Sentimen
Negatif (99%)
8 Mei 2025 : 20.50
Informasi Tambahan

Institusi: Universitas Diponegoro

Kab/Kota: Semarang

Manipulasi Opini di Ruang Digital Ancam Demokrasi, Pengamat: Masyarakat Sipil Jadi Harapan Regional 8 Mei 2025

8 Mei 2025 : 20.50 Views 4

Kompas.com Kompas.com Jenis Media: Regional

Manipulasi Opini di Ruang Digital Ancam Demokrasi, Pengamat: Masyarakat Sipil Jadi Harapan
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        8 Mei 2025

Manipulasi Opini di Ruang Digital Ancam Demokrasi, Pengamat: Masyarakat Sipil Jadi Harapan Tim Redaksi SEMARANG, KOMPAS.com - Wakil Rektor Riset, Inovasi, Kerja Sama, dan Komunikasi Publik Universitas Diponegoro ( Undip ) sekaligus pengamat politik, Wijayanto mengungkap, gerakan masyarakat sipil menjadi satu-satunya harapan yang bisa menjawab tantangan demokrasi di era digital. Pasalnya ketimbang memperluas partisipasi, saat ini media sosial justru dimanfaatkan penguasa untuk membungkam suara, menyebar propaganda, dan membentuk “enklave algoritmik” yang memperkuat polarisasi emosional di masyarakat. “Ironisnya, apa yang dulu dianggap sebagai ruang bebas kini menjadi arena represi digital,” tutur Wijayanto dalam kuliah umum dan diskusi publik bertema “Memahami Politik Algoritma Sosial Media” di Ruang Teater FISIP UNDIP pada Kamis, (7/5/2025). Terlepas dari besarnya tantangan dan polarisasi di dunia digital, ia tetap optimistis dengan kekuatan masyarakat sipil yang menjadi pilar penting dalam menjaga ruang publik yang sehat. “Dalam menghadapi tsunami disinformasi dan manipulasi opini publik, masa depan demokrasi digital sangat bergantung pada siapa yang mengendalikan teknologi, serta sejauh mana masyarakat mampu membangun institusi dan norma yang menjunjung deliberasi terbuka dan inklusif,” ujar dia. Dosen Tamu dari Universitas Carleton Kanada, Prof. Merlyna Lim, membahas dalam bukunya bahwa algoritma media sosial telah menciptakan jebakan kapitalisme komunikasi yang membuat ekspresi personal diperdagangkan demi likes dan shares. "Saya juga membahas politik algoritmis yaitu politik yang memanipulasi alat-alat digital terutama algoritma media sosial dan AI dan lain-lain untuk manuver-manuver politik dalam dan memanipulasi opini publik di Asia Tenggara. Ini adalah politik yang bergerak secara tak kasatmata, lewat sistem digital yang mengatur apa yang kita lihat dan rasakan," tutur Merlyna. Merlyna memaparkan bahwa algoritma media sosial dikendalikan politisi atau penguasa yang memiliki modal besar. Kondisi ini disebut mengancam kesehatan demokrasi digital di Asia Tenggara. Ia mengungkap terdapat pergeseran persebaran konten digital dari yang semula negatif disinformasi atau manipulasi informasi negatif kepada publik menjadi disinformasi positif. Bila dalam politik amerika dikenal dengan manuver algoritma white branding, ia menyebutnya politik sundel bolong di Indonesia. Yaitu menampakkan citra cantik di dunia diigital, tapi belakangnya bolong atau memiliki rekam jejak yang suram. "Ini penggunaan alat-alat digital ya, medsos, algoritma, AI, deep fake dan lain-lain secara profesional dan didukung oleh sumber finansial yang mumpuni untuk memanipulasi pencitraan dan memainkan emosi masyarakat. Untuk mencuci citra bagi para-para political figure dan kandidat yang punya masa lalu suram atau abu-abu diciptakan (dikemas) secara baru," beber dia. Menurutnya netralitas teknologi adalah ilusi, sehingga masyarakat sipil dan akademisi perlu terus mengkritisi dan mendorong penguatan literasi digital yang lebih transformatif. Merlina menilai pentingnya membuka ruang dialog dan membongkar ilusi-ilusi digital agar masyarakat secara umum dapat lebih kritis dalam membaca teks-teks di media sosial. "Di luar si algoritmanya, sebetulnya membangun nalar kritis ya. Itu semua mungkin bisa ditanamkan di dalam sistem pendidikan baik formal maupun informal, sehingga itu bisa menjadi counter dari manipulasi algoritmis tadi. Jangan terbajak oleh algoritmic virality ya," harap dia. Peneliti sosiologi media dan politik, Nurul Hasfi, meyakini pendekatan Merlyna dalam buku tersebut menjadi refleksi kritis komunikasi politik di era digital. "Buku ini mengingatkan para elit dan negara agar lebih etis dalam menggunakan media sosial, bukan sekadar alat kampanye, tetapi juga sarana mendidik masyarakat demokratis," tutur Nurul. Copyright 2008 - 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

Sentimen: negatif (99.2%)