Sentimen
Positif (66%)
5 Feb 2025 : 16.33
Informasi Tambahan

Kab/Kota: New York, Washington

Tokoh Terkait

Siapa Penguasa Gaza Pascaperang? Hamas Butuh Bantuan, PA Cari Celah, Arab-Israel Menentukan - Halaman all

5 Feb 2025 : 16.33 Views 41

Tribunnews.com Tribunnews.com Jenis Media: Internasional

Siapa Penguasa Gaza Pascaperang? Hamas Butuh Bantuan, PA Cari Celah, Arab-Israel Menentukan - Halaman all

Siapa Penguasa Gaza Pascaperang? Hamas Tak Bisa Sendirian, PA Cari Celah, Israel Minta Beking AS

TRIBUNNEWS.COM - Selama hampir 16 bulan perang di Gaza, banyak politisi dan analis memperdebatkan proposal yang muncul soal siapa yang akan memerintah Jalur Gaza pasca-Perang.

Ulasan dari media Amerika Serikat (AS), The New York Times, Senin (3/2/2025) lantas menghadirkan empat analisis model pemerintahan Gaza pasca-perang tersebut.

Meski begitu, ulasan tersebut menyatakan, kalau "Belum ada arah yang jelas siapa yang akan memerintah Gaza selama pertempuran terus berlanjut."

Pada fase saat ini, Gaza berada dalam situasi gencatan senjata yang rapuh antara Hamas dan Israel.

Melalui tahap pertama gancatan senjata secara ringkih berhias berbagai insiden dalam putaran demi putaran pertukaran tahanan sandera dan tahanan,  Israel dan Hamas bersiap untuk negosiasi guna memperpanjang gencatan senjata.

"Sementara itu terjadi, ada empat model mencuat untuk masa depan Gaza yang mulai terbentuk," tulis ulasan tersebut dikutip, Rabu (5/2/2025).

Secara garis besar, ulasan tersebut menggambarkan empat model yang dimaksud adalah:

Pemerintahan Gaza yang dikendalikan Hamas Pemerintahan Gaza yang diduduki Israel Pemerintahan Gaza yang dikelola pihak Internasional Pemerintahan Gaza diserahkan ke Otoritas Palestina (PA)

Membahas model pertama, ulasan tersebut Hamas, yang melemah tetapi tidak menyerah dan secara de facto tetap ada, masih menguasai sebagian besar wilayah dan berusaha untuk mempertahankan otoritas tersebut.

Adapun soal model kedua, berdasarkan ketentuan gencatan senjata, Israel memang diharuskan menarik diri secara bertahap dari Gaza, tetapi pasukannya masih menduduki bagian-bagian penting wilayah tersebut.

Terlebih, para pemimpin sayap kanan Israel ingin pasukan mereka memperluas kendali tersebut, bahkan jika itu berarti memulai kembali perang.

Untuk model ketiga analisis pemerintahan Gaza pasca-perang, ulasan tersebut menyatakan kendali oleh kontraktor keamanan asing bisa jadi opsi model lain pemerintahan di Gaza nantinya.

"Atas undangan Israel, mereka menjalankan pos pemeriksaan di jalan raya penting di Gaza utara, memeriksa kendaraan untuk mencari senjata. Beberapa pejabat Israel mengatakan bahwa aktivitas tersebut dapat berkembang menjadi pengelolaan internasional di wilayah yang jauh lebih luas, yang melibatkan negara-negara Arab, bukan kontraktor swasta," kata ulasan tersebut.

Ulasan juga menyertakan model pemerintahan Gaza yang dikelola oleh PA.

"Di wilayah selatan, perwakilan Otoritas Palestina mulai bekerja di perbatasan dengan Mesir selama akhir pekan, bekerja sama dengan pejabat keamanan Eropa.  Otoritas tersebut, yang kehilangan kendali atas Gaza ke tangan Hamas pada tahun 2007, berharap bahwa pada waktunya nanti, mereka dapat meniru upaya tersebut di seluruh wilayah," kata ulasan tersebut.

