Sentimen
Positif (100%)
30 Apr 2025 : 23.46
Informasi Tambahan

BUMN: BRI

Kab/Kota: Dukuh, Karanganyar, Semarang, Solo, Surabaya

Kasus: covid-19

Tokoh Terkait

Menilik Desa Girilayu di Lereng Lawu, Kekayaan Motif Batik yang Gigih Lestari - Halaman all

30 Apr 2025 : 23.46 Views 26

Tribunnews.com Tribunnews.com Jenis Media: Ekonomi

Menilik Desa Girilayu di Lereng Lawu, Kekayaan Motif Batik yang Gigih Lestari - Halaman all

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chrysnha Pradipha

TRIBUNNEWS.COM, KARANGANYAR - Desa Girilayu, Matesih, Karanganyar, adalah rumah bagi motif-motif batik yang lahir dari perenungan panjang sejarah dan budaya.

Motif Tugu Tri Dharma misalnya, menjadi simbol ikonik yang mengikat dua tokoh besar: Pangeran Sambernyawa dari era Mangkunegaran, dan Presiden Soeharto dari masa republik.

Monumen kecil itu berdiri hening di antara dua kompleks pemakaman agung: Astana Mangadeg dan Astana Giribangun.

Namun dari keheningan makam itulah, lahir suara-suara baru lewat guratan canting.

“Setiap motif di sini punya makna, bukan asal corak. Ada filosofi pengabdian, persatuan, dan semangat spiritual di baliknya,” ujar Partinah, pemilik usaha batik tulis Giri Wastra Pura.

Ia menunjukkan selembar batik bergambar Tugu Tri Dharma, panjangnya 2,6 meter, lebar hampir satu setengah meter.

Kain itu belum diwarnai, tetapi pancaran nilainya sudah terasa dalam tiap garisnya.

Selain Tugu Tri Dharma, motif-motif klasik seperti Wahyu Tumurun, Gringsing, hingga Parang dan Truntum masih lestari.

Muncul pula motif-motif baru, hasil inovasi dari para pengrajin muda yang mulai memberi warna segar pada kanvas budaya tua.

“Anak-anak muda sekarang ikut terlibat. Sekitar 30 hingga 40 persen dari total pengrajin adalah generasi baru,” terang Partinah.

Ia adalah generasi keempat pembatik di keluarganya, dan kini ia mulai menanamkan nilai membatik pada cucunya, Camelia, yang masih duduk di bangku kelas 3 SMP.

Sejak kelas 4 SD, Camelia sudah memegang canting.

Mulanya hanya menggambar pola, kini mulai belajar teknik pewarnaan.

“Kalau libur sekolah, saya ajak dia bantu. Yang bisa dikerjakan ya saya serahkan,” kata Partinah sambil tersenyum.

Membatik di Girilayu bukan hanya soal estetika, tapi juga tentang waktu dan kesabaran.

Satu lembar kain bisa dikerjakan hingga empat bulan, apalagi saat musim hujan yang memperlambat proses pengeringan.

Kain batik dari Giri Wastra Pura dijual mulai Rp 500 ribu untuk batik mentah, hingga lebih dari Rp 1,5 juta untuk batik jadi dengan pewarnaan alami.

Harga itu sebanding dengan ruh yang tertanam dalam tiap lekuk motifnya.

Tak hanya dari rumahnya di Dukuh Wetankali, batik-batik ini juga dipasarkan melalui kerja sama dengan lokasi strategis seperti Hotel Nava dan Rumah Atsiri di kawasan Tawangmangu.

Girilayu memang terpencil, tapi napas batiknya menjangkau Jakarta, Semarang, Surabaya, hingga Sumatra dan Kalimantan.

Di tengah arus digitalisasi, Giri Wastra Pura juga ikut beradaptasi.

Akun Instagram dikelola, QRIS disediakan, dan pembayaran non-tunai jadi bagian dari kebiasaan baru.

Bahkan kini, galeri batik itu tak hanya menjual kain, tapi juga pengalaman.

Pengunjung bisa belajar membatik langsung, menjadikan Giri Wastra Pura sebagai ruang eduwisata budaya yang hidup.

“Banyak tamu dari hotel datang ke sini untuk praktik membatik. Mereka jadi tahu prosesnya tidak mudah,” tutur Partinah.

Girilayu bukan hanya rumah bagi Giri Wastra Pura.

Ada 12 kelompok pembatik di desa ini, dan Partinah memimpin salah satunya: komunitas GWP (Giri Wastra Pura) yang beranggotakan 24 perempuan.

Mereka adalah ibu-ibu rumah tangga yang dulunya hanya buruh batik.

Kini mereka menjadi pelaku penuh—dari menggambar pola, mencanting, mewarnai, hingga menjual sendiri karya mereka.

“Dulu kami cuma ngerjain setengah jadi, lalu dikirim ke Solo. Sekarang bisa dari awal sampai akhir di sini,” kenangnya.

Mereka membatik di sela waktu mengurus keluarga.

Kain-kain dikerjakan setelah pekerjaan rumah rampung, sembari menjaga anak, dan hasilnya bisa langsung dijual untuk menambah penghasilan.

BRI lewat program BRIncubator ikut memberi dorongan pada komunitas ini.

Pelatihan, pendampingan usaha, hingga bantuan dana CSR sebesar Rp 15 juta pada 2022 menjadi bahan bakar kebangkitan pasca pandemi.

“Alhamdulillah, sangat membantu. Kami jadi lebih mandiri, dan yakin kalau batik tulis bisa terus hidup,” ujar Partinah.

