Sentimen
Negatif (72%)
4 Mar 2025 : 12.58
Informasi Tambahan

Hewan: Ayam

Kasus: pengangguran

BPS Catat Deflasi 0,48 Persen di Februari 2025, Apa Dampaknya?

4 Mar 2025 : 12.58 Views 30

Pikiran-Rakyat.com Pikiran-Rakyat.com Jenis Media: Ekonomi

BPS Catat Deflasi 0,48 Persen di Februari 2025, Apa Dampaknya?

PIKIRAN RAKYAT - Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pada Februari 2025 terjadi deflasi secara bulanan sebesar 0,48 persen month-to-month (mtm), dengan penurunan Indeks Harga Konsumen (IHK) dari 105,99 pada Januari 2025 menjadi 105,48 pada Februari 2025.

“Secara year-on-year (tahunan) juga terjadi deflasi sebesar 0,09 persen dan secara tahun kalender (year-to-date/ytd) mengalami deflasi sebesar 1,24 persen,” ujar Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti dalam konferensi pers, di Jakarta, Senin (3/3/2025).

Amalia mengatakan, penyebab deflasi adalah tarif diskon listrik dengan andil 0,67 persen. "Komoditas utama penyebab deflasi Februari adalah diskon tarif listrik, daging ayam ras, cabai merah, tomat, dan telur ayam ras," katanya.

Deflasi ini melanjutkan situasi Januari 2025, tetapi tidak lebih dalam. Jika melihat data lima tahun terakhir, tingkat inflasi Februari lebih rendah dibandingkan Januari 2021-2023. Sedangkan Februari 2024, inflasinya lebih tinggi dibandingkan Januari.

Amalia menyatakan bahwa deflasi tahunan yang tercatat sebesar 0,09 persen year-on-year (yoy) pada Februari 2025 merupakan yang pertama kali terjadi sejak deflasi tahunan terakhir tercatat pada Maret 2000.

“Terakhir menurut catatan BPS, deflasi yoy pernah terjadi pada bulan Maret 2000, di mana pada saat itu deflasi sebesar 1,10 persen, di mana deflasi itu disumbang didominasi oleh kelompok bahan makanan,” kata Amalia.

Sementara itu, pengamat ekonomi Achmad Nur Hidayat menilai, deflasi bulan Februari 2025 yang tercatat 0,48 persen (mtm) menjadi sinyal melemahnya daya beli masyarakat.

Meskipun BPS menyatakan deflasi ini disebabkan oleh diskon tarif listrik 50 persen bagi pelanggan rumah tangga dengan daya hingga 2.200 VA, tren ini menunjukkan indikasi yang lebih serius terhadap permintaan domestik.

“Analisis lebih dalam mengungkapkan bahwa meskipun faktor ini berkontribusi pada penurunan Indeks Harga Konsumen (IHK), angka deflasi yang signifikan ini merupakan bukti nyata dari melemahnya daya beli masyarakat,” katanya.

Berdasarkan laporan Bank Indonesia (BI), Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) terus mengalami penurunan sejak pertengahan 2024, mencerminkan kehati-hatian masyarakat dalam berbelanja. Dia menilai, penurunan daya beli ini bukan sekadar fluktuasi ekonomi, tetapi mencerminkan tantangan yang harus segera diatasi.

Data BPS menunjukkan jumlah penduduk kelas menengah di Indonesia menyusut dari 21,5 persen pada 2019 menjadi 17,1 persen pada 2024. Hal itu berarti sekitar 10 juta individu mengalami ketidakpastian ekonomi tanpa mendapat bantuan signifikan dari pemerintah.

“Kelas menengah memiliki peran vital dalam menjaga keseimbangan ekonomi nasional. Mereka adalah konsumen utama bagi sektor barang dan jasa, dan juga merupakan kelompok yang memiliki kemampuan investasi yang cukup besar. Penurunan jumlah kelas menengah berarti berkurangnya konsumsi rumah tangga, yang secara langsung berdampak pada pertumbuhan ekonomi nasional,” katanya.

Dikatakan, lemahnya daya beli masyarakat turut berdampak pada sektor usaha, terutama ritel dan manufaktur. Indeks penjualan ritel yang terus menurun sejak kuartal III-2024 menunjukkan bahwa konsumen semakin mengurangi pengeluarannya.

Tingginya biaya produksi akibat kenaikan harga bahan baku dan energi global, juga semakin menekan margin keuntungan usaha. Akibatnya, beberapa Usaha Kecil dan Menengah (UKM) terpaksa melakukan efisiensi, termasuk pengurangan tenaga kerja.

“Beberapa di antaranya terpaksa menutup usaha, sementara yang lain harus melakukan efisiensi dengan mengurangi tenaga kerja. Fenomena ini menimbulkan efek domino, di mana meningkatnya angka pengangguran semakin memperburuk daya beli masyarakat,” katanya pula.

Untuk mengatasi pelemahan daya beli, dia menyarankan beberapa langkah strategis. Pertama, penciptaan lapangan kerja berkualitas melalui insentif bagi industri padat karya. Kedua, penguatan program perlindungan sosial seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan subsidi bahan pokok yang lebih tepat sasaran.

Ketiga, pengendalian harga komoditas strategis dengan memperkuat koordinasi antara Bank Indonesia dan pemerintah melalui Tim Pengendalian Inflasi Pusat dan Daerah (TPIP dan TPID). "Penyederhanaan regulasi dan peningkatan insentif investasi dapat menarik lebih banyak modal asing dan domestik untuk mempercepat pertumbuhan industri. Dengan demikian, penciptaan lapangan kerja baru dapat dipercepat dan daya beli masyarakat dapat diperbaiki secara berkelanjutan,” tuturnya.***

Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

Sentimen: negatif (72.7%)