Sentimen
Informasi Tambahan
Institusi: UNPAD
Kab/Kota: Penggilingan
Kasus: korupsi
Tokoh Terkait
Menyoal Konsistensi Kebijakan Pemerintah Nasional 8 Februari 2025
Kompas.com
Jenis Media: Nasional
/data/photo/2025/02/07/67a5fd71a3a9a.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
Menyoal Konsistensi Kebijakan Pemerintah Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan. “ There's a tremendous gap between public opinion and public policy ” (Noam Chomsky) SEMAKIN jelas terasa di dalam praktik pemerintahan hari ini bahwa apa yang dikatakan oleh Noam Chomsky adalah benar adanya. Di satu sisi, masyarakat menginginkan kondisi kehidupan yang lebih baik. Namun di sisi lain, kesannya pemerintah justru bertindak sebaliknya, yakni memperumit kehidupan masyarakat. Bahkan belum lama ini, masyarakat sudah mengekspresikan ekspektasinya melalui hasil survei approval rating salah satu lembaga survei kenamaan di Indonesia, di mana pemerintahan yang baru diberi apresiasi tinggi, yakni sekitar 80,9 persen angka approval rating. Tentu Presiden Prabowo Subianto boleh saja mengatakan bahwa pemerintahannya tidak memerlukan penilaian dari siapapun, kecuali rakyat, sebagaimana disampaikan beliau saat menanggapi hasil survei dari Litbang Kompas. Masalahnya, approval rating adalah salah satu bentuk penilaian rakyat kepada pemerintahan baru, yang lahir dari proses survei dengan metode-metode statistik-scientific. Jadi mau tak mau, pemerintah harus belajar menjadikan hal-hal semacam itu sebagai “input positif” ke depannya, bukan justru mencoba untuk mencari pembenaran lain untuk mengelak. Nah, sebagaimana telah disaksikan, bersamaan dengan itu, justru kasus laut yang dikavling-kavling tak henti-hentinya menerpa ruang publik kita. Tidak lama berselang, masalah kelangkaan elpiji 3 kilogram mulai mengagetkan kita semua. Pengecer tak diperbolehkan lagi menjual elpiji melon, yang akhirnya justru menyuluk “rush” di tengah-tengah masyarakat. Antrean untuk mendapatkan elpiji malah mengular di mana-mana. Ibu rumah tangga, kepala rumah tangga, pelaku UMKM, pelaku usaha mikro, dan lainnya, justru mendadak diterpa kesulitan. Dalam waktu yang hampir bersamaan, beredar video rapat presiden dengan para pembantunya bahwa negara akan mengambil alih penggilingan-penggilingan padi di satu sisi. Lalu presiden meminta para jajarannya di dalam kabinet untuk menyerap dan membeli gabah kering petani dengan harga Rp 6.500 ke atas. Tak pelak, para petani mulai bersuara di berbagai lini media sosial, karena harga yang disebutkan oleh Prabowo justru jauh di bawah harga pasar yang sedang berlaku. Otomatis, jika harga tersebut diberlakukan, maka petani mendadak rugi berjamaah. Di satu sisi, pemerintah terus menggambarkan dirinya secara heroik, yang secara sakti mandra guna akan melakukan intervensi tanpa tedeng aling-aling atas berbagai persoalan yang muncul. Sayangnya di sisi lain, acapkali pemerintah mengambil kebijakan tanpa “bahan dasar sebuah kebijakan” yang lengkap, yang justru bertentangan dengan kepentingan dari stake holder utama kebijakan tersebut. “ The best public policy is made when you are listening to people who are going to be impacted ,” kata Elizabeth Dole. Jadi bagaimanapun, jika pemerintah ingin bertindak heroik atas apapun masalah yang ada di dalam masyarakat, suara dari para pihak yang paling terkait dengan rencana kebijakan harus menjadi pertimbangan utama, bukan malah sebaliknya, yakni suara yang merepresentasikan keinginan pemerintah. Masalah putusnya rantai pasok elpiji melon dan harga pokok Penjualan (HPP) gabah, misalnya, adalah dua contoh yang sangat jelas tentang kebijakan yang membuat target dari kebijakan tersebut malah menjadi korban seketika setelah kebijakan mulai diberlakukan. Sehingga muncul pertanyaan sederhana, apakah memang niatan di balik kebijakan tersebut memang untuk stake holder yang benar-benar sedang membutuhkan sentuhan dari pemerintah atau justru sedang terjadi “transaksi bisnis” di baliknya, yang hanya untuk mengenyangkan segelintir “interest group” yang berkecimpung di bidang tersebut? Apakah sedang terjadi “pergantian pelaku besar” di dalam bisnis distribusi elpiji melon atau memang hal itu terjadi semata-mata karena kelalaian pemerintah dalam menimbang dan memitigasi risiko teknis dari rencana kebijakan, misalnya? Atau, apakah kemunculan harga HPP Gabah murni karena presiden tidak dapat info terkini tentang harga yang sedang berlaku atau memang untuk mendorong pihak-pihak tertentu agar mendapatkan harga yang murah di pasaran? Dan seterusnya. Ambisi untuk segera menyelesaikan masalah tentu tidak salah. Sangat bisa dipahami bagaimana perasaan seorang pemimpin baru mendapati banyak masalah di tengah-tengah masyarakatnya. Apalagi pemimpin baru tersebut adalah seorang Prabowo Subianto, yang dikenal sangat empati kepada kepentingan publik. Namun, terburu-buru tanpa memikirkan risikonya bagi rakyat, baik temporal