Sentimen
Positif (66%)
3 Mei 2025 : 00.15
Informasi Tambahan

Agama: Islam

Event: Hari Buruh

Kab/Kota: Karet

Hardiknas, dan Pendidikan Kita yang Masih Terjebak Urusan Receh

3 Mei 2025 : 00.15 Views 24

disadmin disadmin Jenis Media: News

Hardiknas, dan Pendidikan Kita yang Masih Terjebak Urusan Receh

Abadikini.com, JAKARTA – Setelah Hari Buruh berlalu, 1 Mei lalu, terbitlah Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2025 hari ini. Jika buruh masih digelayuti awan kelabu masa depan, pun dengan dunia pendidikan kita yang masih kukuh mengurusi hal receh dari tingkah pelaku pendidikan termasuk Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, yang belum paham mengapa wisuda harus dilarang.

Malu kita pada Ki Hadjar Dewantara yang sejak lama memaklumatkan agar pada guru menjadi pelopor tauladan di depan memberi pencerahan. Tapi arena pendidikan yang sudah dirasuki para pebisnis ini sudah menggadaikan hakikat peran pendidikan sesungguhnya.

Anak-anak didik tak ubahnya dijadikan angka statistik untuk mengeruk bantuan operasional sekolah. Sekolah berlomba lomba mencari murid sebanyak-banyaknya tanpa memikirkan kualitas. Guru-guru terhimpit beban administrasi dan jadilah pendidikan kita miskin terobosan. Jangankan mimpi menyamai pencapaian negeri tetangga seperti Singapura apalagi bekas penjajah kita Jepang, soal wisuda dan studi tour yang terbilang urusan receh dan seremonial saja masih banyak yang kekeuh bertahan ketika dilarang Gubernur Jawa Barat.

Ironis, andai Ki Hadjar Dewantara hidup hari ini. Entah bagaimana ia menghadapi pelaku pendidikan yang sudah cemar oleh laku para pencari cuan. Barangkali ia akan menangis melihat derita himpitan orangtua murid yang tak mampu terpaksa harus bayar iuran karena malu jika anaknya tak ikut wisuda atau jalan-jalan saat kelulusan.

Untuk insan pendidikan, terutama para pelaku pendidikan seperti ketua yayasan, kepala sekolah dan para guru yang masih percaya wisuda itu penting bagi anak TK, SD, SMP dan SMA, sebaiknya baca kembali apa istilah ‘Wisuda’, untuk tingkatan sekolah apa wisuda sejatinya dilakukan?

Bagi saya yang mulai sekolah dasar (SD) di era tahun 80-90an–yang tidak pernah mengalami momen wisuda–kecuali ‘terpaksa’ saat lulus sekolah di tingkat SMA– momen wisuda jelas hanya menjadi selebrasi yang tidak terlalu bermakna, kecuali hanya melewati ritual acara formal dengan sambutan seabrek dari para pemangku sekolah dan bintang tamu undangan sekolah yang sifatnya seremonial sambil lewat saja.

Tak ada kenangan khusus dalam momen wisuda. Kenangan justru terasa ketika dalam proses menempuh pendidikan bersama teman-teman seangkatan. Apalagi saya yang sekolah di pesantren lebih banyak mengenang saat-saat susah senang bertahan di pesantren dengan sejumlah aturan ketat. Kenangan bersama satu kamar dengan teman satu angkatan dalam susah senang makan di kantin, bikin mie rebus diikat karet atau bandel karena ketahuan kabur. Kenangan itu lebih melekat, ketimbang mengingat momen wisuda yang didandani layaknya badut berseragam setelah lulus sekolah menengah atas.

Sisa lain yang teringat dari wisuda adalah beban biaya yang harus ditanggung orangtua, mulai budget untuk beli jas, pernak pernik acara hingga ongkos untuk hadir menyaksikan putranya dari tribun tenda yang panas dan melelahkan berjam-jam karena ritual wisuda yang dikemas dengan aneka acara.

Mungkin kala itu ada momen haru yang semu sesaat sebagai mana dikemas panitia di acara wisuda, tapi toh tak terlalu membekas, kecuali kesan utama yang akan selalu diingat adalah masa-masa sulit saat bertahan di pesantren hingga akhirnya kami lulus.

Sekali lagi, coba cek apa istilah ‘Wisuda’ dan peruntukannya untuk jenjang sekolah tingkat apa? Coba lacak dari Google dengan kata kunci ‘Wisuda. Kita tidak akan sulit untuk menemui makna dan maksud serta peruntukannya. Cukup ketik kata kunci ‘Wisuda’semua istilah kunci akan keluar penjelasannya.

Berikut ini saya tunjukan istilah ‘Wisuda’ yang kemudian muncul penjelasannya di Google:

“Wisuda adalah upacara peneguhan atau pelantikan bagi seseorang yang telah menyelesaikan pendidikan. Di kalangan akademik, wisuda menandai kelulusan seorang mahasiswa dari suatu program studi di universitas. Wisuda juga merupakan momen penting yang menandai akhir perjalanan panjang dalam studi dan awal dari langkah baru dalam kehidupan profesional.” (Baca: Wisuda).

Dari istilahnya saja, jelas acara wisuda diperuntukan untuk sekolah tingkat tinggi atau untuk mahasiswa yang baru lulus kuliah di Universitas. Momen penting ini lebih tertuju pada mereka yang baru lulus sarjana karena hendak melangkah ke jenjang ‘profesional’ alias dunia kerja.

