Sentimen
Undefined (0%)
2 Jul 2025 : 09.50
Informasi Tambahan

Event: Pilkada Serentak

Memperbaiki Demokrasi dan Pemilu

2 Jul 2025 : 09.50 Views 11

Espos.id Espos.id Jenis Media: Kolom

Memperbaiki Demokrasi dan Pemilu

Mahkamah Konstitusi atau MK pada Kamis (26/6/2025) mengabulkan sebagian permohonan tentang pemisahan jadwal pemilihan umum atau pemilu nasional dan pemilu lokal. 

Permohonan uji materi Undang-undang Pemilu itu diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi atau Perludem. Putusan MK ini mulai berlaku pada Pemilu 2029.

MK memutuskan keserentakan penyelenggaraan pemilu, dalam hal ini pemilihan presiden, pemilihan anggota DPR, dan pemilihan anggota DPD, dipisahkan dengan pemilihan anggota DPRD tingkat provinsi/kabupaten/kota serta pemilihan kepala daerah.

Mekanisme itu berlaku mulai 2029. Putusan ini dirumuskan majelis hakim MK  setelah menerima sebagian permohonan yang diajukan Perludem tentang norma penyelenggaraan pemilu serentak.

MK menyatakan Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) Undang-undang Pemilu serta Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai ketentuan hukum mengikat secara bersyarat.

MK memerintahkan pemungutan suara diselenggarakan secara serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden dan wakil presiden.

Setelah itu, dalam waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan sejak pelantikan, memilih anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota dan gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati, dan wali kota-wakil wali kota.

Putusan MK ini apabila bandingkan dengan putusan MK sebelumnya terkesan kontradiktif. Pada 2019 MK dalam pertimbangan hukum  memberikan  panduan kepada pembentuk undang-undang untuk memilih satu dari enam model keserentakan pemilu.

Keserentakan pemilu dilaksanakan pada 2024. Pada 2025, MK memutuskan pemisahan pemilu nasional dan pemilu lokal. MK telah menetapkan salah satu model pemilu. DPR sejauh ini belum menyatakan sikap dan sedang menelaah putusan MK tersebut. 

Putusan MK ini menandai babak baru perjalanan demokrasi Indonesia. Harapan yang mengemuka adalah pemilu menjadi lebih substansial, terstruktur, dan tidak lagi membebani rakyat dan penyelenggara. 

Dampak negatif model pemilu serentak dengan ”lima kotak suara” adalah pilihan politik tidak rasional, beban kerja penyelenggara sangat berat, perekrutan calon wakil rakyat dan calon kepala daerah transaksional, hingga tenggelamnya isu-isu lokal karena dominasi pemilu nasional.

Putusan terbaru MK ini mengandung sejumlah hal penting. Pertama, Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu telah masuk dalam program legislasi nasional 2025. Ini menjadi momentum penting bagi pembuat kebijakan menindaklanjuti amanat konstitusi melalui revisi undang-undang.

Kedua, MK menegaskan pemilu lokal—yakni pilkada dan pemilihan anggota DPRD—wajib diselenggarakan secara serentak, namun terpisah dari pemilu nasional (pemilihan presiden, pemilihan anggota DPR, dan pemilihan anggota DPD). 

Putusan MK ini bersifat final dan mengikat. Konsekuensi putusan ini adalah alokasi anggaran yang akan meningkat signifikan. 

Masa transisi harus dirancang dengan matang, termasuk integrasi sistem pemilu ke dalam sistem perencanaan pembangunan nasional. Demokrasi yang sehat memang tidak murah, tapi jauh lebih mahal ketika membiarkan demokrasi rusak.

Sentimen: neutral (0%)