Sentimen
Undefined (0%)
25 Jun 2025 : 09.17
Informasi Tambahan

Institusi: Universitas Indonesia

Imbas Perang Tarif, Daya Saing Indonesia Turun dari 13 ke Posisi 40

25 Jun 2025 : 09.17 Views 28

Espos.id Espos.id Jenis Media: Bisnis

Imbas Perang Tarif, Daya Saing Indonesia Turun dari 13 ke Posisi 40

Esposin, JAKARTA — Institut Internasional untuk Pengembangan Manajemen (IMD) menyatakan daya saing Indonesia yang turun 13 peringkat ke posisi 40 secara global dalam riset World Competitiveness Ranking (WCR) 2025, dikarenakan dampak dari perang tarif yang terjadi.

"Pasca pandemi, Indonesia merupakan salah satu negara dengan performa daya saing terbaik dalam peringkat WCR yang naik 11 peringkat. Kenaikan peringkat daya saing ini didongkrak dari nilai ekspor migas dan komoditi. Namun, saat ini peringkat daya saing Indonesia dan sejumlah negara Asia Tenggara anjlok imbas dari perang tarif yang ditujukan ke kawasan ini,” kata Direktur World Competitive Center (WCC) IMD Arturo Bris dalam pernyataan di Jakarta, Rabu (25/6/2025).

Dalam tiga tahun terakhir Indonesia berhasil terus memperbaiki posisi dari peringkat 44 di 2022, naik ke peringkat 34 di 2023, hingga akhirnya ada posisi 27 pada 2024. Dijelaskan dia, riset WCR 2025, mengukur tingkat daya saing 69 negara dunia menggunakan data keras dan hasil survei.

WCC memperhitungkan 262 informasi berupa 170 data eksternal dan 92 respons survei terhadap 6.162 responden eksekutif di tiap negara.

Berdasarkan survei, 66,1 persen eksekutif Indonesia menganggap kurangnya peluang ekonomi menjadi pendorong polarisasi. Artinya, masalah ekonomi mendasar seperti infrastruktur yang tidak memadai, lembaga yang lemah, dan keterbatasan talenta SDM mesti mendapat porsi perhatian yang besar.

Untuk mengatasi hal ini, Lembaga Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia yang menjadi mitra WCC dalam penelitian ini menyarankan perlunya mengembangkan tenaga kerja produktif yang mampu meningkatkan daya saing ekonomi.

Indonesia juga perlu melakukan integrasi strategi dari hulu ke hilir. Sebab, kebijakan pemerintah menjadi pendukung daya saing jangka panjang.

“Oleh karena itu, efisiensi pemerintah jangan menjadi cita-cita ideal semata, tetapi harus dipraktikkan agar bisa membangun ketahanan ekonomi dan daya tarik investasi di tahun-tahun mendatang,” kata Bris.

Disampaikan dia, untuk urusan performa ekonomi, investasi internasional ke Indonesia perlu ditingkatkan, karena turun dari peringkat 36 ke 42.

Selain itu nilai ekspor layanan komersial juga masih tergolong rendah karena ada di peringkat 63 dari 69 negara. Kekuatan performa ekonomi Indonesia ditopang oleh pertumbuhan PDB per kapita dan riil.

Terkait efisiensi pemerintah, kerangka kerja institusional mendapat rapor merah, turun dari peringkat 25 ke 51. Pemerintah perlu memperbaiki struktur biaya yang tidak efektif, kemudahan prosedur membuat perusahaan baru, cadangan mata uang asing per kapita, hingga tingkat kekuatan paspor Indonesia. Sementara kekuatan efisiensi pemerintah terletak pada pengumpulan pajak pendapatan serta orang pribadi.

Efisiensi bisnis Indonesia turun dari 14 ke 26. Hal-hal yang perlu mendapat perhatian adalah soal ketersediaan tenaga kerja asing, akses ke layanan finansial, serta tingkat produktivitas keseluruhan dan tenaga kerja.

Sementara di sektor infrastruktur yang paling perlu mendapat perhatian terkait infrastruktur teknologi yang merosot dari 32 ke 46. Penurunan ini terutama akibat rendahnya total belanja kesehatan (68 dari 69 negara), total belanja pemerintah untuk pendidikan (66), jumlah paten yang berlaku (66), hingga kecepatan bandwidth internet (66) yang hanya 28,9 Mbps dari rata-rata 138 Mbps.

Serupa dengan Indonesia, peringkat Turki juga anjlok 13 peringkat. Penurunan kedua negara ini menjadi yang terburuk dibanding negara-negara lain dalam peringkat WCR 2025. Untuk Turki, kemerosotan peringkat daya saing negara itu imbas buruknya kondisi ekonomi negara itu, khususnya terkait krisis mata uang.

Sentimen: neutral (0%)