Sentimen
Positif (98%)
7 Mar 2025 : 19.35
Tokoh Terkait

Urgensi Perda Masyarakat Hukum Adat

7 Mar 2025 : 19.35 Views 12

Kompas.com Kompas.com Jenis Media: Nasional

Urgensi Perda Masyarakat Hukum Adat

Urgensi Perda Masyarakat Hukum Adat Dosen, Penulis dan Peneliti Universitas Dharma Andalas, Padang HUKUM nasional dan hukum adat seringkali dianggap sebagai dua sistem hukum yang berbeda, bahkan bertentangan. Padahal, hukum adat merupakan bagian dari sistem hukum Indonesia yang diakui oleh konstitusi. Harmonisasi hukum nasional dan hukum adat menjadi penting untuk menciptakan sistem hukum yang komprehensif dan berkeadilan. Peraturan daerah (Perda) MHA dapat menjadi jembatan untuk mengharmonisasikan kedua sistem hukum tersebut. Perda dapat memuat ketentuan mengenai pengakuan terhadap hukum adat sebagai sumber hukum yang sah di samping hukum nasional. Perda dapat mengatur mengenai penerapan hukum adat dalam penyelesaian sengketa adat, sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar hukum nasional dan hak asasi manusia. Perda juga dapat mengatur mengenai mekanisme koordinasi antara lembaga adat dengan lembaga pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di wilayah adat. Harmonisasi hukum nasional dan hukum adat bukan berarti menghilangkan atau mengganti hukum adat dengan hukum nasional. Harmonisasi berarti mencari titik temu dan keselarasan antara kedua sistem hukum tersebut, sehingga tercipta sistem hukum yang lebih adil, responsif, dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dalam proses harmonisasi, penting untuk menghormati kearifan lokal dan nilai-nilai budaya yang terkandung dalam hukum adat. Dengan mengharmonisasikan hukum nasional dan hukum adat, kita dapat menciptakan sistem hukum yang lebih inklusif dan partisipatif. MHA dapat berpartisipasi aktif dalam proses pembentukan dan penegakan hukum, sehingga hukum yang berlaku benar-benar mencerminkan aspirasi dan kepentingan mereka. Harmonisasi hukum juga dapat meningkatkan efektivitas penegakan hukum, karena hukum yang diakui dan dihormati oleh masyarakat akan lebih mudah untuk ditegakkan. Sejalan dengan gambaran tersebut, anggota DPD RI dapil DKI Jakarta, Fahira Idris, baru-baru ini mengimbau agar semua daerah di Indonesia memiliki peraturan daerah (perda) tentang masyarakat hukum adat. Pernyataan ini tentu menarik untuk dikaji lebih dalam dari sudut pandang hukum, mengingat masyarakat hukum adat merupakan entitas yang diakui secara konstitusional dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Dalam implementasinya, pengakuan tersebut sering kali terbentur oleh regulasi yang belum seragam di tingkat daerah. Secara yuridis, keberadaan masyarakat hukum adat diakui dan dihormati sepanjang masih hidup serta sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun, masalah yang sering muncul adalah ketiadaan instrumen hukum daerah yang dapat memberikan perlindungan dan kepastian hukum terhadap hak-hak mereka, terutama terkait tanah ulayat, kearifan lokal, serta kelembagaan adat. Sejumlah daerah memang telah memiliki perda yang mengatur masyarakat hukum adat, seperti di Sumatera Barat dengan Perda tentang Nagari dan di Kalimantan dengan pengakuan hak-hak masyarakat Dayak. Namun, tidak semua daerah memiliki regulasi serupa. Imbauan Fahira Idris agar setiap daerah menerbitkan perda terkait masyarakat hukum adat patut diapresiasi, tetapi perlu dikaji lebih lanjut mengenai implementasi dan tantangan yang akan dihadapi. