Sentimen
Positif (100%)
10 Apr 2025 : 23.40
Informasi Tambahan

Kab/Kota: Banyumas, Ende, Gunung, Solo

Kasus: HAM, stunting

Ironi 1.000 Hari Pertama, Anak-Anak Pelosok dalam Labirin Stunting - Halaman all

10 Apr 2025 : 23.40 Views 5

Tribunnews.com Tribunnews.com Jenis Media: Regional

Ironi 1.000 Hari Pertama, Anak-Anak Pelosok dalam Labirin Stunting - Halaman all

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Sri Juliati dan Facundo Chrysnha P

TRIBUNNEWS.COM - Stunting masih menjadi isu nasional yang mengancam pemenuhan hak dasar bagi anak-anak.

Hak anak juga termasuk dalam HAM dan pada dasarnya hak tersebut wajib untuk dipenuhi.

Mengutip data dari Bank Data Perlindungan Anak pada laman Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), terangkum perbandingan jumlah kasus perlindungan anak pada 2023 dan 2024.

Kasus terbagi dalam dua indikator, yakni Pemenuhan Hak Anak (PHA) dan Perlindungan Khusus Anak (PKA).

Permasalahan stunting anak termasuk dalam klaster Pemenuhan Hak Anak, yang di dalamnya terdapat sejumlah penggolongan. Antara lain lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif hingga Kesehatan dasar dan kesejahteraan.

Pada Data Perlindungan Anak 2023 jumlah kasus sebanyak 1.800 kasus terdiri dari Pemenuhan Hak Anak sebanyak 1.237 kasus atau 68,7 persen dan Perlindungan Khusus Anak sebanyak 563 atau 31,3 persen.

Sementara Data Perlindungan Anak 2024 jumlah kasus sebanyak 2.057 kasus terbagi menjadi Pemenuhan Hak Anak sebanyak 1.378 kasus atau 67 persen dan Perlindungan Khusus Anak sebanyak 679 atau 33 persen.

Data Perlindungan Anak 2023 dan 2024 sumber KPAI (Grafis:TRIBUNNEWS)

Anak yang menderita stunting harus segera ditangani agar pemenuhan haknya dapat dilaksanakan secara optimal.

Menurut Kementerian Kesehatan (Kemenkes), stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak akibat kekurangan gizi kronis terutama pada 1.000 hari pertama kehidupan (HPK).

Anak stunting ditandai dengan tinggi badan yang lebih pendek dari standar pertumbuhan anak dibandingkan usia dan jenis kelaminnya.

Kondisi stunting membuat sebagian anak memiliki kesempatan lebih kecil untuk tumbuh dan berkembang secara optimal.

Selama ini, orang memahami, anak yang mengalami stunting karena kekurangan gizi semata.

Padahal di balik kekurangan gizi itu, ada masalah yang lebih kompleks, mencakup permasalahan sosial dan budaya.

Di Indonesia, angka prevalensi stunting anak balita sudah menunjukkan tren penurunan, meski masih jauh dari target penurunan sebesar 14 persen pada 2024.

Menurut Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, prevalensi stunting nasional sebesar 21,5 persen, turun sekitar 0,8 persen bila dibandingkan tahun sebelumnya.

Untuk itu, perlu langkah yang lebih serius lagi untuk mempercepat penurunan kasus stunting. Sebab menurunkan angka stunting bukanlah persoalan yang mudah.

Kisah dan perjuangan dalam mengatasi stunting datang dari Desa Sokawera, Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.

Desa Sokawera adalah desa yang berada di ujung utara Kabupaten Banyumas dengan ketinggian 1.099 mdpl sehingga menjadikannya sebagai desa tertinggi di Kecamatan Cilongok.

Desa Sokawera berbatasan langsung dengan wilayah kehutanan milik Perhutani di sebelah utara.

Sementara di sisi timur dan selatan, berbatasan langsung dengan Desa Sunyalangu dan Desa Singasari, Kecamatan Karanglewas. Batas desa di sebelah barat adalah Desa Gununglurah.

Berdasarkan data per 31 Desember 2023, Desa Sokawera dihuni 8.957 jiwa dan tersebar di 64 RT. Mayoritas warganya berprofesi sebagai petani dan penderes kelapa.

Di balik damai dan tenangnya daerah tersebut, masalah tingginya jumlah kasus anak stunting di Desa Sokawera mendesak untuk segera diatasi.

Jumlah balita stunting per Desember 2023 mencapai 84 anak dari 388 balita.

