Sentimen
Negatif (100%)
7 Mei 2025 : 22.30
Informasi Tambahan

Kasus: KKN, korupsi, nepotisme, Tipikor

Tokoh Terkait

Setyo Budiyanto Tegaskan KPK Tetap Berwenang Tangani Tindak Pidana Korupsi di BUMN - Halaman all

7 Mei 2025 : 22.30 Views 17

Tribunnews.com Tribunnews.com Jenis Media: Nasional

Setyo Budiyanto Tegaskan KPK Tetap Berwenang Tangani Tindak Pidana Korupsi di BUMN - Halaman all

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Setyo Budiyanto menegaskan lembaganya tetap berwenang menangani tindak pidana korupsi di Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Hal ini disampaikan Setyo terkait telah disahkannya UU Nomor 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN.

Di mana dalam UU BUMN yang baru itu disebutkan Pasal 9G bahwa Anggota Direksi/Dewan Komisaris/Dewan Pengawas BUMN bukan merupakan Penyelenggara Negara.

Sehingga banyak narasi yang menyimpulkan KPK tidak lagi berwenang mengusut kasus korupsi bila menyentuh bos BUMN karena bukan lagi berstatus sebagai penyelenggara negara.

"KPK berpandangan bahwa KPK tetap memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh direksi/komisaris/pengawas di BUMN," kata Setyo dalam keterangan tertulis, Rabu (7/5/2025).

"Karena dalam konteks hukum pidana, status mereka tetap sebagai penyelenggara negara, dan kerugian yang terjadi di BUMN merupakan kerugian negara, sepanjang terdapat perbuatan melawan hukum/penyalahgunaan wewenang/penyimpangan atas prinsip Business Judgment Rule (BJR)," imbuhnya.

Setyo menyebut bahwa ketentuan Pasal 9G UU BUMN kontradiktif dengan ruang lingkup penyelenggara negara yang diatur dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 2 angka 7 beserta penjelasannya dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).

Menurutnya, keberadaan UU Nomor 28 Tahun 1999 merupakan hukum administrasi khusus berkenaan dengan pengaturan penyelenggara negara, yang memang bertujuan untuk mengurangi adanya KKN.

"Maka sangat beralasan jika dalam konteks penegakan hukum tindak pidana korupsi berkenaan dengan ketentuan penyelenggara negara, KPK berpedoman pada UU Nomor 28 Tahun 1999," kata Setyo.

Setyo turut menyoroti penjelasan Pasal 9G UU BUMN yang berbunyi, "Tidak dimaknai bahwa bukan merupakan penyelenggara negara yang menjadi pengurus BUMN statusnya sebagai penyelenggara negara akan hilang."

Menurut Setyo, ketentuan tersebut dapat dimaknai bahwa status penyelenggara negara tidak akan hilang ketika seseorang menjadi pengurus BUMN.

"Dengan demikian, KPK berkesimpulan bahwa anggota direksi/dewan komisaris/dewan pengawas BUMN tetap merupakan penyelenggara negara sesuai UU Nomor 28 Tahun 1999," ujarnya.

Oleh karena itu, kata Setyo, sebagai penyelenggara negara, maka direksi/komisaris/pengawas BUMN tetap memiliki kewajiban untuk melaporkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dan penerimaan gratifikasi.

Kerugian BUMN sebagai Kerugian Negara

KPK juga merespons soal Pasal 4B UU BUMN berkenaan dengan Kerugian BUMN bukan Kerugian Keuangan Negara, serta Pasal 4 ayat (5) berkenaan dengan modal negara pada BUMN merupakan kekayaan BUMN.

Setyo menyatakan bahwa Putusan MK Nomor 48/PUU-XI/2013 dan Nomor 62/PUU-XI/2013 yang kemudian dikuatkan Putusan MK Nomor 59/PUU-XVI/2018 dan Nomor 26/PUU-XIX/ 2021 menjadi acuan dan telah menjadi akhir dari polemik kekayaan negara yang dipisahkan.

Telah diputuskan oleh majelis hakim MK bahwa konstitusionalitas keuangan negara yang dipisahkan tetap merupakan bagian dari keuangan negara, termasuk dalam hal ini BUMN yang merupakan derivasi penguasaan negara.

Sehingga segala pengaturan di bawah UUD tidak boleh menyimpang dari tafsir konstitusi MK.

"Dengan demikian, KPK menyimpulkan bahwa kerugian BUMN merupakan kerugian keuangan negara yang dapat dibebankan pertanggungjawabannya secara pidana (tindak pidana korupsi) kepada direksi/komisaris/pengawas BUMN," kata Setyo.

Pengusutan tindak pidana korupsi dapat dilakukan sepanjang kerugian keuangan negara yang terjadi di BUMN diakibatkan adanya perbuatan melawan hukum/penyalahgunaan wewenang/penyimpangan atas prinsip Business Judgment Rule (BJR) vide Pasal 3Y
dan 9F UU No.1 Tahun 2025.

Misalnya diakibatkan adanya fraud, suap, tidak dilakukan dengan iktikad baik, terdapat konflik kepentingan, dan lalai mencegah timbulnya keuangan negara, yang dilakukan oleh direksi/komisaris/pengawas BUMN.

Setyo mengatakan, kewenangan KPK untuk tetap bisa mengusut tindak pidana korupsi di BUMN juga sejalan berdasarkan Pasal 11 ayat (1) huruf a dan b UU 19/2019 tentang KPK serta Putusan MK Nomor 62/PUU-XVII/2019.

Di mana kata “dan/atau” dalam pasal tersebut dapat diartikan secara kumulatif maupun alternatif.

"Artinya, KPK bisa menangani kasus korupsi di BUMN jika ada penyelenggara negara, ada kerugian keuangan negara, atau keduanya," katanya.

KPK berpandangan bahwa penegakan hukum atas tindak pidana korupsi di BUMN merupakan upaya untuk mendorong BUMN dalam menerapkan Tata Kelola Perusahaan yang baik (Good Corporate Governance).

Sehingga pengelolaan BUMN sebagai kepanjangan tangan negara yang bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dapat tercapai.

Sentimen: negatif (100%)