Ulasan itu menjelaskan, ntuk saat ini, memang belum jelas pola mana yang akan muncul sebagai model yang dominan.

Namun, seperti apa Gaza di masa depan kemungkinan besar akan sangat bergantung pada Presiden Trump, yang akan membahas masa depan Gaza di Washington dengan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dari Israel, Selasa kemarin.

Hal penting lainnya, kata tulisan itu, "Faktor Arab Saudi dapat mengubah keadaan jika untuk pertama kalinya setuju menjalin hubungan formal dengan Israel — sebagai imbalan atas struktur pemerintahan tertentu di Gaza."

Berikut ini adalah apa saja yang termasuk dalam model tersebut dan seberapa besar kemungkinan model tersebut akan berhasil.

PANGLIMA HAMAS GUGUR – Foto yang diambil dari Press TV tanggal 1 Februari 2025 memperlihatkan anggota Brigade Al Qassam berdiri di atas panggung sambil membawa foto para panglima Hamas yang gugur. Wakil Kepala Politbiro Hamas Khalil Al Hayya mengklaim pembebasan seluruh tanah Palestina dari Israel kini sudah dekat. (Press TV) Hamas Berkuasa, Tak Bisa Sendirian

Saat membebaskan sandera dalam beberapa minggu terakhir, Hamas berusaha menunjukkan kalau mereka tetap menjadi kekuatan Palestina yang dominan di lapangan.

Ratusan militan Hamas bertopeng berkumpul di setiap titik pembebasan, menunjukkan kalau kelompok tersebut, meskipun babak belur karena perang selama 16 bulan, masih berkuasa.

Pejabat keamanan Hamas juga muncul kembali untuk menegakkan ketertiban di seluruh wilayah, menghentikan dan memeriksa kendaraan, serta mencoba menjinakkan persenjataan yang belum meledak.

Pejabat kota juga mulai memindahkan puing-puing.

Bagi sebagian besar orang Israel, kehadiran Hamas dalam jangka panjang tidak mengenakkan dan mimpi buruk menakutkan atas status pendudukan mereka.

Sebagian entitas Israel mungkin menerimanya jika Hamas setuju untuk membebaskan semua sandera yang tersisa di Gaza.

Namun bagi yang lain, khususnya di sayap kanan Israel, ingin melanjutkan perang, bahkan jika harus mengorbankan nyawa beberapa tawanan, untuk memaksa Hamas keluar.

Atas variabel-variabel itu, Hamas diasumsikan tidak bisa sendirian berkuasa di Gaza.

"Jika Hamas tetap berkuasa, akan sulit bagi kelompok tersebut untuk membangun kembali Gaza tanpa dukungan asing," tulis ulasan itu.

Karena banyak donor asing kemungkinan besar akan berhati-hati dalam membantu kecuali Hamas mengundurkan diri, ada kemungkinan kelompok itu akan dengan sukarela menyerahkan kekuasaan kepada pemimpin Palestina alternatif, alih-alih terus memimpin tanah terlantar yang tidak dapat diatur.

"Dalam pembicaraan yang dimediasi oleh Mesir, utusan Hamas mengatakan mereka dapat menyerahkan tanggung jawab administratif kepada komite teknokrat Palestina, tetapi tidak mungkin kelompok itu akan dengan sukarela membubarkan sayap bersenjatanya bahkan jika mereka berhenti menjalankan urusan sipil Gaza," kata analisis tersebut.

AGRESI MILITER - Tentara Israel melalukan agresi militer di Jalur Gaza. Selama 15 bulan agresi Israel belum bisa memberangus Hamas. (Tangkap Layar/IDF) Pendudukan Israel

Ketika gencatan senjata dimulai bulan lalu, Israel mempertahankan kendali atas zona penyangga di sepanjang perbatasan Gaza yang lebarnya beberapa ratus meter.

Untuk mengakhiri perang dan mengamankan pembebasan semua sandera di Gaza, Israel pada akhirnya perlu mengevakuasi wilayah ini.

