Sentimen
Netral (94%)
30 Apr 2025 : 23.34
Informasi Tambahan

Kab/Kota: Karanganyar

Cerita Generasi Kelima Pengrajin Batik Giri Wastra Pura, Menolak Harta Leluhur Sirna - Halaman all

30 Apr 2025 : 23.34 Views 13

Tribunnews.com Tribunnews.com Jenis Media: Ekonomi

Cerita Generasi Kelima Pengrajin Batik Giri Wastra Pura, Menolak Harta Leluhur Sirna - Halaman all

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chrysnha Pradipha

TRIBUNNEWS.COM, KARANGANYAR - Partinah generasi keempat penerus UMKM Batik Tulis Giri Wastra Pura, di Desa Girilayu, Matesih, Karanganyar adalah penjaga nilai-nilai luhur dari warisan budaya yang diwariskan turun-temurun di desanya.

“Batik tulis ini bukan sekadar kain bercorak. Ini warisan leluhur. Kalau tidak kita yang jaga, siapa lagi?” tuturnya sambil menatap cucunya yang sedang sibuk memberi warna pada sehelai kain, pada Kamis (10/4/2025).

Cucu yang dimaksud itu bernama Camelia, generasi kelima pengrajin batik tulis Giri Wastra Pura.

Ia masih duduk di bangku kelas 3 SMP.

Camelia kini mulai akrab dengan dunia batik, dunia yang bagi banyak anak seusianya mungkin terdengar kuno.

Namun bagi Camelia, batik adalah rumah—tempat pulang bagi nilai-nilai dan identitas keluarga.

Sejak duduk di bangku kelas 4 SD, Camelia sudah dilibatkan dalam proses membatik. Mulanya menggambar pola, lalu membantu proses pewarnaan.

Kini, tangan kecilnya mulai luwes memainkan kuas dan canting.

“Cucu saya sudah saya libatkan sejak kecil. Supaya tahu, supaya merasa memiliki. Paling tidak bisa menggambar dan mewarnai,” ucap Partinah dengan nada penuh harap.

Para pengrajin batik yang merupakan penerus warisan pembatik Girilayu

Bagi Partinah, regenerasi pengrajin bukan sekadar soal kelangsungan usaha.

Ia percaya, melibatkan anak-anak sejak dini adalah kunci agar batik tulis tak hanya bertahan, tapi juga berkembang.

“Cucu-cucu kami tak mau warisan ini sirna. Eman kalau sampai hilang,” katanya dengan sorot mata teduh.

Desa Girilayu memang dikenal sebagai sentra batik tulis di Karanganyar.

Namun, seperti banyak kerajinan tradisional lainnya, tantangan zaman membuat jumlah pengrajin semakin berkurang, terutama dari kalangan usia muda.

Saat ini, dari sekitar 300-an pengrajin batik di desa tersebut, hanya sekitar 30 hingga 40 persen yang berasal dari kelompok usia muda.

Sebagian besar di antaranya adalah anak dan cucu dari pengrajin lama, seperti Camelia.

Bagi Partinah dan para perajin senior lain, penting untuk mulai memberi ruang kepada generasi muda untuk belajar sambil terjun langsung.

“Saya biasakan. Apa yang bisa mereka kerjakan ya saya serahkan. Kalau ada pesanan dari tamu, saya ajak mereka bantu saat libur sekolah,” ujar Partinah.

Regenerasi Warisan Batik Girilayu

Wakil Dekan FSRD Universitas Sebelas Maret, Dr. Desy Nurcahyanti, S.Sn., M.Hum, melalui penelitiannya di Desa Girilayu melahirkan buku berjudul Dinamika Regenerasi Perajin Batik Eksplorasi, Model dan Motif Mbok Semok pada 2024.

Buku tersebut juga menjelaskan isi tentang regenerasi pengrajin batik di Girilayu.

Dalam wawancara bersama Tribunnews pada Jumat (18/4/2025), Desy menyampaikan, keahlian membatik perempuan Girilayu diajarkan secara turun-temurun melalui pembelajaran contoh dan pelibatan anak dalam proses membatik, terutama anak perempuan.