BRI Dorong UMKM Naik Kelas

GWP dalam radar program BRIncubator, sebuah inisiatif untuk mendorong usaha kecil naik kelas.

Bukan sekadar pelatihan, program itu membuka jalan baru bagi Partinah dan kelompoknya untuk mengenali kekuatan dari usaha mereka sendiri.

Melalui pendampingan intensif, mereka belajar memahami pasar, membaca tren, dan mengemas produk batik dengan nilai lebih tinggi.

Pendampingan itu juga mengajarkan bagaimana tradisi bisa tumbuh beriringan dengan teknologi.

“Banyak yang kami pelajari, terutama soal pemasaran dan pengembangan usaha,” ujar Partinah, mengenang masa-masa awal bergabung dengan BRIncubator.

Tiga tahun berselang, pada 2022, dukungan itu kembali datang dalam bentuk bantuan dana Corporate Social Responsibility (CSR) sebesar Rp15 juta.

Jumlah itu bukan sekadar angka, melainkan bahan bakar untuk melanjutkan mesin tradisi yang sempat terhenti karena pandemi.

Dana tersebut dimanfaatkan untuk membeli kain, malam, hingga peralatan produksi lainnya yang dibutuhkan para pembatik di Girilayu.

Termasuk untuk pelatihan 24 pengrajin batik yang tergabung dalam GWP.

Bagi Partinah, bantuan itu datang di saat yang tepat, ketika para pembatik tengah berjuang bangkit setelah terpukul oleh sepinya pesanan selama Covid-19.

“Alhamdulillah, sangat membantu saat kondisi belum pulih sepenuhnya,” ucapnya.

Bantuan modal tersebut sejalan dengan misi BRI dalam pemberdayaan UMKM di Indonesia.

Demikian dikatakan oleh Direktur Bisnis Mikro BRI Supari dalam keterangan tertulisnya.

“Secara umum, strategi Bisnis Mikro BRI ke depan akan fokus pada pemberdayaan berada di depan pembiayaan. BRI sebagai bank yang berkomitmen kepada UMKM, telah memiliki kerangka pemberdayaan yang dimulai dari fase dasar, integrasi hingga interkoneksi,” terang Supari.

Program Desa

Sebuah badan usaha milik desa tersebut terlibat menjadi motor penggerak bagi perempuan dan pemuda lokal untuk mandiri, melalui lembaran batik tulis yang sarat makna.

Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Girilayu lahir pada tahun 2017, dengan visi besar memberdayakan masyarakat dan mendorong ekonomi desa agar tak sekadar berjalan, tapi melesat.

“BUMDes ini kami bentuk bukan cuma untuk menjalankan usaha, tapi untuk membawa manfaat langsung bagi warga,” ujar Kepala Desa Girilayu, Slamet, dihubungi terpisah.

Dari unit simpan pinjam hingga pengelolaan air dan jasa, BUMDes Girilayu terus bertumbuh, namun sektor batik tetap menjadi nadi utamanya, bukan hanya sebagai produk unggulan, melainkan juga sebagai warisan yang dirawat dan dibagikan.

Saat ini, sebanyak 12 perajin batik aktif bekerja sama di bawah naungan BUMDes, tergabung dalam paguyuban pembatik bernama Giri Arum.

Mereka bukan sekadar pengrajin, tapi pelaku sejarah yang meneruskan tradisi batik tulis yang telah hidup di Girilayu sejak zaman Mangkunegaran.

Pendataan para pengrajin dilakukan secara terbuka melalui sistem pendaftaran, lalu dilanjutkan dengan pembinaan.

Tak berhenti pada produksi, BUMDes juga mengembangkan eduwisata batik, membuka ruang belajar bagi wisatawan yang ingin mengenal proses batik tulis dari dekat.

“Produk turunan batik seperti pakaian jadi dan cendera mata sedang kami dorong, sekaligus edukasi membatik untuk pengunjung,” jelasnya.

Media sosial dan pameran menjadi jembatan penting dalam pemasaran.

Melalui akun digital, mereka membangun jejak daring untuk menjangkau pasar yang lebih luas.

Pendampingan dari berbagai pihak memperkuat gerak BUMDes ini.

Dari dinas koperasi, dinas pariwisata, hingga kampus-kampus besar seperti UNS, ISI, dan UMS, semua ikut hadir mendampingi melalui pelatihan dan penelitian.

“Dukungan itu sangat berarti. Kami diberi pelatihan pengelolaan, bahkan bantuan peralatan dari dinas,” kata Slamet.

Pemerintah desa sendiri sangat terlibat aktif, mulai dari administrasi, penyusunan regulasi, hingga koordinasi lapangan, agar operasional BUMDes berjalan lancar dan transparan.

Meskipun sistem keuangan masih dilakukan secara manual dan sederhana, laporan keuangan sudah diaudit oleh dinas terkait dan dinyatakan cukup baik, meski butuh pembenahan lebih lanjut.

“Pendanaan masih dari dana desa. Tapi yang penting, semua tercatat dan bisa dipertanggungjawabkan,” tegasnya.

BUMDes Girilayu memang masih menghadapi tantangan, terutama dalam hal ketersediaan sumber daya manusia unggul yang bisa mengelola usaha secara profesional.

Namun Slamet yakin, dengan menguatkan pemahaman kerja dan sistem organisasi, semua perlahan bisa ditangani.

“Harapan kami sederhana, tapi besar: semoga BUMDes bisa terus berkembang, bisa membuka unit usaha besar ke depan—termasuk sektor wisata yang lebih terintegrasi,” ucapnya penuh semangat.

(*)

Sentimen: positif (100%)