Sentimen
Positif (100%)
19 Mar 2025 : 14.30
Informasi Tambahan

Kasus: HAM

Masihkah Pengkritik Jadi Sahabat Kapolri?

19 Mar 2025 : 14.30 Views 15

Kompas.com Kompas.com Jenis Media: Nasional

Masihkah Pengkritik Jadi Sahabat Kapolri?

Masihkah Pengkritik Jadi Sahabat Kapolri? Aktif sebagai Peneliti HAM dan Sektor Keamanan SETARA Institute, serta Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Indo Global Mandiri PERMINTAAN maaf secara terbuka terhadap institusi Polri dan Kapolri yang dilakukan Band Sukatani beberapa waktu lalu, atas karya progresif yang mereka ciptakan berupa lagu berjudul "Bayar Bayar Bayar", membuka tabir kontradiksi serius antara komitmen dan tindakan bagi Kepolisian, terutama berkaitan dengan penyikapan atas berbagai kritikan publik terhadap kinerjanya. Dugaan publik perihal keterlibatan aparat yang melatarbelakangi permintaan maaf band Sukatani nyatanya berada pada track yang benar. Sebab, tidak lama setelah lagu tersebut viral, kedua personel band ini didatangi Direktorat Reserse Siber Polda Jawa Tengah pada 20 Februari 2025. Polda Jawa Tengah (21/2) menyatakan bahwa personel mendatangi band tersebut dalam rangka klarifikasi tujuan pembuatan lagu "Bayar Bayar Bayar". Pada bagian inilah ketidaklogisan terjadi. Tindakan klarifikasi yang dilakukan aparat berujung permintaan maaf band Sukatani. Lagu tersebut mereka tarik dari platform musik, bahkan keduanya membuka identitas saat menyampaikan permintaan maaf. Pertanyaannya, bagaimana mungkin jika hanya upaya klarifikasi, tapi ujungnya pembungkaman? Masyarakat awam pun dapat melihat dengan mudah wajah-wajah penuh tekanan dalam video permintaan maaf yang beredar luas tersebut. Selain itu, pertanyaan berikutnya, mengapa aparat perlu menanyakan tujuan pembuatan lagu tersebut? Apakah lirik-lirik lagu tidak cukup jelas memberikan jawaban bahwa lagu tersebut adalah kritikan atas realitas di lapangan? Tindakan ini seakan mengisyaratkan bahwa setiap kritikan yang ditujukan kepada Polri dalam berbagai bentuknya, perlu dijabarkan dan dilaporkan kepada Kepolisian perihal maksud dan tujuannya. Aparat semestinya memberikan penghargaan kepada band Sukatani, karena mengangkat kritikan terhadap institusi Polri dalam bentuk lagu, sehingga menjangkau khalayak lebih luas dan publik semakin aware untuk mengawasi oknum polisi. Singkatnya, lagu ini semestinya disikapi dan didukung sebagai upaya mendorong reformasi kultural Polri. Klarifikasi yang berujung permintaan maaf dari pihak yang didatangi, hingga menarik lagu dari platform musik, semestinya patut dicurigai menyimpan tindakan intimidatif dan represif di dalamnya. Meskipun dalam klarifikasinya, sebagaimana disampaikan Polda Jawa Tengah (21/2), lagu tersebut dapat diedarkan kembali, tetapi kondisi ini semakin menebalkan fenomena #noviralnojustice yang selama ini muncul di tengah masyarakat terhadap kinerja kepolisian. Dalam rangka implementasi komitmen Polri menerima dan terbuka atas kritik publik, Kapolri semestinya memimpin pemeriksaan terhadap kasus ini. Kasus-kasus seperti ini justru membantah sendiri komitmen Polri menerima kritik. Pihak-pihak yang semestinya diberikan penghargaan atas kritiknya, serta menjadi sahabat Kapolri, justru menjadi pesakitan melalui dugaan intimidasi dan represi. Institusi Kepolisian, terutama Kapolri dan jajarannya, sepertinya perlu diingatkan komitmen yang mereka sampaikan tahun 2021 lalu, ketika mengadakan lomba Bhayangkara Mural Festival. Dalam lomba tersebut, kritikan kepada Polri disampaikan melalui mural. Bahkan Kapolri menyampaikan bahwa muralis yang paling pedas dalam mengkritik bakal jadi sahabatnya. Dalam konteks ini, jika Kapolri dan jajarannya