Sentimen
Undefined (0%)
25 Mar 2025 : 13.53
Informasi Tambahan

Hewan: Ayam, Gajah

Kab/Kota: Klaten, Solo, Sukoharjo, Yogyakarta

Kasus: korupsi

Tokoh Terkait

Mengunyah (Cerita) Nasi Cadhong

25 Mar 2025 : 13.53 Views 11

Espos.id Espos.id Jenis Media: Kolom

Mengunyah (Cerita) Nasi Cadhong

Dengan bangga (jemawa), Presiden Prabowo Subianto mengaku menerima sejumlah surat pemimpin dunia perihal program makan bergizi gratis (MBG). Ia mengatakan negara-negara lain ingin belajar program tersebut dari Indonesia (21/3/2025).

Jika mau jujur, realisasi program (MBG) masih kedodoran. Beberapa waktu lalu kita mendapati kasus bocah keracunan di Sukoharjo. Puluhan siswa di sekolah dasar disodori nasi, ayam goreng tepung, ca wortel, tahu, dan susu. Sebubar melahap, sejumlah siswa dilanda pusing, mual, hingga muntah-muntah.

Potret suram di Sukoharjo itu ditanggapi Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi. Kasus tersebut akan menjadi evaluasi bagi Badan Gizi Nasional (BGN) demi memperketat prosedur operasional standar. 

Peristiwa di Sukoharjo, yang pada masa silam masuk kawasan Vorstenlanden, menggugah ingatan historis tentang sega cadhong. Terminologi ”cadhong” tercantum dalam Babasan lan Saloka (1908) yang artinya panduman ingkang ajeg tampinipun (pemberian yang rutin diterima).

Pekamus Poerwadarminta dalam Bausastra Jawa (1939) mencatatkan makna istilah lama ini, yakni apa-apa sing dadi pepancening pangan (apa saja yang menjadi pokok pangan). 

Sastrawan Jawa terkemuka Ki Padmasusastra (1912) menegaskan arti lema itu pangane abdi dalem pangrembe ana kang rupa beras saben sasi (jatah untuk petugas kerajaan di bidang persawahan ada yang berupa beras setiap bulan) atau panganing batur arupa sega (makanan pelayan berwujud nasi). 

Lantaran dipandang penting sebagai fenomena sosial kala itu, indolog Gericke dan Roorda (1901) menjelaskan juga. ”Cadhong” biasanya berpegangan kedua tangan (dan sedikit ditekuk) terbuka untuk menerima sesuatu; untuk siap menerima pesanan seseorang; jatah seseorang.

Istilah ”cumadhong” diartikan siap menerima jatah; menunggu perintah seseorang. ”Nyadhong” artinya membuka tangan untuk menerima sesuatu. Ditelisik dari setiap uraian pendek para pendekar bahasa itu, dapat ditekankan cadhong bertemali dengan pemberian makanan dari atasan kepada bawahan secara rutin.

Di Keraton Kasunanan Surakarta yang melahirkan ”Raja Jawa” yang asli, misalnya, urusan cadhong (jatah makan) ditangani barisan petugas di pawon ageng. Ruang dapur ini dipakai memasak nasi guna memenuhi kebutuhan makanan bagi abdi dalem yang jumlahnya ratusan.

Sedangkan hidangan untuk disantap raja bersama keluarga digarap di koken dengan menerapkan aturan yang ketat. Demi menjamin kualitas hidangan, kebersihan, serta kepuasan raja, lurah dapur mengawasi anak buah memilih butir beras yang utuh dan bagus dari Delanggu, Klaten, yang tersohor dengan beras raja lele.

Di pawon ageng, cara memasak sangat berbeda dengan cara memasak biasa. Panci besar (dandang) yang digunakan dilekatkan langsung dengan tungku, yang disebut sablugen. Jumlahnya bisa mencapai beberapa puluh dan proses memasaknya dilakukan terus-menerus tanpa henti hingga semua selesai. 