Tetapi itu tidak terpikirkan oleh anggota penting koalisi Netanyahu, yang berarti bahwa ia dapat memperpanjang pendudukan Israel, atau bahkan memperluasnya, untuk menghindari keruntuhan pemerintahannya.

"Namun, untuk melakukan itu, Netanyahu mungkin memerlukan dukungan dari pemerintahan Trump, yang telah mengisyaratkan bahwa mereka ingin memperpanjang gencatan senjata untuk memungkinkan pembebasan setiap sandera," tulis laporan itu.

Kembali berperang juga akan menggagalkan peluang jangka pendek untuk mencapai kesepakatan antara Israel dan Arab Saudi — sebuah pencapaian internasional besar yang telah lama didambakan oleh Netanyahu.

Pasukan Internasional

Ketika pasukan Israel mundur minggu lalu dari sebagian besar Koridor Netzarim, wilayah strategis yang menghubungkan Gaza utara dan selatan, mereka mengizinkan sekelompok kontraktor keamanan asing untuk mengisi kekosongan tersebut.

Dipimpin oleh penjaga keamanan Mesir, para kontraktor tersebut memeriksa lalu lintas ke utara untuk mencari senjata, dengan harapan dapat memperlambat upaya Hamas untuk mempersenjatai kembali militannya di Gaza utara.

Dua perusahaan AS terlibat dalam proses tersebut, tetapi tidak jelas peran apa yang mereka mainkan di lapangan.

Untuk saat ini, proses tersebut merupakan uji coba skala kecil yang tidak melibatkan keterlibatan resmi negara-negara Arab selain Mesir dan Qatar, dua negara yang menjadi penengah antara Israel dan Hamas.

Namun, beberapa pejabat Israel mengatakan bahwa hal itu dapat diperluas — baik dari segi geografi maupun tanggung jawab — untuk mencakup peran administratif di wilayah yang lebih luas, yang didukung secara publik dan finansial oleh negara-negara Arab terkemuka seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab.

Keduanya kemungkinan tidak akan mencari peran formal tanpa restu dari Otoritas Palestina (PA).

Otoritas tersebut, yang dipaksa Hamas dari Gaza pada tahun 2007, masih menjalankan sebagian wilayah Tepi Barat dan dianggap sebagai satu-satunya alternatif serius Palestina bagi Hamas.

"Namun, para pemimpin Israel melihat otoritas tersebut korup dan tidak kompeten dan telah menolak gagasan untuk memberinya peran utama di Gaza, setidaknya untuk saat ini. Kaum kanan Israel juga menentang pemberdayaan otoritas tersebut, agar tidak muncul sebagai negara yang kredibel," kata laporan tersebut.

Personel keamanan Otoritas Palestina di Jenin, Samaria utara, Tepi Barat yang diduduki Israel pada 16 Desember 2024. (Foto oleh Nasser Ishtayeh/Flash90.) Otoritas Palestina Cari Celah

Meskipun begitu, perwakilan otoritas Palestina  diam-diam mulai bekerja di bagian lain Gaza selama akhir pekan, yang menunjukkan bahwa sebagian dari pimpinan Israel mungkin dalam praktiknya lebih fleksibel tentang keterlibatan otoritas tersebut.

Israel mengizinkan pejabat dari Uni Eropa dan Otoritas Palestina untuk memulai kembali operasi di perlintasan Rafah — sebuah pos pemeriksaan di perbatasan antara Gaza dan Mesir. Perlintasan tersebut telah ditutup sejak Israel menginvasi wilayah Rafah Mei lalu.

Secara terbuka, pemerintah Israel mengecilkan keterlibatan otoritas tersebut di pos pemeriksaan, sebagian untuk menghindari kemarahan anggota koalisi Netanyahu.

"Namun, operasi di Rafah telah memicu spekulasi bahwa Netanyahu, di bawah tekanan dari Trump dan para pemimpin Arab di Teluk, mungkin dengan berat hati menoleransi peran yang lebih luas bagi otoritas tersebut, mungkin dalam kemitraan dengan pasukan penjaga perdamaian atau kontraktor asing," kata ulasan tersebut.

(oln/TNYP/*)

Sentimen: positif (66.7%)