Sentimen
Undefined (0%)
14 Jan 2025 : 18.44
Informasi Tambahan

Kab/Kota: Dukuh, Sragen, Tangki

Tak Ada Irigasi, Petani Tunggul Sragen Andalkan Beli Air Rp35.000 per Jam

14 Jan 2025 : 18.44 Views 24

Espos.id Espos.id Jenis Media: Solopos

Tak Ada Irigasi, Petani Tunggul Sragen Andalkan Beli Air Rp35.000 per Jam

Esposin, SRAGEN—Untuk menyelamatkan tanaman padi agar tidak gagal panen, para petani di Desa Tunggul, Kecamatan Gondang, Sragen, terpaksa harus membeli air irigasi dari sumur dalam milik petani lain. Harga air irigasi itu senilai Rp35.000 per jam.

Padahal untuk mengairi satu patok tanaman padi atau seluas 3.300 meter persegi membutuhkan 5-6 jam atau senilai Rp175.000-Rp210.000 per patok.

Rata-rata umur tanaman padi di wilayah Desa Tunggul baru 60 hari. Untuk sampai panen, para petani masih membutuhkan waktu selama 30-40 hari lagi. Seorang petani asal Dukuh Setri, Desa Tunggul, Rubiyanto, 62, duduk di pinggir jalan bersama rekan sesama petani, Gito, 75.

Mereka melihat kondisi tanaman padinya yang menghijau tetapi ada beberapa daun yang agak keriting. Tangki penyemprotan pestisida masih terlihat di pematang sawahnya.

Di tengah obrolan mereka, Espos datang menyapa untuk sekadar bertanya tentang kondisi tanaman padi mereka pascamacet aliran air dari Daerah Irigasi (DI) Kedung Duren lantaran jebolnya Bendung Winong pada 2024 lalu. Mereka kompak menjawab dampaknya petani tidak bisa mendapat air. Meski musim penghujan, petani tidak bisa mengandalkan air hujan dalam pemupukan maupun penyiangan.

“Untungnya masih ada petani yang punya sumur dalam dan airnya boleh dibeli. Kami membeli air dari sumur dalam itu untuk mengairi sawah-sawah kami. Per jamnya senilai Rp35.000. Sawah saya yang hanya satu patok itu butuh 5-6 jam untuk membeli air irigasi itu. Biasanya pengairan itu dilakukan setiap dua pekan sekali. Untuk sampai panen nanti, kami masih butuh pengairan tiga kali lagi. Ya, biayanya jadi meningkat,” ujar Rubiyanto.

Dia optimistis masih bisa panen ke depan tetapi hasilnya diperkirkan tidak seperti yang diharapkan. Dia mengungkapkan hasil panennya nanti bisa impas dengan biaya produksi saja sudah bersyukur. Dia selama ini hanya mengandalkan air irigasi dari DI Kedung Duren itu. Sejak Bendung Winong jebol, dia tak bisa mengandalkan air irigasi teknis karena sudah tidak mengalir total. Selama ini, Rubiyanto sudah beli air dua kali pengairan atau senilai Rp420.000.

“Kami berharap pada musim tanam Maret nanti sudah ada solusi untuk irigasi. Petani diminta iuran untuk swadaya mau karena memang membutuhkan air. Tanpa air petani tidak bisa menggarap sawah,” kata Rubiyanto yang diamini Gito.

Kepala Desa Tunggul yang juga petani, Suntoro, sempat pusing mencari solusi terbaik bagi para petani yang juga warganya. Dia menyatakan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sragen siap membiayai pembangunan saluran irigasi di bawah Bendung Winong dengan alokasi anggaran Rp1,5 miliar tetapi pekerjaannya bersamaan dengan pembangunan Jembatan Mondokan yang putus itu. Dia mengambil sikap untuk berswadaya bersama para petani se-Desa Tunggul.

“Mau tidak mau dan suka atau tidak suka harus ada solusi untuk irigasi bagi petani. Kebutuhan air bagi petani itu tidak bisa ditunda. Mereka hanya mengandalkan hasil panennya untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Saya selaku pimpinan di Tunggul memikirkan nasib para petani ini. Makanya, kami mengajak para petani bicara untuk berswadaya untuk membuat talang air irigasi. Kami mengundang orang yang tahu teknis pembuatan talang air irigasi dan ternyata anggarannya Rp500 juta-Rp700 juta,” kata Suntoro saat ditemui di kediamannya.

Dia mengatakan kemudian kebutuhan anggaran itu ditekan sedemikian rupa hingga akhirnya menemukan angka Rp150 juta-Rp200 juta. Dia mengungkapkan untuk tenaganya rencana dilakukan dengan cara gotong-royong dan memanfaatkan potensi sumber daya manusia yang ada. “Daripada beli air terus Rp35.000 per jam maka talang air irigasi ini menjadi solusi,” ujarnya.

Sentimen: neutral (0%)