Dari istilah ini semestinya semua pemangku kebijakan dan pelaku pendidikan memahami bahwa tak ada anjuran apalagi kewajiban untuk murid dari jenjang sekolah dasar hingga menengah atas seperti TK, SD, SMP, dan SMA untuk menggelar wisuda.

Karena tak ada anjuran atau kewajiban dan logika pendidikannya dari wisuda sekolah dasar menengah atas, maka wajar jika Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, berinisiatif membuat peraturan yang melarang wisuda di tingkat sekolah dasar hingga menengah atas. Sebab secara hukum, jika tak ada larangan maka budaya wisuda yang dibikin sendiri ini akan tetap dilaksanakan para pelaku pendidikan karena punya nilai cuan dan ketertarikan bagi anak-anak yang dipaksa oleh anjuran wisuda lewat rapat komite sekolah.

Peraturan larangan itu harus diterapkan Dedi Mulyadi untuk memutus mata rantai kejumudan ini.

Lalu kapan wisuda ramai diberlakukan di sejumlah sekolah tingkat dasar hingga menengah atas?

Jika diurut dari riwayat nyelenehnya, memang tidak bisa dipastikan kapan tahun-tahun pertama kali wisuda banyak diterapkan pelaku pendidikan. Tapi dari acara formil yang hanya membebani orangtua murid ini marak ketika tumbuh sekolah-sekolah swasta yang berorientasi pada bisnis pendidikan, terutama di sekolah-sekolah elit menengah di bawah yayasan swasta, baik, lembaga pendidikan umum maupun berbasis agama, seperti sekolah-sekolah Islam berbasis urban atau perkotaan.

Bagi para pelaku bisnis pendidikan acara formal ini bukan saja dianggap menjadi ‘daya tarik’ anak didik yang dikemas dengan acara menarik, tapi juga jelas bernilai cuan menggiurkan karena pungutan biaya tak sedikit. Bisa dibayangkan, jika di sekolah Islam menengah saja pihak sekolah memungut biaya wisuda atau kelulusan satu anak saja dengan iuran minimal 2 hingga 5 juta rupiah sesuai jenjang pendidikannya. Jika dikalikan 50 sampai 100 anak yang lulus berapa cuan yang bisa diambil? Cuan atau keuntungan dari acara menggelar wisuda ini jelas menggiurkan. Ini belum termasuk biaya jalan-jalan rutin anak atau study tour yang umum dilakukan setiap akhir tahun.

Dan celakanya sekolah-sekolah negeri yang sejatinya menjadi pelopor utama tauladan pendidikan sebagaimana semboyan tokoh pendidikan Ki Hadjar Dewantara; “Ing ngarso sung tulodo”, “Di depan, memberi contoh” atau “Di depan memberi teladan”. Malah ikut-ikutan latah mengelar acara formal ini dengan alasan untuk memeriahkan proses kelulusan. Situasi ini jelas kebablasan.

Kita tak perlu kasih contoh di luar negeri, terutama di negara-negara maju seperti Eropa yang kualitas pendidikannya sudah jauh di atas rata-rata dan mereka jelas tidak pernah menerapkan acara wisuda apalagi jalan-jalan sebagai tanda kelulusan untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah ke atas, kecuali perguruan tinggi.

Contoh-contoh dan penjelasan gamblang itu semestinya dipahami para pelaku pendidikan yang masih bandel ngotot ingin wisuda tetap ada.

Budaya yang kadung diciptakan sekolah-sekolah swasta elit menengah ini memang berbahaya hingga terlanjur mewabah. Hingga sekolah negeri dan swasta biasa yang umumnya dihuni anak-anak didik tidak mampu juga ikut-ikutan tertular.

Sementara orangtua mereka dipaksa harus iuran dengan cara mencicil atau memaksa hingga pinjam ke bank atau rentenir demi anaknya bisa ikut wisuda dan agenda tour luar kota.

Buat insan dan terutama pelaku kebijakan pendidikan apakah penjelasan ini masih belum cukup bisa dipahami? Masihkah acara formal yang tak memiliki signifikansi bagi tumbuh kembang anak ini akan terus dilanjutkan? Jika Anda ingin terus berada dalam kubangan kebodohan dan melanggengkan budaya yang terlanjur dilestarikan sendiri, silahkan saja dilanjutkan!

Tapi saya sebagai orangtua murid, barangkali juga yang lainnya, rasanya tak rela melihat anak-anak saya yang masih TK mengikuti ritual menjemukan wisuda dengan tetek bengek sambutan, yang kadang bikin anak-anak setingkat TK, SD, SMP atau bahkan SMK ngantuk dijejali sejumlah ritual ceramah acara sambutan berlapis-lapis dengan pesan-pesan menakutkan nakuti anak dengan janji surga dan neraka.

Belum lagi demi memenuhi kebahagiaan semu anak-anaknya para wali murid dibuat sengsara karena terpaksa merogoh kecek besar demi anaknya bisa wisuda.

Rasanya akan lebih baik jika para pelaku dan penentu kebijakan pendidikan merumuskan kembali sistem pendidikan kita yang karut marut ini, berubah rubah bentuk kebijakannya, ketimbang meneruskan tradisi seremonial yang tak ada dalam kamus pendidikan, apalagi memberatkan wali murid ini.

Semoga saja Pak Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti juga mau baca kembali istilah dasar ‘wisuda’ dari Google dan bisa paham esensinya. Kalau belum paham juga sebaiknya Pak Menteri pensiun saja urus ternak lele di kampung halaman. Tabik!

Sentimen: positif (66.7%)