Jumlah ini menjadikan Desa Sokawera sebagai salah satu desa 'penyumbang' angka stunting tertinggi di Banyumas yang kini berada di angka 20,9 persen berdasarkan SKI 2023.

Kepala Desa Sokawera, Mukhayat menjelaskan, kasus balita stunting di desanya disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah pola makan yang tidak baik dan kurangnya asupan protein hewani

"Kondisi mereka terkait pola makan misalnya males makan. Kedua adalah protein yang kurang seperti protein hewani," ucapnya pada 10 September 2023.

Berangkat dari hal tersebut, sebuah lembaga filantropi yaitu Tanoto Foundation mendirikan pusat pengasuhan untuk pencegahan stunting di Lereng Gunung Slamet.

Bekerjasama dengan pemerintah Desa Sokawera serta Pemkab Banyumas, Tanoto Foundation mendirikan Rumah Anak SIGAP.

Hal ini sebagai bentuk komitmen dan dukungan kepada pemerintah setempat dalam program pencegahan stunting serta memajukan sumber daya manusia melalui peningkatan pola pengasuhan anak usia dini.

Koordinator Rumah Anak SIGAP Sokawera, Ani mengatakan, sebenarnya ada tiga desa di Banyumas yang saat itu diasesmen oleh pihak Tanoto Foundation.

"Yang dipilih adalah Sokawera karena kasus stuntingnya paling tinggi," kata dia, Selasa (19/11/2024).

Selama setahun ini, Ani bersama empat fasilitator yang merupakan kader Posyandu Desa Sokawera mendampingi para orang tua dalam pengasuhan anak.

Mereka menjalankan sejumlah program yang berfokus pada upaya pencegahan stunting.

Upaya ini dilakukan dengan strategi mengubah perilaku masyarakat dalam hal pola makan, pola asuh, serta pola hidup bersih dan sehat.

"Jadi fokus kami adalah perubahan pola asuh pada penerima manfaat seperti ibu hamil, ibu dengan anak usia 0-3 tahun," tutur Ani.

Di Rumah Anak SIGAP Sokawera, para ibu akan mendapatkan ilmu tentang pencegahan stunting dari sejumlah narasumber berkompeten.

Misalnya dengan materi pemberian ASI eksklusif, pemenuhan kebutuhan gizi sejak hamil, kehamilan yang sehat, mempersiapkan kelahiran, hingga menikmati proses mengasihi.

"Meski materi atau informasi tersebut bersifat dasar, nyatanya banyak ibu yang belum mengetahui," ujar dia.

Materi lain yang berkaitan dengan pencegahan stunting juga diberikan kepada para ibu yang memiliki anak usia 0-6 bulan.

Yaitu pentingnya imunisasi dan vitamin A untuk anak usia dini; gizi seimbang untuk keluarga, dan Makanan Pendamping ASI (MPASI).

"Ibu dengan anak usia 6-12 bulan, usia 12-24 bulan, dan usia 24-36 bulan mendapatkan materi yang berbeda, tetapi saling berkaitan dengan pencegahan stunting," tambahnya.

Bentuk dukungan lain yang diberikan Rumah Anak SIGAP Sokawera adalah rutin memantau tinggi dan berat badan anak secara berkala.

"Jika ada anak yang berat badan dan tinggi badan tidak naik sebulan saja, kami sarankan untuk segera konsultasi dengan bidan atau dokter," tambahnya.

Keberadaan Rumah Anak SIGAP sebagai usaha percepatan penurunan stunting di Desa Sokawera mendapatkan apresiasi dari Kepala Bidang Kesehatan Masyarat Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas, dr Novita Sabjan.

Novita mengaku salut dengan langkah para pengurus Rumah Anak SIGAP Sokawera. Terlebih pendampingan yang diberikan berfokus pada anak-anak dengan masalah gizi.

"Permasalahan gizi atau stunting erat kaitannya dengan pola asuh, sehingga intervensi ini lebih tepat karena akan ada investasi jangka panjang."

"Tidak hanya satu atau dua bulan, tapi implementasinya pun akan long lasting melalui sejumlah program yang dilakukan," katanya.

Novita pun berharap, intervensi semacam ini dapat diadopsi di banyak desa di Banyumas.

Hal senada juga disampaikan Kepala Bidang KKB Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPKBP3A) Kabupaten Banyumas, Diah Pancasila Ningrum.

Diah berharap, sejumlah program percepatan penurunan stunting yang dilakukan Rumah Anak SIGAP Sokawera terus berjalan dan berkelanjutan.

