Sentimen
Undefined (0%)
24 Jun 2025 : 16.24
Informasi Tambahan

Grup Musik: APRIL

Tokoh Terkait

Apa Dampak Konflik Israel-Iran Bagi Perminyakan? Ini Analisis Mantan Wamen ESDM

24 Jun 2025 : 16.24 Views 19

Espos.id Espos.id Jenis Media: Ekonomi

Apa Dampak Konflik Israel-Iran Bagi Perminyakan? Ini Analisis Mantan Wamen ESDM

Espos.id, JAKARTA - Pecahnya konflik Israel dan Iran langsung memicu pertanyaan soal dampaknya terhadap dinamika harga minyak bumi dunia. Apalagi karena seperti dikatakan Tenaga Ahli Menteri ESDM Bidang Komersialisasi dan Transportasi Minyak dan Gas Bumi, Satya Hangga Yudha Widya Putra, Senin (23/6/2025), bahwa Indonesia adalah negara importir minyak, menyubsidi beberapa jenis BBM, dan masih memiliki banyak pembangkit listrik bertenaga diesel yang membutuhkan BBM. Jika harga minyak bumi melonjak akibat krisis, APBN tentu jadi pertaruhan karena tanggungan subsidi dan belanja energi makin besar. 

Mantan Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar pun memberi tanggapan dalam ulasan yang diunggah di akun Instagram @arcandra.tahar pada Senin (23/6/2025).  Dia mengingatkan negara-negara pengimpor minyak mentah dan LNG harus mulai memitigasi resiko terburuk yang mungkin terjadi. Naiknya harga minyak dan LNG bukan lagi masalah ketiadaan produksi tapi sudah menyentuh masalah keamanan rantai pasok. Inilah esensi dari energy security di mana untuk mengamankan kebutuhan energi, institusi negara hadir tidak saja dalam mencari sumber minyak tapi juga mengamankan rantai pasoknya.

Arcandra juga menyoroti faktor harga yang terdampak konflik. Dia menyebut harga minyak mentah Brent naik dari US$65 per barel di awal Juni menjadi US$73 pada pertengahan Juni 2025, menyusul serangan Israel ke Iran. "Kita berharap tentu fasilitas-fasilitas migas ini tidak terganggu. Namun demikian kalau ini terjadi maka akan ada sekitar 3,3 juta bopd [barrel oil per day, jumlah  barel produksi minyak mentah dalam sehari] dan sekitar 2 juta bopd ekspor dari Iran yang terhenti. Artinya sekitar 3% suplai minyak mentah dunia akan terganggu. Iran mempunyai cadangan minyak nomor 8 di dunia sementara untuk cadangan gas nomor 4," tulis Arcandra.

Jika Iran mewujudkan ancaman menutup Selat Hormuz di mulut Teluk Persia, dampaknya juga berpengaruh karena sekitar 20% ekspor minyak mentah dan 20% ekspor LNG melewati Selat Hormuz. "Kalau Iran menutup selat ini, maka dapat dibayangkan apa yang terjadi terhadap harga minyak dan LNG ke depan. Ada yang berspekulasi bahwa harga minyak mentah bisa naik di atas US$90 per barel," sebut Arcandra.

Lantas apakah hal ini juga berdampak pada Israel. Arcandra menyebut Israel punya beberapa lapangan gas yang cukup besar seperti Leviathan, Lamar, dan Karish. Ternyata produksi gas dari Israel ini selain untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri juga diekspor ke Jordania dan Mesir. Khusus untuk Mesir, seperenam kebutuhan gasnya diperolah dari Israel. Bisa dipahami bukan, kenapa Mesir seperti ogah-ogahan melawan Israel? 

Arcandra lantas mengajak pembaca meninjau dinamika harga minyak bumi dan hubungannya dengan hukum penawaran dan permintaan. Sebelum Presiden Trump mengumumkan kenaikan bea masuk besar-besaran, kondisi suplai minyak mentah sedikit di atas permintaan. Untuk menstabilkan harga, OPEC+ sudah berencana untuk memotong suplai agar harga minyak bisa pada kisaran antara US$75 dan US$80 per barel sampai akhir 2025.  Belum sempat OPEC+ melakukan rencana aksi, muncul aturan bea masuk AS yang sangat mengejutkan.

Pertanyaannya adalah apakah pada saat itu penawaran dan permintaan berubah? Arcandra menyebut, tidak. Yang berubah adalah persepsi para trader bahwa ke depan pertumbuhan ekonomi akan melambat yang mengakibatkan berkurangnya permintaan sehingga harga minyak mentah turun. Apakah persepsi ini benar? Menurut International Energi Agency (IEA), pada bulan April, Mei dan Juni, pertumbuhan permintaan memang melambat tapi secara keseluruhan permintaan tetap naik dibandingkan awal tahun.

Pecahnya konflik Israel-Iran juga memicu naiknya permintaan pada Juni, namun Arcandra menyebut persepsi trader yang menganggap permintaan pada bulan-bulan ke depan akan turun akan membuat harga juga turun. 

Arcandra juga merujuk pada tulisan Daniel Yergin dalam buku The Prize bahwa minyak dan gas bumi bisa menjadi senjata untuk mendapatkan keunggulan geopolitik . Arab Saudi pernah menerapkannya sewaktu terjadi konflik Arab-Israel 1973. Saat itu Arab Saudi menerapkan embargo minyak terhadap Amerika Serikat (AS). Akibatnya terjadi krisis energi di AS yang memicu keputusan untuk membangun Strategic Petroleum Reserve (SPR) sebagai salah satu cara untuk mencapai ketahanan energi.

Karena itu Arcandra mengingatkan semua pihak agar terus mengantisipasi berbagai perkembangan situasi, khususnya terkait energy security. Energi baru dan terbarukan masih harus terus dipersiapkan untuk menggantikan dominasi energi fosil dan masih banyak langkah alternatif lain.

 

 

Sentimen: neutral (0%)