Sejak 2009, Perusahaan Wajib Setor "Dana Komando" ke Basarnas
Kompas.com
Jenis Media: Nasional
/data/photo/2025/02/27/67bffb2180cd1.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
Sejak 2009, Perusahaan Wajib Setor "Dana Komando" ke Basarnas Tim Redaksi JAKARTA, KOMPAS.com - Praktik dana komando (Dako) yang bersumber dari setoran perusahaan rekanan proyek di Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan ( Basarnas ) disebut berawal dari 2009. Informasi ini diungkapkan mantan Sekretaris Utama (Sestama) Basarnas, Max Ruland Boseke, saat diperiksa sebagai saksi mahkota dalam sidang dugaan korupsi pengadaan truk angkut personel 4WD dan rescue carrier vehicle (RCV). Dalam persidangan itu, anggota majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Alfis Setiawan, meminta Max menjelaskan mengenai penggelembungan anggaran 10 hingga 15 persen. “Terkait adanya mark up anggaran ya, ini ada di berita acara saksi, sebesar 10 atau 15 persen ini?” tanya hakim Alfis di ruang sidang, Kamis (27/2/2025). “10 persen, yang dana komando,” jawab Max. Max kemudian menjelaskan, penerapan dana komando dimulai pada 2009 ketika Basarnas dilepas dari Kementerian Perhubungan dan menjadi lembaga yang memiliki anggaran sendiri. Kepala Basarnas (Kabasarnas) pertama pada 2009, kata Max, mengeluarkan kebijakan dan perintah agar setiap perusahaan yang menjadi rekanan proyek di Basarnas harus menyetorkan uang yang disebut sebagai dana komando. “Wajib menyerahkan dana operasional atau dana komando sebesar 10 persen,” ujar Max. Max mengatakan, kebijakan Kabasarnas itu tidak tertulis dan hanya disampaikan secara lisan. Namun, para pegawai Basarnas mematuhi perintah tersebut. Dana komando ini kemudian diterapkan dari tahun ke tahun pada pengadaan-pengadaan di Basarnas, termasuk pembelian puluhan truk angkut personel 4WD dan RCV pada 2014. Dalam pengadaan-pengadaan itu, perusahaan terkait harus menyetorkan 10 persen dari nilai proyek yang telah digelembungkan kepada Basarnas. “Selain 10 persen, ada lagi persentase yang lain?” tanya hakim Alfis. “Tidak ada. Untuk dana komando hanya 10 persen yang di bawah pengendalian dan keputusan Kabasarnas,” jawab Max. Dalam perkara ini, KPK menyebut korupsi pengadaan truk angkut ini merugikan keuangan atau perekonomian negara sebesar Rp 20.444.580.000. Kasus berawal ketika Basarnas membeli sekitar 30 truk angkut personel 4WD dengan pembiayaan Rp 42.558.895.000. Padahal, dana yang sebenarnya digunakan untuk pembiayaan itu hanya Rp 32.503.515.000, sehingga terdapat selisih pembayaran sebesar Rp 10.055.380.000. Sementara itu, pembayaran 75 rescue carrier vehicle sebesar Rp 43.549.312.500 dari nilai pembiayaan sebenarnya Rp 33.160.112.500 yang berarti terdapat selisih Rp 10.389.200.000. BPKP kemudian memasukkan selisih itu sebagai kerugian negara dalam Laporan Hasil Perhitungan Investigatif. Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendakwa Max memperkaya diri sendiri sebesar Rp 2,5 miliar, memperkaya Direktur CV Delima Mandiri sekaligus penerima manfaat PT Trikarya Abadi Prima, William Widharta selaku pemenang lelang dalam proyek ini sebesar Rp 17.944.580.000. Copyright 2008 - 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Sentimen: positif (44.4%)