ekonomi. Konsep ruang publik, menurut Jurgen Habermas, harus bebas dari sensor dan dominasi belum tercipta di negeri ini.
Warga sipil harus berekspresi dengan cara aman dan kreatif, serta bisa diterima semua kalangan. Salah satunya dengan memanfaatkan karakter budaya pop yang diganderungi masyarakat.
Harapannya, pesan yang ingin disampaikan tersebar secara luas dan berdampak terhadap kesadaran publik. Menurut Roland Barthes, dalam konteks situasi represif, simbol bisa menjadi cara yang efektif untuk menyampaikan kritik tanpa harus mengucapkan secara langsung.
Simbol bendera bajak laut yang awalnya bersifat netral tanpa konteks politik di Indonesia, kini memiliki makna kritis yang bisa membuat penguasa ”ketar-ketir”.
Tampaknya, penggunaan simbol dari budaya populer untuk membangun gerakan kritik sosial cukup efektif.
Ini bisa menjadi alternatif dalam menyampaikan kritik secara kreatif terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang tak pro rakyat.
Para penguasa, jangan reaktif atas kritik yang disampaikan rakyat! Pahami dan resapi yang dikeluhkan rakyat.
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 6 Agustus 2025. Penulis adalah Manajer Konten Solopos Media Group)
Sentimen: neutral (0%)