Sentimen
Undefined (0%)
14 Jan 2025 : 14.43

Pajak untuk Penyandang Disabilitas

14 Jan 2025 : 14.43 Views 18

Espos.id Espos.id Jenis Media: Kolom

Pajak untuk Penyandang Disabilitas

Penyandang disabilitas di Indonesia masih menghadapi keterbatasan akses dan diskriminasi yang menghambat pemenuhan hak mereka. 

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, dari 139,8 juta orang yang bekerja, hanya 763.900 di antara mereka adalah penyandang disabilitas. 

Sebagian besar bekerja di sektor pertanian (42,82%), sektor jasa (39,63%), dan sektor industri (17,55%). Mayoritas penyandang disabilitas berstatus wiraswasta atau pekerja tanpa bayaran.

Hanya 18% yang menjadi buruh atau karyawan tetap. Penyandang disabilitas juga menghadapi kendala dalam memenuhi hak dan kewajiban perpajakan. 

Prinsip pemajakan yang umum ialah pajak penghasilan dikenakan atas seluruh penghasilan (comprehensive tax base). Semua wajib pajak dianggap identik. 

Faktor pembeda ialah nilai pendapatan dan pengurangan standar yang bergantung pada keadaan subjek pajak (standard deduction). Keadaan subjektif hanya mempertimbangkan status formal seperti kewarganegaraan dan domisili. 

Dalam konteks penyandang disabilitas, prinsip pemajakan tersebut tidak mencerminkan keadilan dan kemampuan membayar (ability to pay). 

Seorang penyandang disabilitas dengan penghasilan yang sama dengan nonpenyandang disabilitas membayar pajak yang sama nilainya, walaupun harus mengeluarkan biaya ”ekstra” terkait disabilitasnya. 

Olsen, et al (2022) memperkenalkan istilah disability tax dan accessiblity tax sebagai konsep baru dalam pajak kultural. 

Pajak kultural adalah istilah bagi “pajak tambahan” yang timbul atas golongan marginal karena usaha ekstra dan usaha mental yang mereka perlukan untuk bekerja atau berkarier (Padilla, 1994). 

Penyandang disabilitas menanggung beban pajak tambahan karena mereka memerlukan kekuatan mental dan intelektual yang ekstra. 

Mereka menghadapi keterbatasan akses pada pendidikan, layanan kesehatan, kesempatan kerja, dan akses pada proses perencanaan kebijakan pembangunan. 

Penyandang disabilitas dituntut memiliki nilai yang lebih dibanding nonpenyandang disabilitas untuk posisi pekerjaan yang sama. Ada tuntutan membuktikan disabilitas tidak memengaruhi kinerja.

Accessibility tax merujuk pada usaha ekstra yang diperlukan penyandang disabilitas untuk mengakses teknologi terkait pekerjaan. Prinsip kemampuan membayar (pajak) lebih tercermin dengan mengubah sistem perpajakan: membolehkan itemized deduction pada penghitungan pajak penghasilan. 

Penyandang disabilitas bisa mengurangkan biaya-biaya yang terkait disabilitas sehingga pajak yang dibayar lebih mencerminkan kemampuan membayar. 

Opsi ini memiliki kerumitan administrasi yang lebih tinggi sehingga banyak administrasi perpajakan memilih standard deduction, pengurangan berupa penghasilan tidak kena pajak (PTKP), seperti sistem perpajakan yang kita anut. 

Belum ada insentif yang memadai bagi penyandang disabilitas. Dalam ranah pajak pertambahan nilai (PPN), fasilitas pembebasan pajak diberikan kepada jasa pelayanan sosial tertentu berupa jasa lembaga rehabilitasi.

Dengan pendekatan post-integrationist, pemerintah dapat membuat kebijakan bagi para pemberi kerja yang mempekerjakan penyandang disabilitas berupa fasilitas super tax deduction. 

Biaya gaji, fasilitas,  sarana kerja, dan biaya lain bagi penyandang disabilitas dapat dikurangkan terhadap penghasilan bruto dengan persentase lebih tinggi daripada pengeluaran sebenarnya.

Untuk mitigasi efek disability tax dan accessiblity tax, kebijakan seperti disability tax credit  dapat diterapkan. Ini memungkinkan penyandang disabilitas atau keluarganya mengklaim pengeluaran terkait disabilitas sebagai kredit pajak yang dapat direstitusi dalam laporan tahunan. 

Langkah ini dapat membantu meringankan beban biaya hidup akibat keterbatasan mereka. Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Afrika Selatan menerapkan kebijakan ini

Langkah inklusif dimulai pada 2021 oleh Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan,  melibatkan penyandang disabilitas pendengaran dalam sosialisasi hak dan kewajiban perpajakan. 

Inisiatif pajak berisyarat ini dilakukan secara nasional pada 2022. Usaha yang lebih menjangkau dan komprehensif diperlukan untuk penyandang disabilitas sehingga mereka mampu melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan dengan baik. 

Transisi layanan pajak ke sistem online menambah tantangan bagi penyandang disabilitas. Mereka kehilangan manfaat interaksi langsung dengan petugas pajak yang sering kali lebih membantu. 

Pemerintah harus memastikan layanan pajak mudah diakses oleh semua, termasuk penyandang disabilitas, agar mereka dapat berpartisipasi aktif dalam pembangunan negara. 

Pemerintah perlu memperluas aksesibilitas layanan pajak dengan menyediakan fasilitas yang ramah penyandang disabilitas.

Panduan-panduan yang lebih sederhana telah disiapkan. Fokus utamanya pada topik-topik pajak yang sering menjadi perhatian publik. 

Panduan pengisian pajak disediakan dalam format yang lebih mudah diakses, memastikan setiap individu memiliki kesempatan sama untuk memenuhi kewajiban dengan lebih mudah.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 10 Januari 2025. Penulis adalah Penyuluh Pajak Ahli Madya Kanwil DJP Jawa Tengah II)

Sentimen: neutral (0%)