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-X/2012 telah memberikan dampak signifikan terhadap pengakuan hak-hak Masyarakat Hukum Adat (MHA) atas hutan adat . Putusan MK tersebut menyatakan bahwa hutan adat bukan merupakan hutan negara, melainkan hutan yang berada di wilayah adat dan dikelola oleh MHA sesuai dengan hukum adat mereka. Putusan MK ini membuka jalan bagi pengakuan dan perlindungan hak-hak MHA atas hutan adat, tapi implementasinya masih menghadapi berbagai tantangan. Perda MHA dapat menjadi instrumen yang efektif untuk mengimplementasikan Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012. Perda dapat memuat ketentuan mengenai mekanisme pengakuan dan penetapan hutan adat, termasuk proses inventarisasi, verifikasi, dan pemetaan partisipatif yang melibatkan MHA secara aktif. Dengan adanya Perda, proses pengakuan hutan adat dapat dilakukan secara lebih cepat, transparan, dan akuntabel. Selain itu, Perda juga dapat mengatur mengenai pengelolaan hutan adat oleh MHA. Perda dapat memberikan kewenangan kepada MHA untuk mengelola hutan adat sesuai dengan hukum adat mereka, sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar hukum nasional dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perda juga dapat mengatur mengenai mekanisme pengawasan dan pengendalian terhadap pengelolaan hutan adat, sehingga hutan adat dapat dikelola secara lestari dan berkelanjutan. Implementasi Putusan MK terkait hutan adat bukan hanya memberikan manfaat bagi MHA, tetapi juga bagi negara dan masyarakat luas. Hutan adat memiliki peran penting dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup, menyediakan sumber air bersih, dan mengurangi risiko bencana alam. Dengan memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak MHA atas hutan adat, kita turut berkontribusi pada pelestarian lingkungan hidup dan pembangunan yang berkelanjutan. Urgensi Perda Masyarakat Hukum Adat (MHA) sangatlah jelas dan mendesak. Perda MHA bukan hanya sekadar pengakuan simbolis, tetapi merupakan instrumen hukum yang vital untuk melindungi hak-hak konstitusional MHA, mencegah konflik agraria dan kerusakan lingkungan, memberdayakan ekonomi dan sosial budaya MHA, menegaskan identitas dan kepastian hukum MHA, mengharmonisasikan hukum nasional dan hukum adat, serta mengimplementasikan Putusan Mahkamah Konstitusi terkait hutan adat. Dengan adanya Perda MHA, diharapkan keberadaan MHA dapat diakui, dihormati, dan dilindungi secara efektif, sehingga mereka dapat terus berkontribusi pada pembangunan bangsa yang inklusif, berkelanjutan, dan berkeadilan. Setidaknya ada tiga tantangan utama yang harus diperhatikan dalam penyusunan perda ini. Pertama, identifikasi dan verifikasi masyarakat hukum adat. Tidak semua kelompok yang mengklaim sebagai masyarakat hukum adat dapat langsung diakui dalam perda. Diperlukan mekanisme verifikasi yang ketat agar tidak terjadi penyalahgunaan status hukum adat untuk kepentingan tertentu. Kedua, harmonisasi dengan peraturan nasional. Perda harus selaras dengan UU yang lebih tinggi, seperti UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria, UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, dan berbagai regulasi sektoral lainnya. Tanpa harmonisasi yang jelas, perda berpotensi menimbulkan konflik hukum dengan kebijakan nasional. Ketiga, kapasitas pemerintah daerah. Tidak semua pemerintah daerah memiliki kapasitas dan pemahaman yang cukup dalam merancang perda yang berpihak pada masyarakat hukum adat. Diperlukan pendampingan dan sinergi antara akademisi, praktisi hukum, serta perwakilan masyarakat adat . Sebagai langkah konkret, pemerintah pusat perlu menerbitkan pedoman umum penyusunan perda masyarakat hukum adat agar tidak terjadi disparitas antarwilayah. Partisipasi aktif masyarakat adat dalam proses perumusan perda harus menjadi prinsip utama agar perda yang dihasilkan benar-benar mencerminkan kebutuhan mereka. Dengan demikian, imbauan Fahira Idris tidak hanya menjadi wacana politik, tetapi dapat diimplementasikan secara nyata untuk memperkuat posisi masyarakat hukum adat dalam sistem hukum nasional. Keberadaan perda yang mengakui hak-hak mereka bukan sekadar formalitas, tetapi sebagai instrumen perlindungan dan pemberdayaan yang nyata bagi komunitas adat di seluruh Indonesia. Copyright 2008 - 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

Sentimen: positif (98.5%)