Sentimen
Undefined (0%)
22 Mar 2025 : 07.30
Informasi Tambahan

Hewan: Ayam

Kab/Kota: Surabaya

Kasus: pengangguran

Tokoh Terkait
Firdaus

Firdaus

Jejak Juwita

22 Mar 2025 : 07.30 Views 36

Espos.id Espos.id Jenis Media: Lifestyle

Jejak Juwita

Juwita merasa hari-hari gembiranya amat sebentar. Tiap kali mamak keluar rumah karena harus berjualan agar mereka bisa makan, seketika itu juga ia merasa hari gembiranya direnggut paksa.

Ketika mamak berangkat. itu artinya ia harus melalui banyak hal seorang diri. Juwita tidak menyukai situasi tersebut.

Mata Juwita yang biasanya bersinar-sinar dengan senyum tak henti melukis bibirnya yang merah jambu itu tiba-tiba berubah muram. Juwita langsung berjongkok di pinggir pintu sembari melihat kanan-kirinya tanpa jeda. Mulut mungilnya bergerak ritmis lengkap dengan gumaman tak beraturan!

Mamak Juwita memahami itu semua. Keadaan tersebut sudah ia hadapi bertahun-tahun lalu sejak Juwita menunjukkan gelagat tidak biasa. Awalnya Mamak Juwita menganggap semuanya itu biasa saja. Menurutnya, Juwita memang pemalu sikapnya.

Juwita jarang keluar dari rumah mereka yang hanya sepetak. Dia lebih senang berada di pojok tempat tidur. Mamak Juwita selalu menemukan anaknya itu bersembunyi di pojok ruangan. Putrinya tidak akan keluar sampai dirinya memanggil untuk makan atau menonton TV.

Mamak Juwita tetap beranggapan sikap putri sulungnya itu biasa-biasa saja. Tengah malam buta tanpa sadar Mamak Juwita terjaga - menemukan Juwita berjongkok di tengah rumah petak mereka. Mamak Juwita mengelus dada. Juwita akan bertahan dengan posisi jongkok tersebut sampai dirinya meminta gadis itu kembali ke kasur.

Juwita menurut, ikut merebahkan diri di samping mamaknya. Mamak Juwita mencoba bersenandung demi putrinya dapat memejamkan mata. Usaha tak sengaja itu berhasil. Juwita terlelap bersama senandung mamaknya yang membawa dirinya melihat bulan, bintang-bintang, dan awan gemawan. Mamak Juwita menjadi tahu kegemaran putrinya.

Mamak Juwita akhirnya rela bersenandung sepanjang malam demi putrinya terlelap walau sebentar.

Juwita bersekolah sampai kelas lima SD saja. Para guru dan kepala sekolah menyerah, tidak mampu membimbing dirinya. Sekolah mengembalikan Juwita pada mamaknya. Sekolah mengundang Mamak Juwita untuk rapat. Dalam pertemuan itu, para guru dengan kepala sekolah membuka seada-adanya keadaan Juwita.

Sekian tahun berada di sekolah, Juwita tidak mampu melakukan apa-apa. Bukan itu saja, Juwita sama sekali tidak memiliki teman. Juwita selalu menyendiri. Belum lagi kalau tabiat ngomong sendirinya kambuh, para guru tak bisa menghentikan gadis itu.

Para guru menyarankan mamak membawa Juwita berobat. Mamak Juwita bergeming! Apa yang hendak diobati? Dulu sekali Juwita sering panas tinggi. Sejak itu, Juwita mengalami banyak perubahan. Juwita berubah seperti jiwa yang hilang!

Sungguh tidak ada tingkah laku Juwita yang menakutkan. Juwita tidak pernah mengganggu orang. Juwita hanya berjongkok di samping pintu rumah. Juwita tidak pernah tertarik pada orang-orang yang lewat. Para tetangga kerap menyapanya dengan ramah. Memanggil namanya. Mengajaknya bercanda atau terkadang berusaha menghampiri dirinya. Juwita tidak beraksi. Juwita bergeming dengan tetap pada posisi jongkok.

Secara fisik. Juwita tampak sehat. Tak kurang sesuatu pun. Tubuhnya semampai, kulitnya halus, putih campur merah jambu dengan wajah yang tampak bersinar. Banyak orang memujinya.

Sebetulnya Juwita seorang gadis yang cantik - terutama rambut lebat hitam legamnya yang menjadi daya tarik tersendiri.

Mamak Juwita sangat menjaga kebersihan putri sulungnya. Mamak Juwita selalu gembira bercampur sedih apabila mendengar pujian perihal kecantikan putrinya. Gembira sebab orang-orang di sekeliling rumah petak mereka masih menaruh perhatian pada Juwita.

Mamak Juwita kerap dihinggapi rasa cemas orang-orang itu akan mengucilkan atau menghina keadaan putrinya yang memang istimewa tersebut. Namun, yang dia khawatirkan tidak terjadi. Sebaliknya, semua orang memberikan perhatian, termasuk Bapak Firdaus, pemilik rumah petakan, yang sangat baik kepada semua penghuni kontrakannya. Bapak Firdaus sering menyapa Juwita dengan penuh kasih sayang.