Prajurit, kusir kuda, tukang kebersihan, niyaga, hingga petugas lainnya bakal terjamin urusan perut kala menjalankan piket di istana. Sewaktu sederet penabuh alat musik Jawa diminta menghibur raja bersama kaum bangsawan sampai menjelang subuh, mereka dipesankan nasi liwet atau nasi gudeg langsung dari tangan ahlinya yang berasal dari Baki, Sukoharjo. 

Cadhong makanan tradisional ini dimaksudkan supaya mereka tidak merepotkan para istri atau anggota keluarga niyaga di rumah karena pulang pada pagi buta. Program MBG menyediakan buah-buahan untuk melengkapi hidangan anak-anak, demikian pula cadhong pada masa silam. 

Ki Padmasusastra dalam Serat Tatacara merekam buah salak, semak, mundhu atau kleca, dan bengkoang yang dibeli di pasar untuk cadhongan rombongan pemain gamelan. Camilan yang disediakan pengelola dapur, antara lain, onde-onde, kue kuping gajah, dan lainnya.

Cadhong tidak hanya berlaku di sekitar keraton, namun juga melebar di wilayah luar. Dalam pustaka Carita Peperangan ing Aceh, L. F. van Gent (1921) mengisahkan sekelompok serdadu mengeluh gara-gara jatah makanan kian hari kian dikurangi. 

Genap perjalanan selama tujuh hari bertugas di medan tempur, ternyata persediaan beras habis. Sehari-hari lidah pasukan perang ini menyantap lauk dendeng secuil. Mau tak mau mereka harus menerima kenyataan pahit tersebut serta mematuhi perintah atasan. 

Sesampai di hutan, para prajurit memakan dedaunan sedapatnya. Begitu pula pengalaman Padmasusastra sewaktu di negeri Belanda. Kala pagi dicadhong oleh Tuan De Nooy berupa sepotong roti diolesi mentega dan ditaburi irisan tipis keju serta secangkir kopi. 

Di negeri penjajah, sang pujangga tiada menemukan nasi gudeg yang merupakan kuliner kedoyanannya itu. Setiap kali menikmati hasil cadhong, dia menahan napas supaya aroma mentega yang dianggap amis tidak menusuk lubang hidung. 

Lantaran terdesak keadaan, usus Padmasusastra mulai terbiasa dengan hidangan Eropa tersebut (Supardi, 1961). Jurnalis Kajawen (Oktober 1935) mengabarkan penguasa Kerajaan Kasunanan Surakarta juga memikirkan nasib kaum kere yang ditempatkan di Kedhungkopi, sebelum dipindah ke Wangkung (cikal-bakal “markas” kaum papa yang dinaungi dinas sosial). 

Gelandangan lintas umur diberi jatah makan oleh pembesar istana (ingonipun angsal pepancen cadhong tedha saking nagari). Agak berbeda dengan tradisi pesantren atau paguron, para santri acap mengucapkan nyadhong donga pangestu (meminta doa restu) ketika menghadap kiai atau guru untuk menjalankan suatu tugas atau misi. 

Paparan itu membuktikan bahwa pemberian jatah makan bukanlah fenomena “kemarin sore”. Itu juga menyasar banyak kelompok. Yang patut dicamkan ialah program MBG mestinya dikerjakan dengan penuh ketulusan hati dan kejujuran. 

Megaproyek ini jangan untuk ajang bancakan korupsi. Jika tega melukai tunas muda dengan menyajikan makanan tak layak hingga bikin keracunan, Gusti Allah mboten sare. Tak hanya orang tua, Sang Sutradara Kehidupan terlalu sayang kepada para pemilik hati yang masih polos itu.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 24 Maret 2025. Penulis adalah dosen Sejarah di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan pemrakarsa Solo Societeit)

Sentimen: neutral (0%)