Sentimen
Undefined (0%)
29 Jul 2025 : 18.13
Informasi Tambahan

BUMN: Garuda Indonesia

Institusi: ITB

Kab/Kota: bandung, Magelang, Solo

Kasus: catcalling, kekerasan seksual

Tokoh Terkait
Drajat Tri Kartono

Drajat Tri Kartono

Bukan Lagi Guru atau Orang Tua, Anak Belajar dari Figur di Media Sosial

29 Jul 2025 : 18.13 Views 11

Espos.id Espos.id Jenis Media: Lifestyle

Bukan Lagi Guru atau Orang Tua, Anak Belajar dari Figur di Media Sosial

Esposin, SOLO –  Media sosial menjadi wadah untuk mengekspresikan diri dan menunjukkan kreativitas mereka. Platform seperti Instagram dan TikTok memungkinkan pengguna untuk membuat konten visual, musik, atau tulisan yang mencerminkan identitas dan minat mereka. Dari situlah muncul sosok yang menginspirasi yang lantas menjadi idola bagi anak.

Laky Winarsa, siswa SMP Negeri di Solo mengaku mengidolakan Garuda Wisnu Satria Muda (GWSM), kelompok seni budaya jathilan yang berasal dari Desa Sumberarum, Kecamatan Tempuran, Magelang. Kelompok seni ini punya 6,19 juta subscriber YouTube,1,7 juta pengikut di TikTok, dan 677.000 pengikut di Instagram. 

"Mereka sangat keren karena bisa melestarikan budaya Jawa, apalagi belajar menari itu kan tidak gampang, butuh kerja keras. Saya sangat suka nonton konten mereka. Ada talent yang seusia saya," kata dia, kepada Espos, Selasa (22/7/2025).

Konten yang diunggah GWSM adalah salah satu contoh konten positif. Lalu, bagaimana apabila anak justru terjebak pada kreator konten negatif?

Jika konten positif menginspirasi anak untuk ikut bekerja keras atau melestarikan budaya yang adiluhung, konten bermuatan negatif seperti kekerasan, pornografi, intoleransi, atau ujaran kebencian berpotensi mendorong anak berbuat sebaliknya. 

Konten tersebut memengaruhi cara anak membentuk identitas diri, menilai orang lain, dan berelasi sosial.

Sosiolog Universitas Sebelas Maret (UNS), Drajat Tri Kartono mencontohkan, dalam konteks pornografi, anak-anak bisa menganggap perilaku seksual tanpa ikatan legal sebagai hal yang wajar. 

Pasalnya, konten semacam itu tidak menampilkan proses maupun konsekuensi seperti pernikahan, persetujuan yang sehat, atau risiko sosial.

“Nah, pemikiran anak akan langsung jumping pada kepuasan dan seksualitasnya saja. Demikian juga dengan [konten] intoleransi dan kekerasan,” katanya saat dihubungi Espos, Selasa (22/7/2025) pagi.

Dalam sebuah riset yang pernah ia garap, kasus konten intoleransi, misalnya, ada anak yang mencerna pesan atau konten intoleransi tersebut sebagai bagian dari realitas yang harus diterima.

Sementara sebagian mereka meneruskan pesan itu tanpa pemahaman, seolah menganggapnya penting hanya karena sering ditampilkan/dikonsumsi.

Hal serupa terjadi pada kekerasan verbal seperti catcalling. Anak-anak cenderung meniru konten bermuatan kekerasan seksual verbal, tanpa menyadari bahwa tindakan tersebut tergolong kekerasan dan dapat berdampak hukum dan psikologis bagi korban. Mereka juga belum memahami risiko sosial atas perilaku yang mereka tiru dari media.

Apa yang dicontohkan Drajat menegaskan bahwa konten negatif berpotensi menjauhkan anak dari pemahaman tentang tanggung jawab sosial, empati, serta kesadaran atas konsekuensi jangka panjang dari tindakan mereka.

"Memang, konten-konten negatif seperti kekerasan dan pornografi sangat berpengaruh terhadap cara anak berpikir, menilai orang lain, dan berhubungan [sosial],” tegasnya.

