Sentimen
Informasi Tambahan
Grup Musik: APRIL
Institusi: Universitas Indonesia
Kab/Kota: Garut
Kasus: kekerasan seksual, pelecehan seksual
Cegah Kekerasan Seksual, Pendidikan Seks Perlu Diajarkan Sejak Dini ke Anak-anak - Halaman all
Tribunnews.com
Jenis Media: Nasional

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Socio Legal Studies, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Putri Qurrota’aini mengungkapkan keprihatinannya atas maraknya kasus kekerasan berbasis gender (gender-based violence) terhadap perempuan dan anak perempuan belakangan ini.
Bahkan, kata dia, kasus kekerasan seksual ini sudah merambah hingga ke ruang privat, termasuk dalam lingkup keluarga.
"Anak perempuan, di mana pun mereka berada, seringkali hidup dalam bayang-bayang ancaman terhadap keselamatan diri. Ironisnya, rumah yang seharusnya menjadi tempat paling aman justru kerap menjadi lokasi terjadinya kekerasan. Fakta tragis ini menunjukkan bahwa banyak anak perempuan tidak lagi merasa aman, bahkan di lingkungan keluarga sendiri," ujar Putri kepada wartawan, Rabu (7/5/2025).
Putri menyingung kasus nyata kekerasan seksual terhadap anak perempuan di bawah umur di Garut, Jawa Barat baru-baru ini. Polres Garut berhasil mengungkap tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur yang pelakunya adalah orang terdekat korban, ayah kandung dan pamannya sendiri.
"Kasus di Garut ini menjadi pengingat penting bahwa perlindungan terhadap perempuan dan
anak harus dimulai dari keluarga, dengan kesadaran bahwa ruang privat tidak boleh dianggap kebal terhadap hukum," tandas dia.
Menurut Putri, salah satu solusi untuk mencegah kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak adalah pendidikan seks (sex education) harus mulai diajarkan sejak dini kepada anak-anak. Dia berharap negara mengambil peran penting dalam menyusun kurikulum yang tepat untuk pendidikan seks tersebut.
"Selain itu, sekolah dan guru juga harus berperan besar dalam mendukung dan menjalankan program ini di lingkungan pendidikan. Tidak kalah penting, orang tua juga wajib terlibat aktif dalam memberikan pemahaman kepada anak-anaknya," tutur dia.
Putri mengingatkan, keterlibatan orang tua penting karena kasus pelecehan terhadap anak perempuan sering kali justru datang dari lingkungan terdekat mereka, baik di dalam keluarga maupun di sekitar tempat tinggalnya. Tak hanya itu, kata dia, masyarakat juga harus mulai mengubah stereotipe yang menganggap bahwa mengenalkan pendidikan seks sejak dini itu identik dengan mengajarkan hal-hal yang bersifat pornografi.
"Padahal, pendidikan ini justru bertujuan untuk melindungi anak-anak, agar mereka tahu bagian-bagian tubuh mana saja yang harus mereka jaga dan lindungi, karena bagian-bagian tersebut sering menjadi sasaran pelaku pelecehan seksual," jelas dia.
"Selain itu, anak perempuan juga harus didorong dan diajarkan untuk berani speak up ketika mengalami kekerasan berbasis gender, supaya mereka tidak lagi merasa takut atau malu untuk melaporkan kejadian yang menimpa mereka," kata dia menambahkan.
Apabila dilihat dari sudut pandang teori hukum feminis atau feminist legal theory, kata Putri, kasus kasus kekerasan seksual terhadap anak seperti di Garut menunjukan realita pahit bahwa hukum yang berlaku saat ini sering kali belum benar-benar mampu melindungi perempuan dan anak perempuan dari kekerasan seksual yang terjadi di ranah privat seperti keluarga.
Dijelaskan Putri bahwa teori hukum feminis memandang kekerasan seksual itu bukan sekadar tindak kriminal semata, tapi bagian dari sistem sosial patriarki yang melegalkan dominasi laki-laki atas tubuh dan hak perempuan. Bahkan di tempat yang seharusnya jadi ruang paling aman, yaitu keluarga.
"Pola asuh yang salah, bukan sekadar persoalan teknis pengasuhan, tetapi juga bagian dari sistem budaya yang menempatkan perempuan dan anak perempuan sebagai pihak yang rentan dan subordinat," kata dia.
Karena itu, lanjut Putri, upaya penanganan kekerasan seksual tidak cukup hanya melalui penegakan hukum, tetapi juga harus mencakup perubahan struktural. Perubahan tersebut meliputi pendidikan kesetaraan gender sejak dini, penguatan perlindungan hukum yang berpihak kepada korban, serta pemberdayaan masyarakat agar berani melaporkan dan memutus rantai kekerasan yang sudah mengakar.
"Feminist legal theory mendorong negara dan masyarakat untuk tidak lagi memisahkan secara tegas antara ruang publik dan privat dalam upaya memberantas kekerasan seksual. Keadilan sejati bagi korban baru bisa tercapai jika hukum mampu menjangkau hingga ke relasi kuasa yang timpang, baik di dalam rumah maupun di luar," pungkas Putri.
Diketahui, kasus kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur terjadi pada 7 April 2025 di Kecamatan Tarogong Kaler, Garut. Dalam konferensi pers di Graha Mumun Surachman, Kasat Reskrim Polres Garut, AKP Joko Prihatin menjelaskan bahwa kasus ini bermula dari kecurigaan seorang tetangga yang melihat celana korban, seorang anak perempuan berusia lima tahun, berlumuran darah. Setelah ditanya, korban akhirnya mengaku bahwa dirinya dicabuli oleh ayah dan pamannya.
Keterangan ini kemudian diperkuat oleh hasil pemeriksaan medis di klinik setempat, yang mengonfirmasi adanya kekerasan seksual.
Saat ini, kedua pelaku telah ditahan dan dijerat dengan Pasal 76D juncto Pasal 81 atau Pasal
76E juncto Pasal 82 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan terakhir diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016.
Ancaman pidana yang dikenakan berupa pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Sentimen: negatif (99.2%)