"Saya berharap, program di Rumah Anak SIGAP Sokawera tidak berhenti serta bisa menjadi program yang berkelanjutan," kata dia.

Lebih lanjut Diah menjelaskan, program Rumah Anak SIGAP Sokawera pun melengkapi usaha lain yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Banyumas demi mempercepat penurunan angka stunting.

Di antaranya pemberian makanan tambahan (PMT) yang dibagikan secara berkala, Orang Tua Asuh/Bapak dan Bunda Asuh Anak Stunting, serta Program Dapur Sehat Atasi Stunting (Dashat).

"Kami juga mendampingi para ibu hamil agar mereka tidak melahirkan anak stunting," ucapnya.

Kisah dari Pelosok NTT Bidan Dini (berkaus hijau) bersama sejumlah warga Desa Uzuzozo, Kecamatan Nangapanda, Kabupaten Ende, NTT. Tujuh tahun menjadi bidan di sebuah desa terpencil di NTT, Dini sukses mengatasi masalah kesehatan ibu-anak, termasuk stunting. (Instagram/dwiaudn_)

Kisah perjuangan mengatasi stunting juga dialami oleh Bidan Theresia Dwiaudina bertugas di Desa Uzuzozo, Kecamatan Nangapanda, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Secara geografis, Desa Uzuzozo dikelilingi kawasan perbukitan, hutan, dan sejumlah sungai besar yang kerap meluap saat musim hujan datang.

Jaraknya sekitar 2 jam dari pusat Kabupaten Ende. Sinyal pun hilang timbul di sini.

Hanya ada satu fasilitas kesehatan yaitu pos kesehatan desa (poskesdes) dengan peralatan medis sederhana.

Itu pun lokasinya masih terbilang jauh dari 3 dusun dan 3 anak kampung yang ada di Desa Uzuzozo. Belum lagi medan ekstrem yang memisahkan.

Menjadi satu-satunya tenaga kesehatan yang di desa terpencil itu, perempuan yang karib disapa Bidan Dini ini menghadapi sejumlah masalah besar terkait kesehatan ibu dan anak.

Banyak anak di Desa Uzuzozo yang mengalami stunting atau tengkes.

Kondisi ini diperparah dengan tidak adanya pelayanan kesehatan dasar seperti imunisasi, kegiatan Posyandu, pemberian obat cacing, hingga pembagian vitamin A bagi anak-anak.

"Yang remaja juga tidak mendapatkan tablet tambah darah," kata Dini pada Tribunnews.com, Kamis (17/10/2024).

Belum lagi, Dini harus 'melawan' sejumlah mitos kesehatan yang selama ini dipercaya oleh sejumlah masyarakat.

Misalnya ada kepercayaan masyarakat yang sebaiknya tidak memberitahukan kabar kehamilan pada banyak orang. Cukup suami dan istri saja yang tahu.

"Rasanya sulit sekali menemukan ibu hamil yang mau mengaku bahwa dirinya hamil," tambah Dini.

Saat bertugas di desa ini, Bidan Dini mulai melakukan sejumlah pendekatan. Terlebih pemerintah desa juga menargetkan agar kasus stunting dapat turun.

Sejumlah pendekatan itu diselaraskan dengan kepercayaan di desa, tapi tetap sesuai prinsip kesehatan.

Lewat kegiatan posyandu, ia mengajarkan para ibu tentang pola asuh yang baik dan nutrisi yang sehat untuk anak.

Sebab, selama ini, tidak semua orang tua di Desa Uzuzozo tahu tentang jadwal dan cara pemberian makan.

Dalam pengakuannya, Dini bahkan tak segan ribut saat mengetahui ada orang tua yang tidak memberikan makan bergizi pada sang anak.

Usaha gigih Dini itu pun nyatanya membuahkan hasil. Jumlah anak stunting di Uzuzozo terus berkurang hingga 80 persen.

"Dari 15 sekarang pada tahun 2019, sisa tiga," katanya.

Tak hanya itu, Dini melihat adanya perubahan gaya hidup dari masyarakat. Kini, sudah tidak ada lagi ibu hamil yang melahirkan di rumah atau orang tua yang menolak anaknya diimunisasi.

Belum lagi, program pencegahan stunting yang dilaksanakan Dini juga menyasar kalangan remaja. Salah satunya melalui pemberian tablet tambah darah.

Dini tak menampik adanya kerjasama lintas sektor yang dilakukan di tengah keberhasilannya dalam melakukan revolusi kesehatan pada warga Desa Uzuzozo.