Figur dalam Konten Digital Bentuk Pola Pikir Anak

Selain itu, konten negatif juga turut memengaruhi pembentukan identitas dan pola relasi sosial anak. 

Menurut Drajat, identitas anak dikonstruksi secara terus-menerus. Dulu, anak belajar dari figur orang tua, guru, atau teman dekat. Dalam sosiologi disebut significant others, figur penting yang memengaruhi perkembangan anak. 

Kini, peran itu bergeser ke media dan figur-figur digital yang berfungsi sebagai perantara atau cultural intermediary.

Singkatnya, anak-anak kini lebih banyak belajar dari simbol dan figur dalam media, bukan dari lingkungan nyata. 

Figur seperti artis, gamer, karakter dalam gim, yang mereka lihat sering kali menyuguhkan simbol kenikmatan sesaat atau pelepasan emosi tanpa tanggung jawab seperti kekerasan, ujaran kasar, hingga perilaku seksual yang menyimpang dari norma.

“Ketika anak menonton [konten] seseorang memaki, berciuman di tempat umum, itu bisa membentuk persepsi mereka bahwa perilaku semacam itu normal. Ini bisa memengaruhi cara mereka bersikap dan berhubungan dalam masyarakat,” tambahnya.

Pendapat Drajat di atas sejalan dengan pemikiran Pemikir Sosial dan Kebudayaan dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Yasraf Amir Piliang, terutama dalam melihat bagaimana media digital menggeser peran lingkungan sosial nyata dalam membentuk identitas seseorang. 

Dalam bukunya Posrealitas: Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika, Yasraf menjelaskan bahwa media, termasuk internet bekerja ke arah dalam dan ke luar. Ke dalam, media menciptakan model-model sosial baru melalui representasi simbolik dalam berbagai konten digital. Ke luar, media justru “membunuh sosial” dalam arti interaksi sosial langsung tergantikan oleh realitas sosial tiruan yang hidup dan berkembang dalam layar.

Apa yang disampaikan keduanya menegaskan bahwa kini anak-anak tidak lagi menjadikan orang tua, guru, atau teman dekat sebagai inspirasi, melainkan menjadikan figur-figur dalam media sebagai panutan baru mereka. 

Dalam lanskap seperti ini, anak-anak membangun identitas, meniru perilaku, dan memaknai hubungan sosial berdasarkan simbol-simbol digital yang belum tentu sesuai dengan perkembangan psikologis dan moral lingkungan mereka. 

Upaya Lindungi Anak

Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid menginstruksikan secara langsung kepada seluruh pelaku industri gim untuk melindungi anak-anak dari konten kekerasan dan tidak ramah usia. 

Pernyataan tersebut ia sampaikan dalam Forum Indonesian Women In Game (IWIG) BeautyPlayConnect yang digelar di Bandung, Jawa Barat, Sabtu (5/7/2025).

Meutya menegaskan bahwa perlindungan anak di ruang digital menjadi prioritas pemerintah dalam mendorong pertumbuhan industri gim yang sehat dan berkelanjutan. 

Pemerintah, kata dia, telah mengambil langkah konkret melalui penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Pelindungan Anak (PP Tunas). 

Regulasi tersebut mewajibkan Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE), termasuk pengembang dan penerbit gim, untuk menerapkan klasifikasi usia secara ketat. Hal ini bertujuan membatasi akses anak terhadap konten yang belum sesuai dengan tahapan perkembangan psikologis mereka.

“Kami tidak melarang gim, tetapi kami menunda akses konten kepada pengguna yang belum cukup usia. Ini bukan soal sensor, tapi soal tanggung jawab bersama dalam menciptakan ruang digital yang aman dan sehat,” ujar Meutya seperti dikutip Espos dari laman komdigi.go.id.

Ia juga mengajak para pelaku industri gim untuk berperan aktif menciptakan ekosistem digital inklusif dan edukatif. 

Menurutnya, industri tidak hanya dituntut kreatif dalam mengembangkan konten, tetapi juga bertanggung jawab terhadap dampak sosial yang ditimbulkan.

Sentimen: neutral (0%)