Sentimen
Undefined (0%)
17 Jul 2025 : 20.04
Informasi Tambahan

BUMN: Garuda Indonesia

Event: Hari Ibu, Hari Pancasila

Institusi: UGM

Kab/Kota: Solo, Yogyakarta

Tokoh Terkait

Sejarawan Pertanyakan Efektivitas Peringatan Hari Kebudayaan 17 Oktober

17 Jul 2025 : 20.04 Views 22

Espos.id Espos.id Jenis Media: News

Sejarawan Pertanyakan Efektivitas Peringatan Hari Kebudayaan 17 Oktober

Espos.id, LEIDEN - Penetapan 17 Oktober sebagai Hari Kebudayaan dinilai tidak efektif dan bahkan bisa berarti pengulangan karena alasan latar belakangnya bersinggungan dengan peringatan hari lain yang sudah lebih dulu ada. 

Hal ini disampaikan sejarawan muda yang juga kandidat doktor ilmu sejarah di Universitas Leiden, Belanda, Pratika Rizki Dewi. Dalam serangkaian korespondensinya dengan espos.id, dia menyebut alasan pemilihan tanggal 17 Oktober sebagai Hari Kebudayaan karena merujuk pada Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 1951 yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Sukiman Wirjosandjojo pada 17 Oktober 1951 mengenai penetapan Lambang Negara Indonesia, yaitu Garuda Pancasila, dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika bisa tumpang tindih dengan peringatan Hari Lahir Pancasila yang sudah lebih dulu ada.

"Kenapa tiba-tiba ada ide ini? Bukankah kalau mau merujuk Garuda Pancasila, kita sudah punya Hari Pancasila pada 1 Juni. Kalau tujuannya untuk menekankan keberagaman, itu sudah ditekankan di Hari Pancasila. Apakah butuh hari baru untuk menekankan keberagaman Bhineka Tunggal Ika kita?" ujar dia belum lama ini.

Dia pun mempertanyakan akan seperti apa Hari Kebudayaan ini diperingati. "Memang sudah ditetapkan bahwa ini bukan hari libur nasional, namun kan harus jelas pula nanti peringatannya akan seperti apa? Apakah dengan upacara bendera di sekolah dan instansi? Apabila dengan upacara, soal kebudayaan seperti apa yang harus disampaikan pembina upacara? Lantas apa bedanya nanti dengan hari-hari peringatan lain yang juga berkaitan dengan budaya?" ujar alumnus Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada ini. 

Lebih jauh Pratika menyebut basis dari perayaan hari nasional di Indonesia ada dua, yakni hari lahir tokoh atau peringatan peristiwa. Berdasarkan SK Presiden no 316 tanggal 16 Desember 1959,  hari pendidikan diperingati setiap 2 Mei lantaran hari itu merupakan kelahiran Ki Hadjar Dewantara selaku pendiri Taman Siswa dan sudah tidak perlu diragukan lagi kontribusinya di bidang pendidikan.

"Maka ini sudah jelas mengapa kita harus memperingati hari pendidikan dan rasa nasionalisme apa yang ditanamkan dan warga Indonesia yang turut serta memperingatinya pun mempunyai rasa kebanggaan dalam mengenang perjuangan Ki Hadjar Dewantara yang menginspirasi," kata dia. 

Dia lantas memberikan contoh lain yaitu Hari Ibu yang diperingati 22 Desember. Peringatan Hari Ibu 22 Desember ditetapkan melalui Dekrit Presiden Sukarno No. 316 tahun 1959. Penetapan tersebut sebenarnya tidak terlepas dari upaya dari Sukarno untuk memperbaiki citranya di hadapan gerakan perempuan karena saat itu dia telah memadu Ibu Negara Fatmawati dengan menikahi Hartini. 

Terlepas dari kontroversi pribadi Sukarno dan motif politis di baliknya, menurut Pratika setidaknya Hari Ibu didasarkan pada penyelenggaraan Kongres Perempuan Indonesia I, 22–25 Desember 1928 di Yogyakarta. Pendasarannya pada peringatan peristiwa sejarah ini menjadi sesuatu yang jelas akarnya.

"Kalau boleh bersaran, seandainya ada motif politis atau pribadi dari Menteri Kebudayaan karena 17 Oktober juga bertepatan dengan HUT Prabowo Subianto, minimal berlakulah dengan cerdas seperti Sukarno. Pilih peristiwa yang memang berkolerasi kuat dan maknanya tidak mengulang-ulang perayaan yang ada. Misalnya kalau merujuk lambang negara, Garuda Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, apakah tidak mengulang makna dengan Hari Lahirnya Pancasila yang juga sudah bicara soal keberagaman dalam kebangsaan?" tukas dia.

Pratika lantas menyebut banyak tanggal lain yang lebih cocok untuk diperingati sebagai Hari Kebudayaan. Dia mencontohkan tanggal 5 Juli yang menjadi saat pembukaan Kongres Kebudayaan 1918. Merujuk pada  buku Bianglala Budaya, Rekam Jejak 95 Tahun Kongres Kebudayaan 1918-2013 yang diterbitkan Ditjen Kebudayaan Kemendikbud pada 2013, meski kongres pada 1918 itu masih berfokus pada pembahasan mengenai budaya Jawa, namun kongres yang diprakarsai Pangeran Prangwedono (Sri Mangkunegoro VII) di Solo ini nyatanya menjadi pendorong kongres-kongres kebudayaan lainnya yang akhirnya bermuara pada pembahasan mengenai kebudayaan nasional. 

"Isu-isu kebudayaan yang dibahas dalam kongres-kongres itu justru akan memantik diskusi yang lebih bernas jika dirangkai dengan Hari Kebudayaan semisal ditetapkan pada tanggal yang merujuk pada kongres kebudayaan pertama," ujar Pratika pula. 

 

Sentimen: neutral (0%)