Sentimen
Informasi Tambahan
Brand/Merek: Ferrari
Club Olahraga: Bali United, Persib Bandung, PSIS Semarang, PSS Sleman
Grup Musik: APRIL
Hewan: Gajah
Kab/Kota: bandung, Semarang, Sleman, Yogyakarta
Tokoh Terkait
Dua Gol Bunuh Diri dan Krisis PSIS
Espos.id
Jenis Media: Kolom

Bali United 4, PSIS Semarang 0. Di kertas, skor itu sudah cukup menyakitkan bagi tim Mahesa Jenar. Dua dari empat gol itu bukan dicetak oleh pemain Bali, melainkan oleh para penggawa PSIS.
Dua gol bunuh diri mewarnai pembantaian PSIS di Stadion Kapten I Wayan Dipta pada pekan ke-31 Liga 1 2024/2025, tepatnya pada 1 Mei 2025. Secara berurutan bek Joao Ferrari dan Ridho Syuhada bak striker lawan malah mengarahkan tembakan ke gawang sendiri ketika berupaya menghalau umpan silang pemain Serdadu Tridatu.
Dua kali gol bunuh diri dalam 2 X 45 menit pertandingan sepak bola merupakan tragedi. Terlalu sederhana menganggap hal itu sebagai kelalaian, apalagi terjadi pada tim yang tengah dilanda krisis.
PSISI Semarang sedang dirundung masalah keuangan, pemain belum digaji, pelatih dipecat, serta atmosfer ruang ganti penuh ketidakpastian. Pertandingan itu seharusnya menjadi salah satu kesempatan terakhir bagi PSIS bangkit dan memperbaiki posisi mereka dari dasar klasemen Liga 1.
Yang terjadi justru sebaliknya. Penampilan Mahesa Jenar seperti tanpa semangat dan kurang gairah. Dua gol bunuh diri itu menjadi titik nadir dari kisruh yang selama ini terjadi di ruang ganti. Dua gol bunuh diri itu sepertinya bukan sekadar kesalahan teknis, melainkan simbol dari keputusasaan.
Sangat mungkin itu bentuk perlawanan diam dari para pemain yang merasa tak punya alasan lagi untuk berjuang. Saat tubuh mereka berada di lapangan, jiwa mereka bisa jadi sudah pergi jauh sejak gaji mereka tak dibayar berbulan-bulan.
Kasus dua gol bunuh diri itu mengingatkan pada kisah kelam Liga Indonesia satu dekade silam. Pada 2014, PSIS Semarang dan PSS Sleman terlibat dalam skandal “sepak bola gajah”, laga paling memalukan dalam sejarah sepak bola Indonesia.
Waktu itu, pada babak delapan besar Divisi Utama Grup 1 di Stadion Sasana Krida AAU Yogyakarta, dua tim saling berlomba untuk kalah. Para pemain saling mencetak gol ke gawang sendiri agar tak bertemu tim kuat di fase selanjutnya.
Sejarah itu hari ini seolah-olah terulang. Meski tidak dengan skenario sama, penuh aroma keganjilan serupa. PSIS seolah-olah bermain tanpa roh dan hanya tampil sekadar formalitas. Seolah-olah hasil tak lagi penting karena hati pemain sudah tak lagi bersama lambang Tugu Muda di dada.
Bedanya, dulu motifnya adalah strategi licik, kini motifnya adalah hilangnya profesionalisme akibat krisis internal klub yang akut. PSIS adalah klub besar dengan sejarah panjang dan basis suporter militan, tapi pada musim kompetisi ini segalanya berubah.
Tahun lalu mereka hampir menembus papan atas klasemen. Kini, saat Persib Bandung memastikan mempertahankan gelar juara, PSIS malah terbenam di dasar klasemen dengan hanya mengoleksi 25 poin dari 31 pertandingan karena tidak pernah menang dalam 11 laga terakhir.
Dua gol bunuh diri jadi bukti krisis mereka bukan hanya masalah teknis atau taktik. Petaka itu dimulai ketika penyerang andalan Carlos Fortes hengkang karena tawaran gaji lebih besar. Eksodus pemain kemudian terjadi silih berganti.
Gian Zola dan Taisei Marukawa ikut pergi. Satu per satu pemain asing pergi karena gaji tak kunjung dibayar, seperti Evandro Brandao. Brandao mencurahkan isi hati di akun Instagram bahwa gajinya empat bulan tidak dibayar.
Langkah itu disusul Roger Bonet dan Vitinho. Selain gaji tak dibayar, mereka juga cedera. Mereka tidak mendapatkan "dukungan" semestinya dari PSIS. Gaji pelatih Gilbert Agius juga belum dibayar sebelum dipecat pada 29 April 2025.
Apakah Liga 1 masih layak disebut sebagai kompetisi profesional ketika klub tak mampu membayar pemain? Apa artinya strategi, formasi, atau taktik ketika mental pemain remuk karena setiap bulan harus bertanya: Apakah gaji bulan ini akan cair?
PSIS musim ini adalah gambaran nyata kehancuran sistemik. Renovasi Stadion Jatidiri memaksa mereka bermain di luar kota, tapi masalah sesungguhnya jauh lebih dalam. Tidak ada profesionalisme di tim Mahesa Jenar.
Dua gol bunuh diri kala melawan Bali United adalah gambaran kondisi riil klub saat ini. PSIS terpuruk bukan sekadar di lapangan. Lebih dari itu, Mahesa Jenar terkapar karena kegagalan sistem dan manajemen.
Apakah dua gol bunuh diri itu murni ketidaksengajaan? Mungkin. Bisa juga tidak. Sampai manajemen PSIS mau bicara jujur, menyelesaikan tunggakan, membenahi sistem, dan meminta maaf kepada suporter, kecurigaan publik tak akan berhenti.
Dengan tiga laga tersisa dan performa seperti itu, harapan bisa bertahan di Liga 1 lebih mirip mimpi. Jika menang pada sisa pertandingan, nasib mereka tetap tergantung hasil tim lain. Akhir era PSIS di Liga 1 bisa terjadi.
Bukan berarti tidak ada jalan kembali. Dibutuhkan revolusi, bukan sekadar rotasi, untuk kembali ke kasta tertinggi. Dua gol bunuh diri PSIS di Bali bukan hanya cerita tentang kekhilafan dua pemain, namun sebuah klub bisa runtuh dari dalam.
Tentang krisis finansial bisa meracuni semangat juang, serta sejarah kelam bisa berulang jika kita abai. Jika PSIS masih ingin bertahan sebagai klub profesional, dua gol bunuh diri itu harus jadi introspeksi untuk perubahan.
Jika tidak, PSIS akan “abadi” di Liga 2 karena krisis kepercayaan dari suporter dan krisis identitas. Sepak bola bukan hanya soal menang dan kalah. Sepak bola adalah soal kebanggaan. Hari ini, PSIS kehilangan keduanya.
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 9 Mei 2025. Penulis adalah Manajer Program Solopos Media Group)
Sentimen: neutral (0%)