Sentimen
Undefined (0%)
3 Jun 2025 : 17.23
Informasi Tambahan

Kab/Kota: Solo

Partai Terkait
Tokoh Terkait

Ini Cara Menyembuhkan Trauma pada Anak Korban Perceraian

3 Jun 2025 : 17.23 Views 20

Espos.id Espos.id Jenis Media: Bugar

Ini Cara Menyembuhkan Trauma pada Anak Korban Perceraian

Esposin, SOLO — Sebuah perceraian berpotensi besar menimbulkan trauma pada anak, terutama jika pasca perceraian tersebut tidak ada perhatian dan pola asuh yang baik pada anak. 

Jika hal itu terjadi, perlu upaya untuk menyembuhkan trauma tersebut. 

Psikolog Rumah Sakit (RS) JIH Solo, Lisa Adziani Hapsari, S.Psi., M.Si,Psikolog., menyampaikan untuk menyembuhkan trauma pada anak memang dibutuhkan proses dan waktu. 

Berikut ini beberapa langkah yang diperlukan untuk menghadapi trauma pada anak setelah orang tua bercerai. 

1. Pendampingan

Butuh bimbingan dan pendampingan berkelanjutan, yang tidak bisa kemudian langsung sembuh. Ketika anak sudah menunjukkan tanda-tanda trauma atau stres, orang tua mestinya peka dan segera memberikan perhatian yang lebih pada anak. 

"Harusnya orang tua sudah bisa mengidentifikasi. Misalnya biasanya anaknya diem kemudian tantrum atau perubahan perilaku lainnya, bisa jadi itu merupakan tanda stres pada anak. Harus segera dilakukan penanganan," kata dia.
 
Perlu diketahui, keluarga atau orang tua merupakan lingkungan terdekat anak. Maka orang tua yang harus bisa memberikan pertolongan pertama. Menurutnya orang tua harus bisa memahami bahwa perceraian bisa menjadi stimulus untuk trauma pada anak. Kadang ada orang tua yang meremehkan hal itu. Bahkan kemudian tidak memperhatikan anaknya.
 
"Harusnya [orang tua] memahami perceraian memunculkan trauma pada anak. Ketika bisa memahami, mereka bisa lebih waspada dengan perubahan sikap anak, terhadap apa yang dirasakan anak," lanjutnya. 

Dengan usia yang masih dini, kadang anak tidak bisa menceritakan apa yang dia rasakan. Dalam hal ini penting orang tua terus melakukan interaksi yang baik dengan anak.

Psikolog Rumah Sakit (RS) JIH Solo, Lisa Adziani Hapsari, S.Psi., M.Si,Psikolog.(Istimewa)
Psikolog Rumah Sakit (RS) JIH Solo, Lisa Adziani Hapsari, S.Psi., M.Si,Psikolog.(Istimewa)

 

2. Komunikasi

Perlu dibentuk situasi dimana anak bisa bebas menceritakan sesuatu dan mendapatkan validasi orang tua. Validasi artinya anak mendapatkan perhatian, didengarkan, dianggap penting, anak mendapatkan respons positif dari orang tua ketika bercerita, dan sebagainya. Berupaya berkomunikasi dengan baik. 

"Validasi penting untuk anak agar trauma atau emosi negatif yang berkumpul, bisa dikurangi. Tapi kalau sudah trauma, komunikasi yang terbuka perlu dilakukan. Agar anak bisa mengekspresikan diri. Pada anak yang masih muda, susah meregulasi perasaannya, sehingga anak menjadi tantrum, moody dan sebagainya," kata dia. 

Menurutnya peran orang tua sangat penting. Orang tua bisa mengajari, membimbing anak cara meregulasi perasaannya. Ketika hubungan orang tua dan anak tidak lancar, hal itu bisa meningkatkan intensitas emosi, baik pada anak maupun orang tua. 

Dalam hal ini orang tua bisa mengajarkan pada anak cara mengelola emosinya. Misalnya ketika orang tua naik emosi, orang tua bisa mengajarkan dengan mengatakan kepada anaknya bahwa dia sedang marah dan butuh waktu sebentar sebelum membicarakannya lagi. 

"Jadi mengajari bagaimana mengelola marah dengan menenangkan diri sebelum menyelesaikan masalahnya," jelasnya. 

3. Peran Ahli

Orang tua bisa mengenali kondisi ketika memang sudah meras butuh tenaga ahli. Termasuk berkomunikais dengan anak ketika untuk menghadapi persoalannya butuh peran ahli. Kemudian menyampaikan apa manfaatnya ketika melibatkan ahli dan sebagainya. 

"Jadi pertolongan pertama tentunya dilakukan orang tua, tapi jika merasa tidak mampu atau butuh bantuan ahli, orang tua bisa menyadarinya," lanjut dia.  

Sentimen: neutral (0%)