Sentimen
Positif (100%)
25 Feb 2025 : 14.53
Informasi Tambahan

Institusi: ITB, Universitas Trisakti

Kab/Kota: New York

Kasus: kecelakaan

Hak atau Beban Baru? Dilema Regulasi dan Dampaknya bagi Jutaan Mitra

25 Feb 2025 : 14.53 Views 40

Pikiran-Rakyat.com Pikiran-Rakyat.com Jenis Media: Ekonomi

Hak atau Beban Baru? Dilema Regulasi dan Dampaknya bagi Jutaan Mitra

PIKIRAN RAKYAT - Tak terasa momen Lebaran Idulfitri 2025  sudah dekat. Bagi para karyawan, pegawai atau pekerja formal, momen lebaran identik dengan Tunjangan Hari Raya (THR) yang banyak ditunggu untuk memenuhi berbagai kebutuhan.

Lantas, bagaimana untuk pekerja lepas atau mitra kerja di era ekonomi gig atau sejenisnya?

Ekonomi gig adalah sistem ekonomi di mana individu bekerja secara fleksibel berdasarkan proyek, tugas, atau permintaan tertentu, tanpa adanya kontrak kerja tetap seperti dalam pekerjaan konvensional.

Di Indonesia, mereka mencakup berbagai profesi, seperti mitra pengemudi dan kurir, pekerja lepas (desainer, penulis, programmer), penyedia jasa (teknisi, tukang, tenaga kecantikan), pekerja kreatif (influencer, content creator), instruktur dan konsultan online, serta pelaku bisnis di ekosistem marketplace.

Penelitian terbaru yang dirilis oleh SBM ITB 2023 menunjukkan bahwa sektor ekonomi gig berkontribusi besar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional, yaitu sekitar Rp 382,62 triliun atau setara dengan 2% dari total PDB Indonesia tahun 2022.

Pekerjaan ini menawarkan fleksibilitas bagi pekerjanya. Pekerja gig dapat menyeimbangkan pekerjaan mereka dengan komitmen lain, seperti pendidikan, pengasuhan anak, atau pekerjaan sampingan lainnya. Selain itu juga berkontribusi dalam pengembangan keterampilan pekerja.

Polemik

Namun, di balik itu semua, polemik mengenai status mitra dan tuntutan pemberian THR kepada aplikator terus menjadi sorotan di Indonesia. Seiring dengan berkembangnya ekonomi digital, muncul perdebatan mengenai apakah mitra pengemudi seharusnya diklasifikasikan sebagai pekerja tetap atau masih tetap dalam hubungan kemitraan sebagaimana yang berlaku saat ini.

Pemerintah pun berencana mewajibkan pemberian THR bagi mitra platform digital. Rencana ini pun menuai pro dan kontra. Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) mendesak pemerintah agar menetapkan regulasi yang mewajibkan perusahaan ride-hailing memberikan THR dalam bentuk tunai, bukan insentif.

Namun, kebijakan ini dinilai dapat menjadi beban tambahan bagi perusahaan dan berisiko menghambat pertumbuhan industri ini ke depan. Apalagi saat ini, perusahaan berbasis platform digital masih menghadapi tantangan keuangan, meskipun beberapa sudah mencapai profitabilitas.

Jika biaya tambahan seperti THR diwajibkan, tentu akan menambah beban baru dan keberlangsungan jangka panjang perusahaan akan terkena dampaknya.

Studi kasus

Direktur Eksekutif Modantara, Agung Yudha, mengatakan, kebijakan yang pernah diberlakukan di Inggris malah merugikan pengemudi dan pengusaha. Saat itu, Uber diwajibkan membayar tunjangan tambahan bagi mitranya, sehingga harga layanan naik sebesar 10-20%.

Namun, kebijakan ini malah berdampak pada penurunan permintaan hingga 15%, yang merugikan pengemudi dan perusahaan. Jika kebijakan serupa diterapkan di Indonesia, ada potensi efek domino yang dapat menekan industri ini secara keseluruhan.

