Sentimen
Undefined (0%)
24 Jun 2025 : 18.12
Informasi Tambahan

Institusi: UIN

Mengkritik , tapi Takut Kehilangan Beasiswa

24 Jun 2025 : 18.12 Views 15

Espos.id Espos.id Jenis Media: Kolom

Mengkritik , tapi Takut Kehilangan Beasiswa

Di tengah arus demokrasi yang kian terbuka, mahasiswa masih sering berada dalam dilema: antara menyuarakan kritik terhadap pemerintah dan menjaga kenyamanan status sosial akademiknya. Salah satu bentuk kekhawatiran yang mengemuka adalah rasa takut kehilangan beasiswa jika dinilai terlalu vokal menyampaikan kritik. Pertanyaan yang kemudian muncul: apakah menjadi penerima beasiswa dari negara berarti harus tutup mata terhadap kebijakan pemerintah?

Fenomena ini menunjukkan adanya pergeseran cara pandang dalam relasi antara negara dan warganya, khususnya kalangan akademik. Beasiswa yang sejatinya bentuk komitmen negara terhadap peningkatan kualitas pendidikan, kini justru mulai dipersepsikan sebagai alat kendali sosial yang membungkam suara-suara kritis. Kekhawatiran mahasiswa akan pencabutan hak—bukan karena prestasi buruk, tetapi karena keberanian bersuara—merupakan masalah serius dalam sistem demokrasi yang sehat.

Padahal, mahasiswa memiliki peran historis sebagai kekuatan moral dan sosial yang mengawal arah kebijakan publik. Dalam sejarah Indonesia, suara mahasiswa menjadi elemen penting dalam menggerakkan perubahan besar. Gerakan mahasiswa tahun 1966, 1998, dan berbagai aksi solidaritas sosial adalah bukti bahwa peran kritis mahasiswa adalah bagian dari denyut nadi demokrasi bangsa ini. Maka sangat ironis jika hari ini, ketika demokrasi dijamin dalam konstitusi, mahasiswa justru dibayangi rasa takut untuk menyuarakan pendapat.

Kritik seharusnya tidak dilihat sebagai bentuk pembangkangan. Kritik adalah cara berpikir ilmiah, reflektif, dan progresif untuk memperbaiki kebijakan yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Seorang mahasiswa yang mengkritik tidak otomatis menjadi musuh negara. Justru, dengan kritik yang konstruktif, mahasiswa berkontribusi memperkuat kualitas pelayanan publik dan memperbaiki tata kelola pemerintahan. Tidak semua yang kritis itu oposisi, dan tidak semua yang diam berarti loyal.

Namun, realitas di lapangan tidak sesederhana itu. Mahasiswa yang vokal di media sosial atau aktif dalam forum-forum diskusi sering kali mendapatkan stigma negatif. Label seperti “radikal”, “antipemerintah”, atau “tidak tahu balas budi” kerap disematkan tanpa telaah yang adil. Hal ini membuat sebagian mahasiswa memilih jalur aman: diam atau bahkan menjadi buzzer dadakan demi mempertahankan kenyamanan.

Tentu ini berbahaya. Jika beasiswa dijadikan senjata psikologis untuk membungkam mahasiswa, maka kita tidak sedang menciptakan ruang intelektual, melainkan membentuk zona nyaman yang steril dari nalar kritis. Ruang publik akademik yang seharusnya menjadi ladang dialog dan pertukaran ide justru berisiko berubah menjadi ruang yang membatasi ekspresi dan kreativitas berpikir.

Di sinilah pentingnya kejelasan paradigma antara negara sebagai fasilitator pendidikan dan mahasiswa sebagai subjek pembelajaran. Negara perlu menegaskan bahwa beasiswa adalah hak akademik yang diberikan berdasarkan capaian prestasi, bukan berdasarkan tingkat kesetiaan pada kekuasaan. Mahasiswa pun perlu memahami bahwa menjadi penerima beasiswa bukan berarti kehilangan hak konstitusional untuk berbicara dan menyampaikan pendapat.

Lebih jauh, kampus juga harus mengambil peran sebagai pelindung kebebasan akademik. Tidak boleh ada intimidasi, baik langsung maupun terselubung, terhadap mahasiswa yang bersuara kritis. Kampus harus menjamin bahwa setiap mahasiswanya—terlepas dari status ekonomi atau sumber pendanaannya—memiliki ruang untuk berpikir bebas, menyampaikan ide, dan mengkritik kebijakan publik secara ilmiah dan argumentatif.

Kritik dari mahasiswa bukanlah bentuk pengkhianatan terhadap negara, tetapi bukti cinta terhadap negeri ini. Mahasiswa yang berani menyampaikan kebenaran meskipun pahit, adalah aset moral bangsa yang harus dirawat. Demokrasi tidak akan hidup jika nalar kritis dibungkam dan keberanian bersuara dipadamkan oleh ketakutan administratif.

Sebaliknya, pemerintah dan lembaga pemberi beasiswa pun perlu menunjukkan kedewasaan dalam berdemokrasi. Kritik yang disampaikan dengan baik justru menjadi bahan evaluasi yang berharga. Jika negara menginginkan generasi emas yang berpikir kritis dan berdaya saing global, maka negara juga harus siap menerima kritik dari mereka yang sedang dibina dalam sistem pendidikannya.

Maka menjadi sangat penting untuk menumbuhkan kembali iklim diskusi yang sehat di kalangan mahasiswa, tanpa rasa takut atau tekanan. Kita harus membedakan antara kritik yang bertanggung jawab dan fitnah yang merusak. Mahasiswa harus didorong untuk menyampaikan gagasan dengan santun, ilmiah, dan berlandaskan data. Namun di saat yang sama, negara dan lembaga pendidikan harus memberikan jaminan perlindungan terhadap kebebasan akademik.

Akhirnya, kita harus kembali pada pertanyaan mendasar: benarkah pendidikan kita sedang memerdekakan akal, atau justru membungkamnya secara halus melalui jebakan insentif? Jika beasiswa menjadi alat pengendali suara, maka kita sedang membangun peradaban tanpa keberanian. Dalam dunia yang terus berubah, keberanian intelektual adalah modal utama untuk menciptakan perubahan yang bermakna.
(Hamim Sirojuddin Al Manshur, Mahasiswa UIN Raden Mas Said Surakarta, Santri Pondok Pesantren Al Fattah Kartasura)

Sentimen: neutral (0%)