Sentimen
Undefined (0%)
13 Jan 2025 : 14.13
Informasi Tambahan

Institusi: Imparsial, UGM

Kab/Kota: Bogor, Solo, Sukoharjo

Kasus: teror, Teroris

Eks Jamaah Islamiyah Kembali ke NKRI

13 Jan 2025 : 14.13 Views 22

Espos.id Espos.id Jenis Media: Kolom

Eks Jamaah Islamiyah Kembali ke NKRI

Pembubaran Jamaah Islamiyah (JI) di Kota Solo pada 21 Desember 2024 merupakan puncak dari sosialisasi dan deklarasi pembubaran JI. Sebelumnya, pembubaran telah dilaksanakan sebanyak 44 kali di 21 wilayah. 

Kota Solo menjadi yang ke-45 atau terakhir. Sebagai puncak acara, deklarasi di Kota Solo diikuti peserta terbanyak, yaitu 1.200 yang datang secara langsung dan 6.800 orang yang hadir secara dalam jaringan atau daring. 

Rentetan deklarasi di berbagai wilayah selama lima bulan terakhir dimulai di Bogor, Jawa Barat, pada 30 Juni 2024 dan berakhir di Kota Solo. Jumlah anggota JI yang ribuan dan membubarkan diri itu mencerminkan kuatnya jaringan JI di masyarakat. 

Berdasar informasi yang saya himpun, pertimbangan memilih Kota Solo sekaligus dijadikan puncak acara karena anggota JI paling banyak di Soloraya. Informasi ini berkesinambungan dengan laporan Institute for Policy Analysis of Conflict (2021).

Laporan tersebut menjelaskan sejak 2013 kawasan Soloraya menjadi salah satu wilayah yang diperhatikan, salah satunya dengan izin bagi anggota JI masuk ke organisasi-organisasi di Soloraya. 

Selain itu, di Soloraya JI juga memiliki aset berupa pesantren yang mengelola sekolah-sekolah yang terafiliasi dengan organisasi tersebut. Dengan pembubaran JI muncul pertanyaan: langkah apa yang perlu diambil untuk memastikan mereka tetap setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI?

Berdasarkan tingkat radikalisme dan ekstremisme, setelah pembubaran JI kemungkinan dapat dibagi menjadi tiga kelompok. Pertama, eks radikal, kelompok yang menyadari bahwa pergerakan dan visi JI selama ini salah, sehingga mereka menerima keputusan secara utuh pembubaran ini. 

Di kelompok ini juga termasuk para pendukung atau orang yang masuk dalam jaringan JI, tapi tidak pernah terlibat dalam perencanaan apalagi aksi teror. Kelompok ini tidak mempunyai catatan kriminal dan tidak pernah diproses hukum. 

Kedua, eks teroris, mereka adalah orang yang pernah terlibat dalam perencanaan atau aksi teror, baik yang sudah tertangkap maupun belum, sudah diproses hukum, dan mereka sepakat dengan keputusan pembubaran JI. 

Ketiga, radikal, kelompok ini ada atau tidak belum diketahui secara pasti, namun perlu diwaspadai. Kelompok radikal yang dimaksud di sini adalah orang yang tidak setuju pembubaran JI, entah menyampaikan secara frontal atau diam-diam. 

Kelompok ini berpotensi menjadi pembelot, membentuk kelompok sempalan atas dasar kekecewaan dengan keputusan ini. Mungkin saat ini mereka memilih diam sembari melihat situasi dan kondisi yang menguntungkan baru mereka bergerak, entah membangun jaringan baru atau langsung beraksi. 

Berdasarkan jumlah peserta deklarasi, kemungkinan besar kelompok terbanyak adalah kelompok pertama, yaitu eks radikal. Kelompok ini diduga terdiri atas masyarakat umum yang belum pernah terlibat dalam rencana aksi serta pesantren dan sekolah yang terafiliasi dengan JI. Kedua kelompok ini sama-sama berpotensi mengalami pengucilan sosial.

Bagi masyarakat umum, terbukanya fakta bahwa mereka pernah terlibat dalam jaringan JI dapat mengganggu kelangsungan hidup, mulai dari pengucilan sosial hingga kehilangan pekerjaan. 

Sementara itu, pesantren dan sekolah terafiliasi juga berisiko menghadapi stigma sosial. Para guru yang bekerja di sana, meskipun mungkin tidak terlibat atau tidak mengetahui keterkaitan institusinya, tetap berpotensi terkena dampak negatif.

