Sentimen
Undefined (0%)
7 Agu 2025 : 13.56
Informasi Tambahan

Agama: Islam

Event: Rezim Orde Baru, Rezim Orde Lama

Institusi: UGM, Universitas Diponegoro

Kab/Kota: Yogyakarta

Tokoh Terkait

Identitas Gerakan Mahasiswa

7 Agu 2025 : 13.56 Views 5

Espos.id Espos.id Jenis Media: Kolom

Identitas Gerakan Mahasiswa

Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Gadjah Mada atau BEM UGM, BEM Universitas Diponegoro atau Undip, dan BEM beberapa universitas lain memyatakan keluar dari Aliansi BEM Seluruh Indonesia (SI) Kerakyatan. Pilihan mereka ini menjadi sorotan publik.

Sejak dulu aktivis dianggap sebagai garda terdepan yang tampil menyampaikan sikap kritis. Hal ini tentu saja perlu dijaga agar nilai-nilai yang dimiliki seorang aktivis tidak terkikis.

Fenomena sejumlah BEM universitas keluar dari Alians BEM SI Kerakyatan membuka perbincangan lebih luas mengenai independensi gerakan mahasiswa dan pentingnya menjaga jarak dari kekuasaan. 

Sejak era Orde Lama hingga kini, sejarah mencatat bahwa gerakan mahasiswa yang kuat adalah gerakan yang tidak larut dalam pelukan kekuasaan. Mahasiswa tampil sebagai kekuatan moral atau moral force yang mampu mengguncang status quo ketika negara mulai abai terhadap kemaslahatan rakyat.

Kita bisa membaca peristiwa pada 1966 ketika mahasiswa yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) menuntut pembubaran Partai Komunis Indonesia atau PKI dan perombakan kabinet.

Meski kemudian sebagian tokoh ditarik masuk ke dalam struktur kekuasaan Orde Baru, pada fase awal mereka masih bisa menunjukkan keberanian moral untuk mengambil sikap.

Demikian pula pada 1998, mahasiswa dari berbagai penjuru Indonesia turun ke jalan, menuntut Presiden Soeharto mundur. Mereka datang bukan sebagai pendukung partai politik atau kelompok kekuasaan tertentu, melainkan sebagai representasi kegelisahan rakyat.

Kini, ketika BEM beberapa universitas memilih untuk keluar dari aliansi nasional, muncul kekhawatiran bahwa gerakan mahasiswa terfragmentasi dan kehilangan kekuatan kolektif.

Di sisi lain, keputusan menarik diri dari suatu aliansi yang dinilai telah berkompromi terlalu jauh dengan kekuasaan juga merupakan bentuk sikap kritis.Sikap ini menunjukkan bahwa aktivisme tidak boleh bersandar pada label atau struktur, melainkan pada nilai dan prinsip.

Masalah utamanya adalah bagaimana menjaga gerakan mahasiswa tetap berada di luar orbit kekuasaan, tidak menjadi corong, tidak menjadi alat legitimasi, dan tidak tergoda pada kompromi yang mengaburkan tujuan. 

Aliansi nasional seperti Aliansi BEM SI Kerakyatan, yang pada awalnya dibentuk untuk menyatukan kekuatan mahasiswa di seluruh Indonesia, justru bisa menjadi beban ketika arah gerakan tidak lagi mencerminkan semangat independensi mahasiswa. 

Menjaga jarak dengan kekuasaan bukan berarti antipolitik atau antidialog. Menjaga jarak penting agar mahasiswa dapat bersikap objektif, mampu melihat kebijakan dari berbagai sudut pandang, dan berani menyuarakan kritik meski berhadapan dengan risiko. 

Jika terlalu dekat dengan kekuasaan, gerakan mahasiswa kehilangan fungsi korektif; jika terlalu jauh hingga apatis, mereka kehilangan relevansi sosial.

Pilihan keluar dari Aliansi BEM SI Kerakyatan bisa dibaca sebagai upaya untuk reset arah gerakan mahasiswa. Ini adalah momentum reflektif untuk kembali menegaskan bahwa mahasiswa bukan alat politik siapapun. 

Tentu keputusan ini akan menuai pro dan kontra, namun sejarah mengajarkan bahwa setiap fase penting dalam perjalanan bangsa sering kali dimulai dari sikap berani untuk ”berjarak” dari kemapanan. 

Tugas aktivis mahasiswa bukan sekadar turun ke jalan atau membuat pernyataan sikap, tetapi yang mendasar adalah keberanian untuk menjaga nurani, membangun daya kritis, dan mengawal kepentingan rakyat dengan integritas. 

Dalam dunia yang semakin penuh kompromi dan manipulasi, menjaga jarak bukan berarti pasif, melainkan cara untuk tetap jernih melihat, mendengar, dan bertindak. 

Oleh karena itulah, keputusan BEM sejumlah universitas keluar dari aliansi bisa jadi bukan bentuk kemunduran, melainkan langkah untuk kembali ke akar gerakan mahasiswa: independen, kritis, dan berpihak pada kebenaran, bukan mengekor kekuasaan. 

Soe Hok Gie pernah berkata, "Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan."

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 5 Agustus 2025. Penulis adalah mahasiswa filsafat Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Sentimen: neutral (0%)