Dan akhirnya mamak berangkat juga. Yang terjadi selanjutnya, Juwita ternyata tidak mengingat pesan mamaknya yang sudah hilang di ujung jalan depan. Mamaknya itu berkata, “Jangan keluar dari rumah. Main di rumah saja. Mamak sebentar saja, kok! Jangan mau diajak oleh siapa pun!”

Namun, belum lagi mamaknya pergi jauh, pandangan Juwita ternyata sudah tersedot pada sebuah kilau. Cahaya berpendar menguasai pandangan matanya. Setelah cahaya tersebut hilang. Juwita merasa lega.

Tapi, belum lagi hilang keterkejutannya, cahaya berpendar itu kembali bermain-main di mukanya. Juwita berusaha menangkap cahaya tersebut sebelum kemudian berpindah dua jengkal di depannya.

Juwita berdiri dari jongkoknya, berusaha mengejar cahaya yang menarik hatinya itu. Kembali cahaya berpendar tersebut menempel di mukanya. Berpindah lagi, kali ini lebih jauh dari tempatnya berdiri.

Cahaya itu terus berpindah seakan mengajak dirinya bermain. Juwita merasa gembira lagi. Ternyata, bukan mamak saja yang mampu membuat hari-harinya gembira, cahaya itu juga. Juwita terus saja mengejar cahaya itu tanpa perduli pintu rumah yang ia biarkan ternganga lebar!

Waktu berlalu saat Mamak Juwita terkejut mendapati pintu rumahnya terbuka. Sandal putrinya tertinggal sebelah di tengah halaman. Penuh rasa penasaran Mamak Juwita masuk rumah untuk mencari tahu keadaan.

Rumah kosong seperti saat ia tinggal pergi sebelumnya. Bedanya, Juwita tidak ada di dalam. Mamak Juwita tercenung. Rasa takut merongrong dirinya!

Mamak Juwita menahan segala kalutnya. Dia kembali ke ujung jalan, mencoba mencari putrinya seorang diri.

Mamak Juwita tahu tidak mungkin selamanya mengurung Juwita di rumah petak. Terkadang dia membiarkan putrinya itu bermain hingga ke lapangan sepak bola di dekat balai desa. Biasanya Juwita duduk-duduk di bawah pohon rindang. Semenjak Juwita tidak bersekolah, otomatis Mamak Juwita yang mengurus seorang diri.

Mamak Juwita paham naik-turun kehendak hati putrinya. Juwita kerap menunjukkan sikap-sikap tertentu yang menyatakan ia bosan di rumah. Bila sudah begitu, Mamak Juwita akan membiarkan anaknya itu keluar dengan tetap dalam pengawasan. Mamak Juwita berusaha membesarkan hatinya.

Dalam pencariannya, Mamak Juwita nyaris bertubrukan dengan Bapak Firdaus yang terlihat tergesa. Bapak Firdaus saat itu terlihat kaget, seakan melihat hantu.

Mamak Juwita ikut menenangkan hatinya. Mamak Juwita heran menyadari kondisi Bapak Firdaus yang awut-awutan.

“Maaf Mamak Juwita, saya tidak melihat! Mau ke mana?” tanya Bapak Firdaus terengah. Mamak Juwita sedikit terpana.

“Mencari Juwita, Pak. Saya tinggal sebentar, dia pergi. Mungkin ke lapangan. Saya tinggal dulu, Pak. Mari.”

Mamak Juwita pamit dengan agak rikuh. Bapak Firdaus mengangguk dengan wajah pias.

Mamak Juwita tidak pernah ragu akan kebaikan penghuni sesama rumah petaknya. Mereka terikat dengan perasaan senasib sepenanggungan.

Mamak Juwita tidak pernah melihat putrinya diusili para tetangga. Mamak Juwita lebih waswas pada orang-orang di lapangan sepak bola. Banyak pemuda pengangguran dan berandalan di sana.

Tanpa sepengetahuan mereka, Mamak Juwita kerap melihat pemuda-pemuda berandalan itu menggoda putrinya. Menjawil bahunya dan terkadang sengaja menyentuh area dadanya. Bila sudah seperti itu, Mamak Juwita bergegas mendekati dan menjaga putrinya.

Mamak Juwita terkadang heran dengan berandalan-berandalan itu. Mereka seakan tidak peduli dengan keadaan Juwita yang suka berjongkok dengan pandangan bengong atau bicara dan tertawa sendiri. Bagi mereka, seakan semua itu adalah daya tarik yang lain. Para berandalan tersebut justru semakin banyak yang mendekat. Mamak Juwita berjuang menjaga putri semata wayangnya.