ataupun jangka panjang, semestinya sudah masuk ke dalam perhitungan awal rencana kebijakan. Namun jika yang terjadi malah sebaliknya, tentu akan menjadi pertanyaan publik, apakah ambisi dan empati seorang Prabowo telah salah diterjemahkan oleh para pembantunya? Dalam konteks inilah mengapa pemerintah, terutama presiden, harus mulai belajar banyak tentang kebijakan publik, bukan sekedar fokus kepada apa yang ingin dilakukan dan memaksakan dengan segala cara untuk melakukannya. Dampak kebijakan adalah input yang sangat penting bagi kebijakan publik. “ I learned that you have to evaluate the effects of public policy as opposed to intentions ,” kata Walter E. Williams. Sensitifitas pemerintah atas efek dan imbas dari kebijakan adalah bagian penting dari praktik kebijakan. Sebagus apapun niat di balik kebijakan, jika efeknya justru menyengsarakan rakyat, maka kebijakan tersebut sangat perlu untuk segera dievaluasi. Dari sisi hukum pun nampaknya juga sama, banyak pembuktikan yang harus ditunjukkan oleh pemerintah di satu sisi dan banyak pembelajaran yang harus segera direnungkan di sisi lain. Sebagaimana berkali-kali disinggung oleh Prabowo di dalam berbagai pidatonya tentang korupsi dan penegakan hukum, penegakan hukum harus konsisten dengan semangat negara hukum dan harus mulai menjauh dari upaya-upaya politisasi hukum dan politisasi aparat hukum yang kerap terjadi pada pemerintahan sebelumnya. Publik sedang menunggu presiden membuktikan kata-katanya dengan membersihkan institusi-institusi hukum dari praktik-praktik hukum yang berbasiskan kepentingan politik, bukan berbasiskan kepada mekanisme hukum. Bahkan akan lebih arif dan bijak jika Prabowo meminta para penegak hukum untuk meninjau kembali kasus-kasus yang nuansa politiknya kental tanpa bukti-bukti hukum yang jelas dan obejktif, sebagai bukti nyata kearifan dan kebijaksanaan seorang Prabowo dalam bernegara hukum di satu sisi dan dalam mementingkan rasa keadilan publik di sisi lain. Misalnya, kasus impor gula yang menimpa Thomas Lembong, yang menurut para ahli hukum sangat kental sisi politiknya. Prabowo tentu bisa meminta mitra kerjanya di Kejaksaan Agung untuk segera membuktikan secara jelas, terbuka, dan tegas atas keabsahan kasus tersebut. Toh semua orang di Indonesia mengetahui bahwa Prabowo adalah sosok yang “ikhlas” dan “tanpa pernah menyimpan dendam”. Dengan kata lain, urusan Thomas Lembong yang sebelumnya pernah berada di “kubu sebelah’ tentu bukanlah alasan yang arif dan bijak bagi Prabowo untuk terus membiarkannya berada di bawah ketidakpastian hukum, jika memang tidak terdapat bukti-bukti valid dan representatif. Artinya, publik mengetahui bahwa bagi Prabowo urusan politik tidak sama dengan urusan hukum. Dan sisi ini menjadi salah satu pembeda Prabowo dengan pendahulunya. Sehingga Prabowo tentu tidak akan membiarkan institusi-institusi hukum yang ada di dalam pemerintahannya bekerja hanya demi kepentingan segelintir pihak yang sedang menikmati keuntungan berupa “keselamatan dan kesenangan politik” dari kasus yang dipaksakan oleh institusi penegak hukum. Jika tidak bisa dibuktikan, maka sebaiknya diselesaikan atau disudahi secara baik-baik menurut hukum yang berlaku. Karena jika tidak bisa dibuktikan secara baik dan benar, otomatis institusi hukum justru akan mencederai anak-anak bangsa yang terseret ke dalam kasus ini. Ada belasan pengusaha yang sedang menderita di balik jeruji akibat ketidakjelasan kasus ini secara hukum. Lantas, jika institusi penegak hukum justru mencederai rasa adil dari warga negaranya, maka setelah 100 hari pertama, nampaknya sudah waktunya Prabowo mempertimbangkan nama-nama yang jauh lebih tepat dan kompeten untuk menduduki institusi-institusi penting ini sesegera mungkin, agar ambisi dan keinginan Prabowo untuk menempatkan orang-orang yang tidak mencederai rasa keadilan rakyat bisa segera terealisasi secara nyata dan faktual. Pendeknya, publik sangat menunggu konsistensi pemerintahan baru dalam membuat kebijakan. Jika memang pemerintah serius untuk mengurangi beban masyarakat, maka sebaiknya dibuktikan demikian. Bukan malah mengambil langkah sebaliknya dengan membuat kesulitan-kesulitan baru yang justru menambah beban dan persoalan masyarakat. Jika pemerintah memang menginginkan untuk menekan seminimal mungkin penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi, maka pertajam institusi penegakan hukum di satu sisi dan jauhkan proses penegakan hukum dari berbagai kepentingan politik oknum-oknum elite yang selama ini memang menggunakan institusi-institusi hukum untuk menggapai tujuan politiknya. Setidaknya, ini akan kembali menenangkan publik dan membuat publik yakin bahwa semua isi pidato Prabowo di berbagai panggung adalah utang yang akan ia cicil secara konsisten kepada rakyat Indonesia, bukan kepada elite-elite lainnya. Semoga. Copyright 2008 - 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Sentimen: positif (100%)