Bahkan sejumlah program seperti posyandu untuk balita dan lansia yang digelar setiap sebulan sekali juga tak lepas dari bantuan pihak desa.

Dana Desa dianggarkan untuk menyiapkan makanan sehat yang bisa dikonsumsi secara gratis termasuk pendirian poskesdes dan penunjang peralatan medis.

Kehadiran kader posyandu juga membantu Dini dalam melakukan pemantauan tentang kondisi kesehatan ibu dan anak, meski hasil evaluasi tetap ada di tangannya.

Dini pun berharap agar lebih banyak lagi peran serta dari sejumlah pihak dalam pencegahan stunting, utamanya di desa-desa terpencil.

"Jadi untuk kesejahteraan desa-desa ini bisa lebih diperhatikan lagi, entah dari pemerhati atau masyarakatnya. Apapun yang terjadi, keberhasilan sebuah negara dari komunitas-komunitas terkecil ini, apalagi sebuah desa," kata dia.

Stunting dan Masa Depan Anak Dokter spesialis anak asal Solo, Ardi Santoso, memberikan pengobatan gratis untuk pengungsi Rohingya di Aceh, 25-26 Desember 2023. Pengobatan itu dilakukan Ardi atas dasar panggilan kemanusiaan dengan merogoh kocek pribadi. (Tribunnews/ist)

Di antara berbagai hak anak yang dilindungi oleh negara, hak atas kesehatan menjadi salah satu yang paling vital.

Anak-anak membutuhkan gizi yang cukup serta layanan kesehatan yang memadai agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal.

Masalah kekurangan gizi kronis, yang saat ini lebih dikenal dengan istilah stunting, menjadi sorotan penting dunia, termasuk di Indonesia.

Dalam konstitusi, perlindungan terhadap anak ditegaskan melalui Pasal 28B ayat (2) UUD 1945, yang menyebutkan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Namun, meskipun sudah dilindungi oleh berbagai undang-undang seperti UU Perlindungan Anak dan UU Kesehatan, angka stunting di Indonesia masih berada di atas ambang batas standar WHO, yaitu 20 persen.

Kondisi ini menjadi cerminan bahwa stunting bukan hanya persoalan gizi semata, tetapi juga soal keseriusan semua pihak dalam menjamin masa depan generasi bangsa.

Dokter spesialis anak dari RS Kasih Ibu Solo, dr. Ardi Santoso, Sp.A., M.Kes menjelaskan bahwa stunting adalah masalah yang serius dan berdampak luas.

“Stunting tidak hanya berdampak pada individu, tapi juga pada kualitas generasi masa depan dan produktivitas bangsa,” ujarnya Ketika diwawancarai pada Kamis (10/4/2025).

Penyebab utama stunting, lanjutnya, adalah kekurangan gizi jangka panjang yang sering kali tidak disadari sejak dini.

Selain itu, infeksi berulang, pola asuh yang tidak optimal, sanitasi yang buruk, dan akses layanan kesehatan yang terbatas juga menjadi faktor pemicu.

Dalam masa 1.000 hari pertama kehidupan—mulai dari masa kehamilan hingga anak berusia dua tahun—segala hal yang berkaitan dengan nutrisi dan kesehatan ibu dan anak menjadi sangat krusial.

Nutrisi ibu hamil, pemberian ASI eksklusif, makanan pendamping ASI (MPASI) yang tepat, imunisasi lengkap, serta lingkungan bersih dan aman adalah penentu utama tumbuh kembang anak.

Status gizi ibu saat hamil pun tidak kalah penting.

Bila ibu mengalami kekurangan gizi, pertumbuhan janin bisa terganggu, dan anak berisiko lahir dengan berat badan rendah, yang kemudian bisa berkembang menjadi stunting bila tidak mendapat penanganan segera.

Masih banyak masyarakat yang menganggap anak pendek adalah hal wajar, mungkin karena faktor keturunan.

Padahal, menurut dr. Ardi, anggapan ini keliru.

"Banyak yang mengira anak pendek itu wajar karena faktor genetik. Padahal, bisa jadi itu stunting," katanya.

Dampak stunting tidak hanya terlihat dari segi fisik.

Dalam jangka pendek, anak menjadi lebih mudah sakit dan mengalami keterlambatan perkembangan.

Jangka panjangnya, kemampuan belajar bisa menurun, produktivitas saat dewasa rendah, dan anak lebih rentan mengidap penyakit kronis seperti hipertensi dan diabetes.

