Sentimen
Undefined (0%)
23 Jun 2025 : 20.04
Informasi Tambahan

Event: peristiwa G30S/PKI

Kab/Kota: Magelang, Semarang

Musim Kemarau Tiba, Toko Layangan Maganol Kembali Hidupkan Langit Semarang

23 Jun 2025 : 20.04 Views 8

Espos.id Espos.id Jenis Media: Jateng

Musim Kemarau Tiba, Toko Layangan Maganol Kembali Hidupkan Langit Semarang

Esposin, SEMARANG -- Setiap kali angin kemarau mulai berembus di langit Semarang, suasana kampung kembali semarak oleh suara khas benang layangan yang menggesek bambu. Di momen inilah, Toko Maganol yang telah berdiri sejak 1965, kembali menjadi buruan para pencinta layangan, dari anak-anak hingga kolektor.

Berlokasi di Jalan MT Haryono Nomor 530, toko kecil ini tetap bertahan di tengah gempuran zaman. Mulyono Sentoso, 68, generasi kedua pengelola Maganol, tersenyum puas melihat satu per satu stok benang dan layangan berpindah tangan.

“Kalau sudah musim kemarau, semua laku. Dari layangan aduan sampai benang cap lawas macam Cat Blue atau Cap Cobra,” ujar Mulyono, Senin (23/6/2025).

Dari Guru Sekolah ke Penjual Layangan

Toko Maganol memiliki sejarah panjang. Sebelum menjadi toko mainan, usaha ini bermula dari sang ayah, Tandi Mulyono, yang dulu berprofesi sebagai guru di sekolah Tionghoa. Namun, setelah peristiwa G30S/PKI, banyak sekolah etnis Tionghoa ditutup, memaksa keluarganya mencari sumber penghidupan baru.

“Orang tua saya sempat bingung. Akhirnya coba-coba jualan tembakau, roti kering, sampai onderdil sepeda. Terus lama-lama mainan, termasuk layangan,” kenang Mulyono.

Nama “Maganol” sendiri diambil dari singkatan alamat rumah mereka: Ma (MT Haryono), Ga (angka 5), dan Nol (angka 0). Nama sederhana, tapi penuh makna dan melekat di hati pelanggan lintas generasi.

Puncak Penjualan Saat Kemarau

Bagi Maganol, musim kemarau bukan sekadar perubahan cuaca. Ini adalah masa panen. Penjualan meningkat drastis saat anak-anak mulai memainkan layangan di lapangan dan gang perumahan.

“Kalau musim layangan tiba, kita bisa jual satu sampai dua bal benang per hari. Satu bal itu isinya seribu. Kami juga kirim ke banyak daerah seperti Magelang dan Jogja. Tapi paling ramai tetap di toko,” paparnya.

Harga layangan di Maganol masih sangat terjangkau, berkisar Rp1.000 hingga Rp2.000 per buah, tergantung ukuran dan kualitas. Meski era digital semakin berkembang, daya tarik mainan tradisional seperti layangan tetap bertahan.

Namun, menjalankan bisnis musiman seperti ini tak lepas dari tantangan. Salah penyimpanan bisa membuat stok rusak, terutama karena kelembapan dan kutu bambu.

“Pernah juga satu tahun penuh nggak ada musim layangan. Nggak tahu kenapa. Tapi ya tetap kita buka. Tahu-tahu anak-anak mulai main dan toko kami mulai ramai lagi,” kata Mulyono.

Bertahan di Tengah Perubahan

Sudah lebih dari enam dekade, Maganol terus bertahan. Mulyono sendiri mulai mengelola penuh toko ini sejak awal 1980-an. Meski usianya tak muda lagi, semangatnya tak pernah pudar.

“Anak saya dua. Yang sulung sudah meninggal. Kalau ada yang mau nerusin, ya syukur. Tapi semua kan nggak bisa dipaksakan,” tandasnya.

Dari rumah toko sederhana di MT Haryono, Maganol tetap berdiri. Setiap musim kemarau, ia tak hanya menjual layangan, tetapi juga menghadirkan kembali memori masa kecil, warna-warni yang menghiasi langit Semarang dan hati mereka yang pernah menjadi bocah.

Sentimen: neutral (0%)