---

Mamak Juwita tidak berhasil menemukan Juwita. Namun, tanpa lelah ia menyusuri seluruh lapangan bola sampai bolik-balik ke podium yang berbau sengit. Campuran kencing dan kotoran hewan juga manusia. Mamak Juwita tidak melihat Juwita di sana. Dia lalu berpindah lokasi, memutuskan mencari anaknya di sekitar pasar dekat lapangan.

Orang-orang penghuni petak terheran-heran melihat Mamak Juwita yang kalut. Mereka memang berdagang di sekitar pasar. Penjual bakso, sempol, nasi campur, dan aneka es juga minuman.

Satu-dua orang menyapa Mamak Juwita dan menanyakan apa yang terjadi. Mamak Juwita menjawab sedang mencari putrinya. Namun, tidak seorang pun melihat Juwita bermain di sekitar pasar.

Mamak Juwita lalu pamit menghindari keriuhan. Dia tidak menyerah, terus mencari ke tempat lain. Langit berubah kelabu saat Mamak Juwita tidak berhasil dengan usahanya.

Para penghuni petak tampak berkerumun di depan pintu rumahnya. Mereka serempak menghampiri Mamak Juwita yang berjalan pulang dengan kondisi lemas. Mereka memapah Mamak Juwita dan lalu mendudukkannya di kursi.

Kabar menghilangnya Juwita tersiar dengan cepat. Rata-rata melihat Juwita kali terakhir berjongkok di depan pintu rumah. Mamak Juwita paham maksudnya. Itu adalah posisi sebelum ia berangkat mengambil sesuatu di tengah kota.

“Juwita tidak pernah pergi jauh. Paling main di depan-depan sini. Juwita paling suka bermain sama ayam-ayam milik Pak Darso. Tidak pernah jauh. Sekali ini aneh?” gumam Bu Wiwik sedih.

“Semua juga tahu, Bu. Juwita memang tidak pernah ke mana-mana. Mamaknya selalu mengantar kalau Juwita mau main ke lapangan. Kira-kira siapa yang mengajak Juwita ya?” sambung Mbak Umi Kulsum.

Mamak Juwita mendengar sayup-sayup dari dalam rumah petaknya. Mamak Juwita rebahan karena pikirannya kalut. Masih jelas dalam ingatannya tadi pagi saat memandikan Juwita.

Sejak putus dari sekolah dasar, Juwita tidak pernah mau mandi. Mamak Juwita yang selalu memandikannya. Mamak Juwita dengan sabar membilas sekujur tubuhnya, ketiak, sela pinggang, paha, bahkan sampai tempat rahasianya. Mamak Juwita membilasnya sampai sangat bersih. Mamak Juwita tidak pernah membiarkan putrinya kotor apalagi berbau.

Tengah malam, Juwita ditemukan tetangga di petak rumah paling ujung. Mamak Juwita berdebar menerima berita itu. Suara keibuannya seakan menyatakan sesuatu pada dirinya.

Para tetangga petak rumah masih ramai berkerumun menunggu kedatangan Juwita. Mamak Juwita bangun dari rebahannya. Dia ingin menyambut putrinya dengan sukacita. Dia tidak ingin patah semangat.

Mamak Juwita ingin selalu ada kasih tak terbatas untuk putrinya yang seakan tak berjiwa itu. Suara-suara seketika ramai di luar. Juwita sudah datang bersama tetangga dari petak paling ujung. Mamak Juwita berdiri di depan pintu.

Mamak Juwita menguyur tubuh putrinya bersama air mata yang merembes deras. Baju Juwita kotor bercampur lumpur. Dia menemui beberapa goresan di lengan, kaki, dan pinggangnya.

Mamak Juwita kembali menguyur air dengan kasih. Sabun batangan ia gosok hingga berbusa. Perlahan Mamak Juwita membilas tubuh putrinya. Sesuatu membuat Mamak Juwita menebah dada. Juwita selalu mengepit selangkangannya. Juwita tidak mengizinkan Mamak menyentuhnya.

Air mata Mamak Juwita kian deras begitu menyadari celana dalam putrinya sangat kotor dam juga berlendir. Seketika Mama Juwita merengkuh putrinya yang tampak ketakutan.

Rumah petak sudah terkunci rapat. Tinggal mereka berdua di dalamnya. Mamak Juwita menyuapi putrinya tanpa bersuara. Tangan Juwita masih terus saja menangkup isi selangkangannya. Mamak Juwita terisak pedih.

Juwita kini jongkok sembari menutup erat kedua pahanya. Berulang kali Mamak Juwita mengusap kepala putrinya. Mamak Juwita dapat merasakan ketakutan putrinya. Kata-kata tak jelas terus berhamburan dari bibir Juwita yang merah jambu. Wajah putihnya seperti terbakar. Juwita menggigil dan meraung-raung seakan ingin menyampaikan apa yang sudah menimpanya.

Mamak Juwita memeluk putrinya dengan bersimbah air mata.

 

Ricardo Marbun, menyukai karya-karya fiksi. Tinggal di Surabaya.

Sentimen: neutral (0%)