Stunting juga memengaruhi perkembangan otak dan kecerdasan anak.

Anak yang mengalami stunting cenderung memiliki IQ lebih rendah serta kesulitan bersosialisasi dan belajar.

Orang tua memiliki peran besar dalam pencegahan stunting sejak dini.

Dimulai dari memberikan gizi seimbang pada masa kehamilan, menyusui secara eksklusif selama 6 bulan pertama, hingga memberikan MPASI yang bergizi.

Selain itu, menjaga kebersihan lingkungan serta memantau tumbuh kembang anak secara rutin ke posyandu atau dokter juga sangat penting.

Pemberian imunisasi juga tak kalah penting dalam pencegahan stunting karena dapat melindungi anak dari infeksi yang bisa memperburuk kondisi gizi.

Sementara ASI eksklusif memberikan nutrisi dan kekebalan alami terbaik bagi bayi.

Untuk anak yang terlanjur mengalami stunting, meski sulit dibalikkan sepenuhnya, dr. Ardi menganggap intervensi gizi dan stimulasi dini masih bisa membantu memperbaiki beberapa aspek perkembangan, terutama bila dilakukan sebelum anak menginjak usia dua tahun.

Tantangan di Pedesaan Masih Tinggi Landscape sekitar bangunan Rumah Anak SIGAP Sokawera Desa Sokawera, Cilongok, Banyumas, Selasa (19/11/2024). (Tribunnews.com/Chrysnha Pradipha)

Tantangan pencegahan stunting di daerah pedesaan jauh lebih kompleks dibandingkan di perkotaan.

Kurangnya edukasi, keterbatasan akses layanan kesehatan, dan masih kuatnya mitos seputar makanan menjadi kendala utama.

Namun bukan berarti tidak bisa diatasi.

Pendekatan berbasis komunitas dinilai efektif.

Penguatan peran posyandu, pelatihan kader kesehatan, dan pemberdayaan ibu-ibu muda dengan pendekatan budaya lokal terbukti mampu menurunkan angka stunting di beberapa wilayah.

Peran kader posyandu, bidan desa, dan tokoh masyarakat sangat krusial. Mereka adalah ujung tombak edukasi dan pendampingan langsung kepada masyarakat.

“Kader dan bidan menjadi sumber informasi yang pertama kali dicari oleh ibu-ibu,” kata dr. Ardi.

Dalam menangani stunting, peran tenaga kesehatan seperti dokter anak, bidan, perawat, hingga ahli gizi sangat dibutuhkan. Mereka bertugas memberikan diagnosis, edukasi, serta intervensi yang dibutuhkan oleh keluarga.

Program pemerintah seperti posyandu dan Puskesmas sejauh ini dinilai sudah cukup efektif, apalagi bila didukung dengan pelatihan kader yang memadai dan keterlibatan masyarakat.

Namun, dr. Ardi menekankan bahwa “konsistensi dan keberlanjutan program menjadi kunci keberhasilan.”

Tentu saja, tantangan tetap ada.

Di lapangan, para tenaga medis kerap menghadapi keterbatasan sumber daya, beban kerja tinggi, dan akses ke wilayah terpencil yang sulit dijangkau.

Belum lagi tantangan dalam mengubah pola pikir dan pemahaman masyarakat tentang pentingnya gizi dan kesehatan anak.

Stunting bukan hanya tanggung jawab keluarga, tapi juga negara.

Itulah sebabnya, penanganan stunting masuk dalam program prioritas nasional.

Menurut dr. Ardi, saat ini pemerintah telah melakukan berbagai upaya maksimal, dan hasilnya terlihat dari angka stunting yang mulai menunjukkan penurunan.

Meski begitu, upaya harus terus dilakukan.

“Edukasi dan jaminan kesehatan ibu-anak selama 1.000 HPK itu kuncinya,” jelasnya.

Pemerintah harus memastikan tidak hanya program berjalan, tapi juga benar-benar menyentuh masyarakat hingga ke lapisan bawah.

Pesan dari dr. Ardi untuk para orang tua sederhana namun penting.

“Jangan menunggu anak terlihat kurus atau kecil. Cek tumbuh kembang secara rutin, berikan makanan bergizi, dan jangan ragu bertanya pada tenaga kesehatan.”

Karena anak yang sehat, cerdas, dan tumbuh optimal bukan hanya dambaan keluarga, tapi juga aset penting bangsa.

(***)

Sentimen: positif (100%)