Sentimen
Undefined (0%)
30 Jun 2025 : 12.09
Informasi Tambahan

Institusi: Universitas Diponegoro

Kab/Kota: Pemalang, Semarang

Kasus: Pemalsuan dokumen, pengangguran

Tokoh Terkait
Abdul Kadir

Abdul Kadir

WNI Jadi Pekerja Migran, LBH Semarang: Solusi Semu Terbatasnya Lapangan Kerja

30 Jun 2025 : 12.09 Views 17

Espos.id Espos.id Jenis Media: Jateng

WNI Jadi Pekerja Migran, LBH Semarang: Solusi Semu Terbatasnya Lapangan Kerja

Esposin, SEMARANG – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang menyampaikan kritik tajam atas pernyataan Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) Abdul Kadir Karding yang menyebut bekerja di luar negeri sebagai solusi untuk menekan angka pengangguran di Jawa Tengah (Jateng).

Pernyataan itu disampaikan Karding saat peresmian Migran Center di Universitas Diponegoro, Kamis (26/6/2025).

Bagi LBH Semarang, pernyataan tersebut menunjukkan cara pandang negara yang keliru dalam menanggapi persoalan struktural ketenagakerjaan.

Menurut Kepala Bidang Buruh LBH Semarang, M. Safali, menyebut bahwa mendorong masyarakat bekerja ke luar negeri bukan solusi. Melainkan sebagai bentuk dari ketidakmampuan negara menjamin hak dasar atas pekerjaan di dalam negeri.

“Negara seperti sedang mencuci tangan. Ketika gagal menciptakan lapangan kerja yang layak, rakyat justru didorong pergi jauh, padahal perlindungan terhadap buruh migran masih lemah dan penuh risiko,” ucap M. Safali saat dikonfirmasi, Senin (30/6/2025).

LBH Semarang menyoroti bahwa pekerja migran Indonesia masih rentan terhadap berbagai bentuk pelanggaran.

Mulai dari penipuan agen, pemalsuan dokumen, kerja paksa, hingga menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO).

Regulasi Lemah, Risiko Tinggi

Menurut Safali, dorongan untuk bekerja di luar negeri seringkali tidak dibarengi dengan penguatan sistem perlindungan hukum dan sosial. Alih-alih memberi peluang, negara justru membuka ruang baru bagi eksploitasi.

Saat ini LBH Semarang bersama SBMI tengah menangani tiga kasus TPPO yang melibatkan buruh migran, termasuk satu kasus online scam di Myanmar serta dua lainnya di Pengadilan Negeri (PN) Pemalang dan Polda Jateng yang belum terselesaikan.

“Bagaimana mungkin buruh migran dijadikan solusi sementara kasus perdagangan orang terus terjadi dan belum ada pembenahan mendasar dalam regulasinya?,” herannya.

Lebih lanjut, dia juga menyoroti kondisi ekonomi-politik nasional yang tidak berpihak pada buruh. Upah murah, relokasi industri, dan fleksibilitas pasar tenaga kerja justru memperparah krisis ketenagakerjaan, bukan menyelesaikannya.

Meski P2MI mencatat total devisa dari buruh migran mencapai Rp253,3 triliun pada 2024, LBH Semarang menilai pencapaian itu tidak boleh menutupi kegagalan negara dalam menjamin kesejahteraan pekerja.

“Kita tidak bisa hanya bangga pada angka devisa, sementara nyawa dan martabat buruh migran dipertaruhkan. Negara tidak boleh menjadikan rakyatnya sebagai komoditas,” ucap Safali.

LBH Semarang juga mengingatkan bahwa dorongan menjadi buruh migran lahir dari ketimpangan ekonomi akut. Dengan mengutip data CELIOS dan ICW, Safali menyoroti bahwa kekayaan nasional hanya dikuasai segelintir elite, sebagian di antaranya justru duduk di lingkaran kekuasaan.

LBH Semarang menegaskan bahwa negara semestinya membangun sistem industri yang menjamin keberlangsungan kerja dan kesejahteraan buruh di dalam negeri. “Jangan lagi rakyat disuruh pergi karena tak punya pilihan. Pemerintah harus hadir di dalam negeri, bukan malah menyuruh rakyat meninggalkan negeri,” pungkas Safali.

Sentimen: neutral (0%)