Hal yang sama juga terjadi di Spanyol, setelah pemerintah menerapkan undang-undang ketenagakerjaan yang mewajibkan pengemudi menjadi karyawan tetap. Uber dan Deliveroo mengurangi jumlah pengemudi hingga 50%. Akibatnya, banyak pekerja gig kehilangan pekerjaan dan fleksibilitas yang mereka andalkan untuk mencari penghasilan tambahan.

"Begitu pula yang terjadi di New York," tambahnya.

Agung Yudha, menyoroti bahwa industri on-demand telah berupaya menjaga kesejahteraan mitra melalui berbagai program seperti bantuan modal usaha dan beasiswa. Menurut dia, kebijakan yang tidak tepat dapat menyebabkan para mitra pengemudi kehilangan akses terhadap sumber pendapatan utama mereka.

Tak penuhi unsur

Guru Besar Hukum Perburuhan Universitas Trisakti, Prof. Dr. Aloysius Uwiyono menekankan bahwa mitra pengemudi tidak memenuhi unsur hubungan kerja berdasarkan regulasi ketenagakerjaan yang berlaku, sehingga THR tidak bisa dipaksakan tanpa implikasi hukum.

Sebagai alternatif, ia menyarankan perlindungan sosial berbasis kontribusi bagi pekerja gig. Regulasi yang responsif dan inklusif menjadi kunci agar sektor ini tetap tumbuh tanpa mengorbankan kesejahteraan mitra maupun keberlanjutan industri.

Sejauh ini, kata dia, setiap platform ride-hailing memiliki pendekatan unik dalam mendukung mitra pengemudi mereka. Grab menawarkan berbagai keuntungan melalui GrabBenefits, termasuk diskon servis kendaraan, asuransi kesehatan dan kecelakaan, akses kredit, serta dana santunan bagi keluarga mitra dalam situasi darurat.

Selain itu, Grab menyediakan program GrabScholar untuk beasiswa anak mitra, skema insentif berbasis performa, vocer sembako murah, serta pelatihan dan pengembangan keterampilan untuk membuka peluang usaha. Grab juga mendorong Mitra mereka untuk bergabung dengan BPJamsostek.

Sementara Gojek, menitikberatkan pada perlindungan mitra dengan asuransi kecelakaan, posko aman, serta program loyalitas berbasis insentif. Mereka juga menawarkan bantuan finansial seperti sembako murah dan akses kredit, serta fasilitas tambahan seperti diskon merchant dan layanan GoPay.

Kemudian, Lalamove mengutamakan bonus misi dan insentif bagi pengemudi berperforma tinggi, serta akses informasi pesanan untuk memaksimalkan penghasilan. Mereka juga bekerja sama dengan BPJamsostek untuk perlindungan sosial dan memiliki program referral yang memberikan insentif bagi mitra yang mengajak rekan bergabung.

Perlu solusi

"Dialog yang terbuka tentang solusi menjadi hal yang tak terelakkan agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan," katanya.

Sementara, ekonom Wijayanto Samirin mengatakan, dinamika pasar sebaiknya dibiarkan berkembang secara alami agar menciptakan ekosistem kemitraan yang kompetitif dan berkelanjutan. Hal ini menjadi faktor utama dalam menarik minat pelaku usaha serta investor dalam jangka panjang.

Dia menekankan, status mitra pengemudi bervariasi, sebagian menjadikannya pekerjaan utama, sedangkan lainnya sebagai pekerjaan sampingan. Oleh karena itu, solusi yang diterapkan harus mempertimbangkan kebutuhan yang beragam.

Ia juga mengingatkan bahwa fleksibilitas merupakan daya tarik utama pekerjaan ini, dan jika mitra diperlakukan seperti pekerja konvensional, mereka berisiko kehilangan fleksibilitas tersebut, atau bahkan jutaan mitra dapat kehilangan pekerjaan. (*)

Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

Sentimen: positif (100%)