Sentimen
Positif (94%)
8 Feb 2025 : 07.00
Informasi Tambahan

Kasus: pengangguran

Tokoh Terkait

Penambahan Jumlah Kementerian dan Efisiensi Pemerintahan Prabowo Nasional 8 Februari 2025

8 Feb 2025 : 07.00 Views 18

Kompas.com Kompas.com Jenis Media: Nasional

Penambahan Jumlah Kementerian dan Efisiensi Pemerintahan Prabowo
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        8 Februari 2025

Penambahan Jumlah Kementerian dan Efisiensi Pemerintahan Prabowo Dosen; Direktur Eksekutif Batam Labor and Public Policies; Konsultan; Pengamat Kebijakan Publik PRESIDEN Prabowo Subianto menetapkan kebijakan pemangkasan anggaran pemerintah sebesar Rp 306,69 triliun melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025. Kebijakan ini bertujuan meningkatkan efisiensi belanja negara, menekan pemborosan anggaran, dan mengoptimalkan penggunaan dana publik. Namun, langkah tersebut terjadi di tengah kebijakan lain yang menambah jumlah kementerian menjadi 52, dengan total 109 anggota kabinet, termasuk menteri, wakil menteri, dan kepala lembaga. Hal ini memunculkan paradoks: di satu sisi, ada komitmen untuk menekan pengeluaran, tetapi di sisi lain, penambahan struktur birokrasi berpotensi menambah beban anggaran. Bagaimana kebijakan ini dapat berjalan beriringan tanpa menimbulkan inefisiensi? Apa konsekuensi sosial, ekonomi, dan politik dari langkah ini? Penambahan kementerian biasanya didasari kebutuhan untuk mempercepat penanganan isu-isu spesifik dan meningkatkan efektivitas pemerintahan. Misalnya, pemisahan fungsi kementerian yang memiliki mandat luas dianggap dapat meningkatkan fokus pada isu prioritas. Namun, penambahan struktur birokrasi tanpa tata kelola yang baik justru menciptakan risiko, seperti: pertama pemborosan atau pembengkakan anggaran operasional. Setiap kementerian baru memerlukan alokasi anggaran tambahan untuk operasional, kantor baru, gaji pegawai, fasilitas, dan infrastruktur. Hal ini berpotensi bertentangan dengan kebijakan efisiensi yang diusung. Kedua, kompleksitas koordinasi akibat jumlah kementerian yang lebih besar, koordinasi lintas sektor berpotensi menjadi lebih lambat. Proses pengambilan keputusan bisa terhambat oleh tumpang tindih fungsi antar-kementerian. Ketiga, tentunya semakin besar birokrasi, semakin sulit untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas. Hal ini membuka peluang penyalahgunaan anggaran dan lemahnya pengawasan. Efisiensi–di samping efektivitas–memang menjadi mantra untuk menekan pengeluaran pemerintah. Namun, jika dilakukan tanpa pertimbangan yang matang, kebijakan ini dapat menghasilkan dampak negatif merusak, seperti penurunan kualitas layanan publik--seperti pendidikan dan kesehatan--dan tentunya ini sejalan dengan ketidakpuasan publik. Kebijakan efisiensi yang menyasar sektor-sektor strategis dapat memicu ketidakpuasan masyarakat. Menarik melihat pengalaman negara Lain, misalnya, yang diterapkan Yunani (2010-2015) menunjukkan bahwa efisiensi tanpa perencanaan matang justru memperburuk situasi sosial dan ekonomi. Pemotongan anggaran di sektor esensial menyebabkan resesi lebih dalam, menambah angka pengangguran, dan memperlambat pemulihan ekonomi. Singapura memberikan contoh sukses efisiensi belanja tanpa mengorbankan kualitas layanan publik. Dengan struktur pemerintahan yang ramping dan pengurangan belanja non-esensial (seperti perjalanan dinas dan pengadaan aset administratif), Singapura berhasil menjaga stabilitas fiskal dan memenuhi kebutuhan masyarakat secara optimal. Pemerintah Indonesia harus mampu menyelaraskan kebijakan penambahan kementerian dengan target efisiensi anggaran . Setiap kementerian harus memiliki fungsi yang jelas dan tidak tumpang tindih. Penghapusan unit-unit yang redundan akan membantu mengurangi pemborosan anggaran. Audit rutin dan evaluasi terhadap kinerja kementerian (misalnya, pasca-100 hari kerja) diperlukan untuk memastikan efektivitas langkah efisiensi. Kementerian yang tidak memberikan dampak signifikan perlu direstrukturisasi atau digabungkan (kembali). Pemerintah juga tentunya dapat mengakselerasi pemanfaatan teknologi (GovTech, Goverment Tecnology) untuk mengurangi pengeluaran administratif. Digitalisasi layanan publik, misalnya, dapat menekan biaya operasional dan meningkatkan efisiensi. Tentunya, kebijakan efisiensi ini harus disampaikan secara transparan agar masyarakat memahami manfaatnya. Partisipasi publik dalam pengawasan anggaran juga penting untuk memastikan alokasi anggaran yang tepat sasaran (terukur). Efisiensi dalam pemerintahan bukan hanya tentang menekan pengeluaran, tetapi memastikan bahwa setiap anggaran yang dikeluarkan memberikan manfaat maksimal bagi masyarakat. Pemerintahan Prabowo Subianto menghadapi tantangan besar dalam membuktikan bahwa penambahan jumlah kementerian dapat berjalan seiring dengan efisiensi anggaran. Keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada manajemen birokrasi yang efektif, transparansi, dan komitmen untuk memprioritaskan sektor strategis. Jika berhasil, maka langkah ini dapat menjadi model tata kelola pemerintahan yang efisien dan responsif terhadap kebutuhan rakyat. Namun, tanpa perencanaan matang, kebijakan ini berisiko menjadi beban tambahan bagi keuangan negara dan memperburuk ketimpangan pembangunan. Copyright 2008 - 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

Sentimen: positif (94.1%)