Potensi masalah tersebut perlu dianalisis oleh pemerintah untuk memastikan eks anggota JI tetap setia kepada NKRI. Selain itu, analisis ini penting agar pendekatan terhadap eks anggota JI, baik secara individu maupun institusi yang pernah terafiliasi, dapat dilakukan secara tepat.

Pendekatan terhadap kelompok pertama (eks radikal) harus dibedakan dengan kelompok kedua (eks teroris). Kelompok kedua umumnya telah mendapatkan bantuan reintegrasi sosial serta pendampingan melalui program deradikalisasi yang sudah berjalan dengan relatif baik. 

RAN PE

Sulit menentukan secara pasti apa saja akar terorisme. Faktor-faktornya beragam, seperti ideologi, kemiskinan, kekecewaan politik, dan lainnya. Selain itu, akar masalah sering kali berbeda di setiap wilayah atau individu. 

Banyaknya faktor dan potensi keterkaitan antarfaktor menunjukkan terorisme adalah masalah yang sangat kompleks. Mengatasi masalah yang kompleks butuh pendekatan multidisiplin dan kerja sama lintas sektor. 

Dari pemahaman itu, lahirlah Peraturan Preseiden Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme 2020–2024 (RAN PE). 

RAN PE dirancang untuk menangani terorisme dengan melibatkan semua sektor pemerintah, termasuk kementerian/lembaga dan pemerintah daerah yang berkolaborasi dengan organisasi masyarakat sipil (OMS). Implementasi dan kolaborasi RAN PE diwujudkan di daerah dengan pembentukan tim terpadu.

Di Soloraya yang mengaplikasikan RAN PE dan membentuk tim terpadu hanya Kota Solo dan Kabupaten Sukoharjo. Tim terpadu di Kota Solo dapat dikatakan yang paling aktif dalam implementasi RAN PE.

Ini dibuktikan dengan dua kali mendapat penghargaan dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Pemerintah Kota Solo juga memberi dukungan kuat pada upaya pencegahan terorisme. 

Sejauh ini kerja tim terpadu di Kota Solo fokus pada pencegahan radikalisme dan terorisme, mulai dari sosialisasi pada masa pengenalan lingkungan sekolah (MPLS) hingga bantuan dan pendampingan pada eks narapidana kasus terorisme dan keluarganya. 

Pada konteks ini tim terpadu bisa mengambil peran mendampingi kelompok pertama. Secara teknis mencakup tiga strategi. Pertama, penguatan pemahaman kebangsaan. Tim terpadu bisa menyelenggarakan diskusi dan sosialisasi bersama kelompok pertama untuk menguatkan pemahaman hubungan agama dan negara. 

Tema diskusi ini penting karena dalam proses pembubaran JI kajian ini sangat sentral dan menjadi salah satu dasar keputusan pembubaran JI. Kedua, tim terpadu bisa menggali data dari kelompok pertama mengenai pemetaan wilayah rawan, jaringan, dan strategi organisasi. 

Data-data ini penting dimiliki sebagai bentuk antisipasi dan pembelajaran untuk kontra strategi. Ketiga, ketika kelompok pertama dinilai sudah benar-benar bersih dari paham ekstrem, mereka bisa diajak menyosialisasikan antiradikalisme, serta contoh baik yang sadar dan mau keluar dari kelompok ekstrem.

Tiga strategi di atas sesuai dengan pilar pertama RAN PE tentang pencegahan, yang meliputi kesiapsiagaan, kontra radikalisasi, dan deradikalisasi. Dengan penerapan strategi di atas memungkinkan kerja tim terpadu lebih terstruktur. 

Yang tidak kalah penting, pemetaan dan data yang bisa digali dari kelompok pertama bisa membantu memetakan akar-akar radikalisme di Soloraya yang menghasilkan diagnosis apa saja akar radikalisme di Soloraya. 

Dengan diagnosis yang jelas, apalagi benar, niscaya separuh masalah sudah teratasi. Langkah selanjutnya prognosis, berupa prediksi risiko dan kemungkinan perkembangan lanjutan bisa diprediksi. 

Diagnosis juga menjadi dasar penerapan terapi, tentang bagaimana melaksanakan deradikalisasi dan reintegrasi yang tepat. Oleh karena itu, jika ingin pencegahan terorisme efektif, paling tidak lakukan diagnosis dengan teliti. 

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 6 Januari 2025. Penulis adalah mahasiswa Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik Universitas Gadjah Mada dan anggota staf lokal Imparsial wilayah Soloraya)

Sentimen: neutral (0%)