Sentimen
Undefined (0%)
8 Agu 2025 : 13.50
Informasi Tambahan

Event: Rezim Orde Baru

Kab/Kota: Solo

Kasus: HAM

Tokoh Terkait

Guru Sejarah dan Buku Sejarah

8 Agu 2025 : 13.50 Views 3

Espos.id Espos.id Jenis Media: Kolom

Guru Sejarah dan Buku Sejarah

Proses penyusunan buku searah nasional Indonesia yang digagas Menteri Kebudayaan Fadli Zon telah mendekati garis finis. Momentum peringatan 80 tahun kemerdekaan Indonesia yang direncanakan untuk perilisan buku tersebut sudah di depan mata. 

Masyarakat telah dikondisikan siap menerima sajian literatur yang konon akan menyempurnakan buku sejarah nasional. Di luar aspek kontroversi muatan sejarah yang dibahas dalam buku sejarah nasional Indonesia versi anyar, pemerintah lupa memperhatikan posisi guru sejarah.

Mereka yang diharapkan menyampaikan materi buku tersebut dalam pembelajaran. Suara tentang perlunya penulisan sejarah yang cermat, multiperspektif, dan holistik diserukan berbagai pihak sejak rencana penulisan ulang sejarah mencuat pada Mei 2025. 

Koran Solopos terbitan 22 Mei 2025 memaparkan dengan terperinci bahaya penulisan sejarah resmi yang rawan manipulasi. 

Ketiadaan pembahasan mengenai Kongres Perempuan 1928, penggantian terminologi prasejarah, hingga minimnya porsi sejarah pelanggaran hak asasi manusia era Orde Baru mewarnai sorotan tajam yang diarahkan pada Menteri Kebudayaan Fadli Zon. 

Penulisan sejarah resmi lazimnya diterapkan di negara bercorak otoriter. Adolf Hitler dan Park Geun-hye pernah melakukan. Siswa SMA yang kurang melek berita politik hari ini tidak akan dapat menangkap potensi kekacauan akibat munculnya buku sejarah baru tersebut.

Siswa akan menganggap kondisi negara baik-baik saja tanpa ada masalah yang berarti. Sebaliknya bagi siswa SMA yang bernalar kritis akan melihat ada kejanggalan di balik kebijakan pemerintah. 

Hal serupa terjadi dalam diri guru sejarah. Guru yang melihat kegaduhan perihal buku sejarah baru ini secara multiperspektif akan mengarahkan siswa pada tataran memahami, menganalisis, hingga mengambil sikap. 

Hal ini penting sebab proyek penulisan buku sejarah nasional Indonesia oleh Kementerian Kebudayaan tersebut memiliki banyak tanda tanya besar.

Lubang Buku Ajar

Buku ajar atau yang dikenal dengan istilah buku paket merupakan buku landasan pengetahuan bagi siswa dalam menggeluti setiap mata pelajaran. Selama ini sukar menjumpai buku ajar yang muatannya terbilang mewakili aspek lengkap. 

Contohnya adalah buku sejarah untuk SMA/MA kelas XII yang diterbitkan Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi pada 2022. 

Buku tersebut memuat empat bab, yakni perjuangan mempertahankan kemerdekaan, era demokrasi liberal-terpimpin, era Orde Baru, dan era reformasi. 

Dalam bab era demokrasi liberal-terpimpin, sayangnya, materi ketidakstabilan politik akibat ganti-ganti kabinet serta gerakan disintegrasi minim dibahas. Kebijakan kontroversial Presiden Soekarno tidak diulas sama sekali. 

Kehadiran buku sejarah anyar yang digagas negara sekarang seharusnya melengkapi muatan yang masih bolong-bolong, namun jika melihat perkembangan terkini sepertinya ekspektasi terhadap angan-angan tersebut terbilang ketinggian.

Sulit dibayangkan kondisi kelas dengan guru sejarah yang mengajar saklek isi buku ajar. Tidak benar-benar berupaya memperdalam wawasan siswa secara optimal.

Fenomena ini berpotensi diperburuk saat buku sejarah gagasan Menteri Fadli Zon disebarkan sebagai bahan pembelajaran di kelas. Telah banyak esai dan artikel yang memaparkan potensi bahaya buku sejarah anyar ini jika ditelan mentah-mentah. 

