Sentimen
Undefined (0%)
6 Agu 2025 : 14.37
Informasi Tambahan

Agama: Islam

Hewan: Ayam

Institusi: MUI

Tokoh Terkait

Sound Horeg di antara Hiburan dan Gangguan

6 Agu 2025 : 14.37 Views 12

Espos.id Espos.id Jenis Media: Kolom

Sound Horeg di antara Hiburan dan Gangguan

Sekitar 25 tahun lalu, saat saya masih SD, saya ingat betul para peternak ayam petelur di kampung saya menutupi seluruh kandang dengan terpal.  

Mereka khawatir ayam-ayam stres karena jalanan di sekitar kandang akan dilewati oleh pertunjukan drumband yang menjadi bagian karnaval peringatan hari kemerdekaan.

Para peternak percaya suara keras yang dihasilkan pertunjukan drumband itu bisa membuat ayam ketakutan, stres, dan akhirnya menurunkan produktivitas telur. 

Ingatan tentang masa itu tiba-tiba muncul di benak saya ketika fenomena sound horeg ramai belakangan ini. Suara drumband saja dianggap bising dan mengganggu, bagaimana dengan sound horeg yang volumenya bisa berkali-kali lipat lebih keras? 

Fenomena sound horeg memantik perdebatan sengit di tengah masyarakat, apalagi sejak Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur mengeluarkan fatwa yang mengharamkan penggunaan sound horeg

MUI Jawa Timur berpendapat pengeras suara super ini lebih banyak membawa mudarat atau keburukan daripada manfaat. Fatwa tersebut menuai respons beragam.

Ada yang menyambut dengan lega karena merasa terganggu selama ini, tapi banyak pula yang menilai terlalu berlebihan dan mengekang ekspresi serta hiburan masyarakat.

MUI sebagai lembaga keagamaan memiliki kewenangan moral memberikan panduan hidup berdasarkan syariat Islam. Fatwa tidak bersifat mengikat secara hukum positif, tetapi tetap memiliki bobot normatif yang kuat di kalangan umat Islam. 

Dalam kasus sound horeg, fatwa haram menjadi bentuk keprihatinan atas praktik-praktik hiburan yang melampaui batas kewajaran dari sisi moral, sosial, maupun kesehatan.

Masyarakat yang menentang fatwa tersebut merasa MUI seharusnya tidak memvonis haram secara mutlak tanpa mempertimbangkan konteks sosiokultural dan manfaat ekonomi dari fenomena sound horeg

Bagi mereka, pertunjukan itu menjadi sarana hiburan alternatif yang murah meriah, terutama di pedesaan yang akses hiburannya sangat terbatas. 

Di balik gegap gempita speaker raksasa itu, ada roda ekonomi kecil yang ikut berputar. Pedagang kaki lima kebanjiran rezeki, pemilik sound system mendapatkan job, dan orang-orang bisa menyalurkan kreativitas.

Seberapa besar manfaat itu dibandingkan dengan kerugian yang ditimbulkan? Kita perlu berpikir jernih dan adil dalam menimbang dua sisi mata uang ini. 

Tak bisa dimungkiri sound horeg membawa dampak nyata yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Salah satu yang paling mengkhawatirkan adalah dampak kesehatan, khususnya terhadap pendengaran.

Organisasi Kesehatan Dunia atau Wolrd Health Organization menetapkan ambang batas aman paparan suara adalah 60 desibel hingga 80 desibel. 

Berarti suara dalam tingkat tersebut masih bisa ditoleransi oleh pendengaran manusia tanpa risiko jangka panjang. Sound horeg kerap menghasilkan suara yang melampaui ambang batas aman tersebut. 

Sound horeg rata-rata bisa menghasilkan suara mencapai 120 desibel, bahkan dalam beberapa kasus mencapai 135 desibel. Suara 120 desibel setara dengan suara pesawat jet lepas landas dari jarak sangat dekat. 

Bisa dibayangkan betapa mengganggu suara tersebut, apalagi diperdengarkan terus-menerus dan di dekat area permukiman. Bagi bayi dan orang lanjut usia atau lansia, dampaknya bisa sangat serius. 

Bayi yang belum memiliki sistem pendengaran sempurna bisa mengalami gangguan permanen jika terus-menerus terpapar suara keras. Sementara warga lansia dengan daya tahan fisik menurun bisa mengalami stres, jantung berdebar, hingga tekanan darah tinggi. 

Belum lagi dampak psikologis bagi kelompok rentan seperti penyandang disabilitas atau mereka yang mengalami gangguan mental. Sound horeg juga terbukti merusak properti. 

Banyak warga melaporkan kaca rumah retak atau bahkan pecah akibat getaran dari dentuman bass yang kuat. Belum termasuk konflik sosial yang kerap timbul karena ketidaksepahaman antarwarga.

Alasan utama mereka yang pro terhadap sound horeg adalah menganggap pertunjukan itu sebagai ekspresi seni dan budaya baru masyarakat, layaknya dangdut koplo atau orkes keliling pada masa lampau. 

Tentu kita tidak sedang menyoal bentuk hiburan, tetapi caranya. Masyarakat berhak mencari hiburan, tetapi hak itu tidak boleh melanggar hak orang lain untuk hidup dengan tenang. 

Suara sound horeg tidak hanya terdengar oleh mereka yang ingin bersenang-senang, tapi juga oleh mereka yang sedang sakit, ingin istirahat, sedang belajar, atau hanya sekadar ingin menikmati ketenangan.

Kebisingan sound horeg telah menjelma menjadi pelanggaran hak asasi yang kasatmata. Dalam hukum positif, kebisingan yang melebihi ambang batas dapat dikategorikan sebagai pencemaran lingkungan yang bisa dikenai sanksi hukum.

Fatwa MUI Jawa Timur adalah alarm peringatan dini terhadap kegamangan regulasi dan lemahnya penegakan hukum terkait kebisingan di ruang publik. 

Meski difatwakan haram, realitas menunjukkan sound horeg masih terus eksis. Dalam beberapa kasus, penggunaannya justru meningkat. Ini menunjukkan fatwa saja tidak cukup. 

Diperlukan langkah konkret pemerintah di tingkat lokal maupun nasional untuk mengatur dan menertibkan sound horeg. Pemerintah bisa mengambil jalan tengah yang bijak. Mungkin bukan melarang total, tetapi mengatur dengan tegas.

Misalnya menetapkan zona dan waktu penggunaan sound horeg. Pertunjukan dibolehkan di lapangan terbuka yang jauh dari pemukiman serta pada jam-jam tertentu yang tidak mengganggu jam istirahat warga. 

Pelanggaran bisa dikenai sanksi administratif, bahkan pidana, jika mengakibatkan kerusakan atau gangguan kesehatan serius. Langkah semacam ini mungkin bisa menjadi solusi adil bagi semua pihak.

Dalam negara yang menjunjung tinggi kebebasan dan keberagaman, pentingmemastikan setiap bentuk ekspresi, apalagi yang bersifat kolektif, tidak mengorbankan hak dasar orang lain. 

Hiburan penting, tapi ketenangan adalah kebutuhan. Kita tidak sedang menolak gembira. Kita hanya ingin merayakan hidup dengan cara yang tidak memekakkan telinga.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 4 Agustus 2025. Penulis adalah Manajer Media Sosial Solopos Media Group)

Sentimen: neutral (0%)