konsisten, semestinya perlakuan yang sama juga ditujukan kepada band Sukatani. Band Sukatani dan muralis ketika itu sama-sama menyampaikan kritik melalui seni, yakni lagu dan mural. Persoalan ini juga membuka tabir realitas bahwa belum tentu jajaran Polri di level daerah dapat mengikuti komitmen Polri di pusat. Jika dibiarkan, komitmen Kapolri untuk memastikan institusi Polri terlibat dalam pemajuan demokrasi di Indonesia dapat bertepuk sebelah tangan. Kebebasan berpendapat dan berekspresi menjadi jantung demokrasi. Hambatan dan tantangan visi demokratis ini justru datang dari internal, berupa oknum-oknum aparat yang tidak siap dengan iklim demokrasi, serta pimpinan yang tidak tegas atas perilaku anggotanya. Fenomena ini juga menegaskan temuan survei ahli SETARA Institute dalam studi Desain Transformasi Polri (2024), bahwa 51,2 persen ahli, atau mayoritas ahli, menyatakan pelaksanaan kepolisian yang demokratis dan humanis berjalan buruk. Salah satu musababnya adalah minimnya pemahaman dan/atau perspektif anggota Polri mengenai perlindungan HAM di lapangan. Dalam konteks persoalan band Sukatani, aparat di lapangan semestinya paham itu bagian dari kebebasan berekspresi yang telah dijamin Konstitusi. Hal tersebut juga sejalan dengan mayoritas pendapat ahli dalam studi tersebut, bahwa 80,1 persen ahli menyatakan aspek-aspek yang harus diprioritaskan dalam pemolisian demokratis dan humanis adalah menunjung tinggi HAM. Selain itu, jika tidak ada evaluasi dan pemeriksaan terkait dugaan pembungkaman atas persoalan ini, pengaruh Polri dalam menjaga demokrasi Indonesia dapat semakin buruk. Dalam studi SETARA tersebut, mayoritas ahli atau 49,7 persen menyatakan bahwa pengaruh Polri dalam menjaga demokrasi Indonesia ada di status buruk. Hanya 19,8 persen yang mengatakan Polri memberi pengaruh baik. Perlu digarisbawahi bahwa studi SETARA Institute tersebut dilakukan kepada 167 ahli yang memiliki kualifikasi sangat memadai terhadap isu-isu terkait kinerja Kepolisian. Mereka memiliki dasar justifikasi berbasis kepakaran dalam memberikan penilaian atas kondisi reformasi Polri. Penilaian mereka perlu dipandang sebagai vitamin dalam pembenahan Kondisi ini juga perlu menjadi alarm bagi Polri agar segera melakukan evaluasi kinerja. Evaluasi yang dimaksud dapat berkaitan dengan kinerja pengawasan internal dan implementasi hukuman atas pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh anggota Polri. Minimnya pengawasan dan punishment dapat mengakibatkan kesewenang-wenangan kinerja aparat yang berulang. Di balik permintaan maaf band Sukatani, terpampang realitas bahwa komitmen yang disampaikan Kapolri untuk terbuka atas kritikan, bahkan kritik terkeras menjadi sahabat Kapolri, dapat berbanding terbalik dengan respons aparat di tingkat daerah. Melalui kasus ini, terlihat bahwa upaya menjadi kepolisian demokratis yang terbuka atas kritik, justru cenderung kuat hanya di tingkat pusat. Pada tingkat daerah, perwujudan komitmen Kapolri tersebut masih menjadi PR besar. Bahkan berpotensi tidak inheren dengan sebagian anggotanya di daerah. Padahal, lirik lagu yang memuat potret perilaku koruptif aparat di lapangan dalam berbagai urusan pelayanan publik, semestinya menjadi lecutan institusi Polri untuk terus berbenah dan mengakselerasi reformasi kultural hingga level daerah. Sebab, berbagai persoalan yang terkandung dalam lirik lagu tersebut juga termasuk ke dalam 130 permasalahan yang menjadi pemicu utama stagnasi reformasi Polri selama ini, sebagaimana hasil identifikasi SETARA Institute dalam studi Desain Transformasi Polri (2024). Copyright 2008 - 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

Sentimen: positif (100%)