Sentimen
Negatif (100%)
28 Apr 2025 : 12.18
Informasi Tambahan

Kasus: HAM, kekerasan seksual

9 Poin 'Problematik' RUU KUHAP 2025, Perlindungan HAM Rakyat yang Sia-sia

28 Apr 2025 : 12.18 Views 13

Pikiran-Rakyat.com Pikiran-Rakyat.com Jenis Media: Nasional

9 Poin 'Problematik' RUU KUHAP 2025, Perlindungan HAM Rakyat yang Sia-sia

PIKIRAN RAKYAT - Koalisi Masyarakat Sipil merilis analisis kritis terhadap draf terbaru Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) versi 20 Maret 2025.

Mereka menilai ada sembilan masalah serius yang bisa melemahkan akuntabilitas aparat hukum, mengurangi pengawasan peradilan, dan mengancam perlindungan hak asasi manusia (HAM).

Menurut koalisi, RUU ini belum menjawab kebutuhan reformasi hukum acara pidana yang menghormati prinsip due process of law dan perlindungan HAM. Padahal, KUHAP ini akan menjadi landasan hukum pidana Indonesia ke depan.

Berikut sembilan masalah utama yang mereka temukan:

1. Masyarakat Melapor, Polisi Bisa Abaikan

Koalisi mencatat RUU KUHAP 2025 melemahkan mekanisme akuntabilitas penyidik dalam menanggapi laporan masyarakat.

Jika dulu dalam draf 2012 ada jalur pengawasan sampai ke penuntut umum, kini laporan hanya dikendalikan atasan penyidik internal saja (Pasal 23), tanpa batas waktu dan jaminan ditindaklanjuti.

Akibatnya, korban, terutama korban kekerasan seksual, berisiko tidak mendapat keadilan.

2. Pengawasan Pengadilan Lemah, Warga Sulit Komplain

Satu-satunya jalur kontrol, yaitu praperadilan (Pasal 149-153), masih punya banyak kelemahan: hanya memeriksa secara formal, waktunya sempit, dan mudah digugurkan.

RUU KUHAP bahkan mempersempit objek praperadilan (Pasal 149(1)a) dan menghapus konsep Hakim Komisaris yang dulu pernah diajukan di draf 2012. Artinya, peluang warga menggugat tindakan sewenang-wenang aparat makin kecil.

3. Aturan Penangkapan dan Penahanan Rentan Disalahgunakan

RUU KUHAP tidak memperketat aturan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan penyadapan:

Penangkapan: Tak perlu izin hakim kecuali tertangkap tangan (Pasal 89); bisa diperpanjang tanpa kejelasan (Pasal 90(2)); tidak wajib membawa tersangka ke hakim dalam 48 jam (Pasal 90(3)). Penahanan: Alasan diperluas hingga 9 macam (Pasal 93(5)), banyak yang sifatnya subjektif seperti "tidak kooperatif". Penggeledahan dan Penyitaan: Definisi keadaan mendesak (Pasal 106(4), 112(2)) kabur, dan tidak jelas kapan harus lapor ke pengadilan. Penyadapan: Tidak dibatasi untuk kejahatan berat tertentu saja, rawan disalahgunakan. Pemeriksaan Surat: Tidak wajib izin pengadilan.

Semua ini membuka celah tindakan sewenang-wenang.

4. Advokat Diperlemah, Bantuan Hukum Setengah Hati

Peran advokat dalam pembelaan dipersempit. Saat mendampingi tersangka, advokat hanya boleh melihat dan mendengar tanpa boleh mencatat dalam BAP (Pasal 33).

Di persidangan, hak advokat menyanggah bukti dibatasi (Pasal 197(10)), dan dilarang memberi pendapat di luar pengadilan (Pasal 142(3)b), bertentangan dengan kebebasan advokat.

RUU ini juga memperbolehkan tersangka/terdakwa menolak bantuan hukum hanya dengan membuat berita acara (Pasal 146 ayat (4) dan (5)), padahal rentan dipaksakan.

Bahkan, "Pemberi Bantuan Hukum" didefinisikan sempit hanya untuk Advokat (Pasal 1 angka 21, Pasal 142(2)), tidak mengakui peran paralegal, dosen, atau mahasiswa hukum.

5. Teknik Investigasi Khusus Tanpa Batasan

Teknik seperti pembelian terselubung dan penyerahan diawasi masuk dalam RUU (Pasal 16) untuk penyelidikan, tapi tanpa syarat ketat, tanpa izin hakim, dan tanpa jalur pengaduan.

Koalisi mengingatkan ini berpotensi menjadi modus penjebakan yang sering terjadi, khususnya di kasus narkotika.

6. Aturan soal Bukti Masih Kabur

RUU KUHAP belum mengatur standar bukti secara ketat:

Tidak ada definisi bukti relevan. Standar "bukti yang cukup" (Pasal 166) hanya dilihat dari jumlah alat bukti, bukan kualitas. Tidak jelas siapa yang harus membuktikan dalam kasus pelanggaran hak seperti penyiksaan. Pengelolaan bukti, termasuk bukti biologis, belum diatur rinci.

Akibatnya, proses pembuktian rentan manipulasi.

7. Sidang Online Belum Punya Aturan Jelas

RUU KUHAP memang mengakomodasi sidang elektronik (Pasal 191(2)), tapi tidak mengatur syarat-syarat ketatnya.

Istilah "keadaan tertentu" yang memungkinkan sidang online tidak dijelaskan. Ini berpotensi mengulangi kekacauan sidang daring yang terjadi selama pandemi: jaringan bermasalah, sulit diakses publik, dan tidak transparan.

8. Polisi Bisa Main Hakim Sendiri

Konsep Restorative Justice dalam RUU (Pasal 78-83) dipahami keliru: hanya sebagai jalan untuk menghentikan perkara di luar sidang (diversi), bukan untuk memulihkan korban.

Parahnya, kewenangan diversi ini diberikan ke penyidik, bahkan sejak tahap penyelidikan, tanpa pengawasan lembaga lain. Ini bisa membuka peluang penyalahgunaan seperti pemerasan atau penyelesaian kasus secara tidak adil.

9. Hak Korban dan Tersangka Cuma Jadi Formalitas

RUU memang mencantumkan hak korban, saksi, tersangka, dan kelompok rentan (Pasal 134-139), tapi tidak ada kejelasan siapa yang bertanggung jawab menegakkannya atau apa sanksinya jika dilanggar.

Masalah restitusi korban juga belum beres: kalau aset terpidana tidak cukup, korban bisa saja tidak mendapatkan ganti rugi penuh (Pasal 175(7)), padahal sudah ada mekanisme dana abadi (Pasal 168-169) yang juga belum diatur jelas.

Secara keseluruhan, Koalisi Masyarakat Sipil menilai RUU KUHAP 2025 dalam bentuknya sekarang masih jauh dari ideal.

Perbaikan besar diperlukan agar sistem peradilan pidana Indonesia lebih adil, transparan, dan menghormati hak asasi manusia. ***

Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

Sentimen: negatif (100%)