Esai itu membahas kasus pelanggaran hak asasi manusia atau HAM, peristiwa 1965, hingga penculikan aktivis pada akhir era Orde Baru yang konon akan dijumpai dalam buku tersebut. 

Koran Solopos edisi 22 Mei 2025 menjelaskan bahwa Konferensi Asia Afrika tidak ditulis dan hal ini sama artinya dengan mengingkari memori kolektif bangsa. 

Anicetus Windarto dalam rubrik Opini di Solopos terbitan 2 Juni 2025 menyebut sebagai menulis sejarah tanpa rakyat. Mendambakan satu buku sejarah yang menjangkau seluruh peristiwa dalam sejarah negeri ini yang dibahas tuntas tentu merupakan hal yang susah direalisasikan. 

Poin yang diinginkan masyarakat sesungguhnya dititikberatkan pada materi esensial yang berdampak pada munculnya kesadaran sejarah dalam diri siswa.

Istilah buku sejarah resmi versi pemerintah seharusnya tidak menggoyahkan guru sejarah terkait materi ajar. Okky Madasari dalam esainya pernah menjelaskan satu narasi dapat dianggap sebagai sejarah resmi dan lebih benar yang bergantung pada siapa yang sedang memegang kekuasaan. 

Jika sejarah ditulis untuk kepentingan penguasa, tidak mengherankan sisi gelap penguasa akan direduksi seraya menebalkan aspek glorifikasi dalam hal lainnya. 

Asvi Warman Adam dan Bambang Purwanto dalam buku Menggugat Historiografi Indonesia menegaskan bahwa pola pikir sempit terhadap sejarah akan menjauhi historiografi yang dihasilkan dari realitas manusiawi. 

Sejarah selalu berkaitan dengan fakta yang tidak dapat diingkari. Sejarah bukan dongeng yang mampu membuai pembaca dengan narasi indah dan bukan pula mitos yang mengiringi masyarakat dengan aneka kekhawatiran. 

Generasi siswa masa kini yang notabene akrab dengan dunia digital memiliki kemudahan mengakses segala informasi. Menyetir pengetahuan masyarakat dan siswa melalui buku sejarah yang terkesan pilih-pilih materi dapat disambut guru dengan tanggapan logis berbasis sumber primer serta data sekunder yang kuat.

Posisi Guru Sejarah

Guru sebagai garda terdepan mengajarkan ilmu sejarah kepada siswa diyakini akan menjadi sasaran penting dalam menyalurkan isi buku sejarah terbitan pemerintah.

Mengajarkan sejarah resmi versi pemerintah dan mengajarkan sejarah berbasis fakta tanpa tendensi serta konflik kepentingan menjadi dua opsi berseberangan yang dihadapi guru. 

Di titik inilah idealisme, kedalaman pengetahuan, dan nurani guru diuji. Sejarah tidak berbicara tentang tokoh atau peristiwa yang dilihat dari sudut pandang protagonis dan antagonis belaka.

Memandang dari banyak sisi dan mencermati zona abu-abu dalam kronologi peristiwa dan aspek ketokohan merupakan hal penting yang dapat ditularkan guru pada siswa. 

Mustahil berharap terwujud Indonesia Emas 2045 jika pola pikir yang diajarkan pada generasi muda justru tidak bermutu.

Rasanya tidak ada hal yang lebih menyedihkan dari figur guru yang tidak mampu mewariskan kompetensi yang diperlukan siswa dalam mengarungi masa depan. 

Dalam konteks buku sejarah gagasan Menteriu Fadli Zon ini kompetensi literasi guru dan siswa menjadi kunci penting yang tidak dapat ditawar. 

J. Sumardianta dan Wahyu Kris A.W. dalam buku Mendidik Generasi Z & A menuturkan bahwa literasi tidak sekadar membaca dan menulis. Literasi erat kaitannya dengan cara berpikir, cara mengolah informasi, cara bersikap, dan cara menyelesaikan masalah. 

Kemampuan berdaya pikir kritis masyarakat negeri ini sedang benar-benar diuji dalam menyikapi kontroversi buku sejarah. Berhasil tidaknya para pelajar melalui ujian ini bergantung pada posisi yang dipilih guru dalam menambatkan hati dan pikiran. 

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 6 Agustus 2025. Penulis adalah guru sejarah di SMA Regina Pacis Kota Solo)

Sentimen: neutral (0%)