"Kegiatan dan aktivitas berulang adalah konsep afirmatif, sehingga menstimulasi anak untuk mencoba (membatik)," jelasnya.

Menurutnya, tidak ada konsep paksaan dalam pewarisan membatik di Girilayu.

Setelah anak mengutarakan maksud belajar membatik pada ibunya, maka pembelajaran dasar membatik pun dimulai.

Nurcahyanti dalam bukunya tersebut menguraikan material wajib yang harus ada di depan rumah warga Girilayu.

POLA BATIK - Partinah membuat pola motif batik produksi Giri Wastra Pura

Meliputi Gawangan (kayu panjang berkaki untuk menempatkan kain sewaktu proses pencantingan), kain mori, kompor, wajan, malam, canting dan dingklik (bangku kecil dari kayu beralaskan spon atau kain batik bekas untuk alas duduk setengah jongkok).

Dari buku Dinamika Regenerasi Perajin Batik Eksplorasi, Model dan Motif Mbok Semok, Desy  menuliskan, perempuan Jawa saat ini lebih leluasa untuk bertindak dan mengambil keputusan sepihak.

Leluasa untuk memilih membeli lauk daripada memasak.

Leluasa untuk mengadopsi, melahirkan dengan proses caesar (bukan karena keputusan medis), atau tidak hamil dan memiliki anak.

Leluasa untuk menggunakan gaun atau setelan jas seperti laki-laki, bahkan bergaya maskulin atau androgini.

"Semua terjadi karena akses pendidikan. Perempuan diizinkan untuk menjadi pandai, sehingga tidak ada tuntutan untuk menjadi perempuan seperti konsep konvensional," ungkapnya.

Ia melanjutkan, batik adalah representasi perempuan dan perempuan mampu merepresentasikan setetika batik dengan paripurna.

Garis lengkung dan meliuk adalah citra feminimitas. Seluruh jiwa yang  bersentuhan dengan proses batik akan terbentuk sebagai pribadi berlogika rasa.

"Pekerjaan tang membutuhkan konsentrasi tinggi untuk menyambung titik dan garis menggunakan canting, paling sesuai dikerjakan perempuan," papar dia.

Kemudian terkait regenerasi pembatik Girilayu, Desy menyinggung perihal status.

"Membatik membuat lebih sempurna untuk ukuran sosial di wilayah tersebut," tegasnya.

Adapun dalam buku karya Desy pada 2024 halaman 69 diuraikan, mayoritas perempuan pembatik di Girilayu adalah ibu rumah tangga.

bagi perempuan pekerja (guru, karyawan) di Girilayu, membatik dilakukan pada waktu senggang, semacam kebahagiaan atau waktu khusus versi mereka.

Konsep membatik bagi perempuan Girilayu hingga saat ini belum dianggap sebagai sumber nafkah karena sumber daya alam dan pariwisata cukup menggerakkan roda perekonomian di wilayah tersebut

Adapun Desa Girilayu merupakan lokasi makam penguasa dan kerabat Mangkunegaran, terdiri dari lima dusun dengan luas wilayah 311.366 hektare.

Berdasar data dari Bappeda Kabupaten Karanganyar pada 2024, jumlah penduduk Girilayu sekitar 3.779 jiwa.

Girilayu memiliki brbagai potensi yang dikembangkan menjadi tujuan wisata dan resmi dibuka pada 2017.

Girilayu dengan masyarakat di dalamnya memelihara semboyan Tri Dharma yang diwariskan kepada generasi sebelumnya menjadi pedoman kehidupan sehari-hari, termasuk dalam praktik membatik.

(Nurcahyanti, 2024) Tri Dharma terdiri dari tiga ajaran: rumangsa melu handarbeni (kesadaran dan tanggung jawab untuk memiliki, wajib melu hangrungkepi (kewajiban untuk menjaga), dan mulat sarira hangrasa wani (mawas diri dan berani bertindak untuk kebaikan).

Ketiga prinsip ini mengalir dalam kehidupan membatik menjadikannya sebagai simbol regenerasi yang lebih dari sekedar proses reproduksi, namun mencerminkan nilai-nilai budaya dan spiritual.

(*)

Sentimen: netral (94.1%)