Sentimen
Informasi Tambahan
Kab/Kota: Semarang
Kasus: Tawuran
Mencegah Koboi Jalanan
Espos.id
Jenis Media: Kolom

Film atau drama asal Korea Selatan (drakor) tidak melulu menyajikan cerita percintaan. Ada juga film atau drakor yang berbalut cerita aksi atau bergenre aksi.
Salah satu hal yang menarik perhatian saya adalah minimnya adegan tembak-menembak dalam film atau drakor bergenre aksi. Berbeda dengan film Hollywood yang sering memperlihatkan aksi menggunakan senjata api.
Dalam drakor, konflik sering diselesaikan melalui adu fisik atau penggunaan senjata nonmematikan seperti tongkat, pisau, atau pistol listrik. Rasa penasaran itu membawa saya untuk mencari tahu lebih dalam.
Ternyata, Korea Selatan memang dikenal sebagai salah satu negara yang sangat ketat dalam mengatur kepemilikan dan penggunaan senjata api.
Menurut laporan Small Arms Survey pada 2018, tingkat kepemilikan senjata api di Korea Selatan hanya 0,2 senjata per 100 penduduk.
Angka ini tergolong rendah untuk negara-negara di dunia, termasuk di Asia. Jauh lebih rendah dibandingkan Indonesia dengan 0,8 senjata per 100 penduduk.
Di Korea Selatan, warga sipil dilarang memiliki senjata api, kecuali melalui prosedur perizinan yang sangat ketat. Setelah izin diperoleh, senjata tersebut tidak boleh disimpan di rumah.
Senjata api itu harus dititipkan di kantor polisi atau fasilitas yang disetujui pemerintah. Ketatnya aturan ini juga berlaku bagi aparat kepolisian. Menurut Korean Times, polisi Korea Selatan jarang sekali menggunakan senjata api.
Dalam tiga tahun terakhir, rata-rata hanya ada 10 kejadian penggunaan senjata api oleh polisi setiap tahun. Pada tahun 2024, sejak Januari hingga Agustus, senjata api hanya digunakan dalam enam insiden.
Sebagai gantinya, mereka lebih sering menggunakan senjata nonmematikan seperti pistol setrum atau taser yang tercatat digunakan sebanyak 208 kali dalam periode yang sama.
Kondisi ini kontras dengan yang terjadi di Indonesia. Di negara kita, penggunaan senjata api jauh lebih masif, bahkan tidak jarang disalahgunakan.
Data Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) mencatat 152 kasus penyalahgunaan senjata api pada 2009 hingga 2011, bagian dari total 463 kasus kejahatan yang melibatkan senjata api.
Penyalahgunaan
Baru-baru ini, kasus penyalahgunaan senjata api kembali mencuat ketika seorang siswa SMK di Kota Semarang meninggal setelah ditembak oleh seorang anggota Polrestabes Semarang Ajun Inspektur Polisi Dua Robig Zainudin.
Polisi awalnya menyatakan siswa SMK yang ditembak itu adalah pelaku tawuran yang melawan saat akan dihentikan polisi. Penyelidikan lebih lanjut menunjukkan siswa SMK itu bukan pelaku tawuran dan tidak memberikan ancaman serius yang membahayakan.
Kasus ini hanyalah satu dari banyak insiden serupa yang terjadi di Indonesia. Beberapa di antaranya hanya dipicu oleh masalah sepele seperti perselisihan di jalan.
Fenomena ini melahirkan istilah "koboi jalanan" untuk menggambarkan perilaku arogan pengguna senjata api, baik dari kalangan masyarakat umum maupun aparatur negara.
Indonesia perlu belajar dari Korea Selatan, yang bersama Jepang termasuk negara dengan tingkat penggunaan senjata api terendah di dunia.
Indonesia memiliki regulasi yang cukup ketat berupa Undang-undang Nomor 12 Tahun 1951 atau Undang-udnang Darurat dan Peraturan Kepala Polri Nomor 8 Tahun 2009, namun implementasi aturan tersebut masih perlu diperkuat.
Salah satu perbedaan mencolok adalah terkait penyimpanan senjata api. Di Korea Selatan, warga sipil yang memiliki senjata api tidak diizinkan menyimpan di rumah.
Sedangkan di Indonesia, pemilik senjata api yang telah mengantongi izin dapat menyimpan senjata di tempat tinggal masing-masing. Polisi di kedua negara itu juga memiliki pendekatan berbeda.
Di Korea Selatan, meskipun polisi diperbolehkan membawa senjata api, penggunaannya sangat dibatasi. Polisi di Korea Selatan lebih mengandalkan alat nonmematikan seperti tongkat pemukul dan taser dalam menjalankan tugas.
Pengawasan Lebih Ketat
Untuk mencegah penyalahgunaan senjata api di Indonesia perlu ada pengawasan yang lebih ketat, baik terhadap kepemilikan oleh masyarakat umum maupun penggunaan oleh aparat keamanan.
Langkah ini penting tidak hanya untuk menurunkan angka kejahatan, tetapi juga untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum.
Selain itu, pelatihan bagi polisi juga perlu diarahkan untuk memaksimalkan penggunaan senjata nonmematikan Ini dapat mengurangi risiko fatalitas dalam situasi yang sebenarnya dapat ditangani tanpa senjata api.
Bisa jadi tanpa menggunakan senjata api aparat penegak hukum di Indonesia lebih sigap dalam mengatasi tindak kejahatan. Menurut studi yang dilakukan The Asia Foundation pada 2022, polisi yang lebih terlatih dalam penggunaan alat nonmematikan memiliki tingkat keberhasilan 30% lebih tinggi dalam menangani situasi konflik tanpa eskalasi kekerasan.
Pada akhirnya, upaya mencegah "koboi jalanan" bukan hanya soal pengetatan regulasi, tetapi juga perubahan budaya dalam penegakan hukum.
Aparat keamanan harus menjadi teladan dalam penggunaan senjata api secara bijak, sementara masyarakat perlu lebih sadar akan pentingnya aturan yang ketat demi keselamatan bersama.
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 9 Januari 2025. Penulis adalah Manajer Konten Solopos Media Group)
Sentimen: neutral (0%)