Sentimen
Tokoh Terkait
Rupiah Melemah Jadi Rp16.247, Dipengaruhi Faktor Internal dan Eksternal
Espos.id
Jenis Media: Bisnis

Espos.id, JAKARTA - Nilai tukar rupiah pada penutupan perdagangan hari Rabu di Jakarta melemah sebesar 47 poin atau 0,29 persen menjadi Rp16.247 per dolar AS dari sebelumnya Rp16.200 per dollar AS.
Kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia pada hari ini juga melemah ke level Rp16.236 per dollar AS dari sebelumnya sebesar Rp16.196 per dollar AS. Sedangkan indeks dolar AS terpantau menguat 0,09% ke posisi 96,90.
Sejumlah mata uang juga melemah seperti rupee India yang melemah 0,22%, yen Jepang melemah 0,27%, peso Filipina melemah 0,07%, dan dollar Singapura melemah 0,05%. Sementara won Korea Selatan menguat 0,06%, dan yuan China menguat 0,02%. Dollar Taiwan yang menguat 0,53%.
Pengamat mata uang dan komoditas Ibrahim Assuaibi menerangkan, ada sejumlah faktor yang mempengaruhi pergerakan rupiah. Dari luar negeri, ketidakpastian atas implikasi fiskal dari RUU pemotongan pajak dan belanja yang didukung oleh Presiden AS Donald Trump. “Analisis terbaru menunjukkan RUU tersebut dapat menambah utang pemerintah hingga US$3,3 triliun selama dekade berikutnya,” katanya.
Selain itu, kemajuan mengenai kesepakatan dagang antara AS dengan India dinilai dapat membantu negara Asia Selatan menghindari tarif dagang AS yang lebih tinggi– yang akan diputuskan pekan depan.
Dari dalam negeri, posisi utang pemerintah pada akhir 2024 mencapai Rp10.269 triliun. Walaupun utang tersebut termasuk dalam utang yang besar, namun neraca pemerintah per 31 Desember 2024 mampu mencerminkan keuangan yang solid, dengan total aset Rp13.692,4 triliun, kewajiban Rp10.269 triliun, dan ekuitas Rp3.423,4 triliun. Selain itu, ekuitas negara mencapai Rp3.423,4 triliun dinilai merupakan kekuatan fiskal Indonesia dalam menghadapi sejumlah tantangan seperti ketidakpastian dan risiko global yang masih tinggi.
Ibrahim melanjutkan, Saldo Anggaran Lebih (SAL) per akhir 2024 juga tercatat sebesar Rp457,5 triliun. Jumlah tersebut turun tipis dari posisi awal tahun sebesar Rp459,5 triliun. “Penurunan tersebut terjadi seiring pemanfaatan SAL untuk pembiayaan APBN. Meski begitu, level SAL masih memadai,” katanya.
Terpisah, Kepala Ekonom Permata Bank, Josua Pardede, menilai pelemahan nilai tukar (kurs) rupiah dipengaruhi perkiraan defisit Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang melebar. “Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan bahwa defisit APBN di tahun 2025 diperkirakan melebar menjadi 2,78% dari target APBN sebesar 2,50% sebelumnya,” kata dia.
Kendati demikian, Menkeu disebut menyampaikan bahwa pemerintah masih dapat menggunakan Sisa Anggaran Lebih (SAL) sebagai penyangga, sehingga pemerintah tak perlu menambah penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) melebihi target. Pada Selasa (2/7/2025), Sri Mulyani mengajukan permohonan penggunaan SAL sebesar Rp85,6 triliun kepada DPR RI.
Outlook defisit APBN hingga akhir 2025 diproyeksikan mencapai Rp662 triliun atau setara 2,78 persen dari produk domestik bruto (PDB). Angka itu lebih tinggi dibandingkan target defisit dalam APBN 2025 yang sebesar Rp616,2 triliun atau 2,53 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Pelebaran defisit ini disebabkan oleh potensi tidak tercapainya target penerimaan negara. Total pendapatan negara diperkirakan hanya akan mencapai Rp2.865,5 triliun, atau sekitar 95,4 persen dari target dalam pagu anggaran sebesar Rp3.005,1 triliun. Untuk menghindari ketergantungan penuh pada pembiayaan melalui penerbitan utang, Menkeu berencana memanfaatkan sebagian dari SAL tahun anggaran 2024 yang tercatat Rp457,5 triliun.
Melihat dari sisi global, pelemahan kurs rupiah didorong penguatan dolar Amerika Serikat (AS) yang menguat terhadap mata uang Asia akibat rilis data Job Openings and Labor Turnover Survey (JOLTS). “Data tersebut memberikan sinyal pengetatan pasar tenaga kerja di AS,” ujar Josua.
Senada, analis Bank Woori Saudara, Rully Nova, juga mengatakan pelemahan nilai tukar rupiah karena peningkatan risiko fiskal akibat defisit anggaran pemerintah mendekati 3% dari APBN. Faktor lainnya juga berasal dari rencana penerapan bea masuk resiprokal oleh Presiden AS Donald Trump pada 9 Juli 2025.
Sentimen: neutral (0%)