Sentimen
Undefined (0%)
11 Jan 2025 : 12.20
Informasi Tambahan

Institusi: UNPAD

Kab/Kota: Athena, Semarang

Kasus: penembakan, PHK, Tawuran

Menghalau Ketakutan

11 Jan 2025 : 12.20 Views 36

Espos.id Espos.id Jenis Media: Kolom

Menghalau Ketakutan

Alexandros Grigoropoulos adalah bocah biasa dari Athena, Yunani. Umurnya 15 tahun. Dari keluarga cukup kaya, menempuh pendidikan di sekolah swasta. Ayahnya manajer bank, ibunya memiliki toko perhiasan. Sebagai­ma­na remaja lainnya, Grigoro­poulos suka basket, musik hip hop hingga rock.
6 Desember 2008 adalah ha­ri terakhir Grigoropoulos. Di ka­wasan kumuh Exarcheia, dia terbunuh. Polisi menembak dia dalam sebuah peristiwa yang diklaim sebagai kericuhan. Dua polisi mengklaim mereka diserang, sehingga seorang di antaranya mengeluarkan tembakan peringatan 3 kali, sebuah peluru menembus tubuh Grigoropoulos.
Namun, klaim polisi itu dipatahkan. Ada rekaman video amatir yang menggambarkan tak ada bentrokan sebelumnya. Gara-gara itu, Kota Athena dilanda kerusuhan.

Pelajar, mahasiswa, pemuda dan warga lainnya marah. Tak hanya sehari dua hari, kerusuhan itu berlangsung hingga awal Januari 2009.
Karena kerusuhan itu ber­langsung pada Desember hingga pergantian tahun, motto yang dipakai yaitu “Merry Crisis and Happy New Fear” (Selamat Krisis dan Ketakutan Baru), sebagai plesetan dari “Merry Christmas and Happy New Year” (Selamat Hari Natal dan Tahun Baru). Peristiwa di Athena yang merembet ke berbagai kota itu tak hanya disebabkan oleh penembakan Grigoropoulos semata. Ada frustrasi sosial, ke­­tidakpercayaan kepada aparat dan politikus, hingga ekonomi dan masa depan suram.
Di Semarang, Jawa Tengah, ada yang namanya Gamma Rizkynata Oktafandy, 17. Dia ditembak polisi pada Minggu (24/11/2024) dini hari. Kapolrestabes Semarang saat itu, Kombes Pol. Irwan An­war dalam jumpa pers sehari kemudian menyebut penembakan terjadi karena Gamma menjadi bagian gangster yang sedang tawuran dan kemudian menyerang petugas. Namun, Kabid Propam Polda Jateng, Kombes Pol. Aris Suprioyono, mengungkap fakta berbeda bahwa penembakan terjadi karena Gamma dan temannya memepet kendaraan pelaku, bukan akibat tawuran seperti yang dinarasikan Irwan. Penembak Gamma kini menjadi tersangka dan dipecat.

Apakah kasus Gamma dan Grigoropoulos memiliki persamaan? Ya mirip-miriplah. Kita menunggu bagaimana aparat penegak hukum menyelesaikan kasus itu, apakah dengan rasa keadilan atau malah sebaliknya. Warganet muak dengan kata “oknum” yang sering disebut pejabat kepolisian ketika ada kasus di lembaga itu. Yang dibutuhkan publik adalah keadilan, bukan kata-kata klise.

***

Baru beberapa hari lalu kita me­ninggalkan 2024. Terompet masih terngiang di telinga. Kembang api masih membayang di mata kita, diiringi letusan yang tidak memekikkan telinga. Bagaimana menghadapi 2025? Bagi sebagian kalangan, tahun ini disikapi dengan hati-hati. Mulai 1 Januari, berlaku Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12%. Walau diberlakukan hanya untuk produk tertentu, kenaikan PPN itu akan menaikkan secara langsung maupun tidak langsung harga barang dan jasa.

Pemerintah merencanakan sejumlah stimulus sebagai bantalan agar kebijakan itu tak berdampak buruk. Presiden Prabowo Subianto menyebut stimulus itu antara lain bantuan beras untuk 16 juta penerima bantuan pangan 10 kilogram per bulan, diskon 50 persen untuk pelanggan listrik dengan daya maksimal 2.200 Volt, pembiayaan industri padat karya, insentif PPh Pasal 21 bagi pekerja dengan gaji sampai dengan Rp10 juta per bulan, bebas PPh bagi UMKM beromzet kurang dari Rp500 juta per tahun, dan sebagainya. Total nilai stimulus ini mencapai Rp38,6 triliun.

Namun, bagi sebagian kalangan, terutama kelas menengah, 2025 akan dihadapi dengan hati-hati. Kelompok yang paling terdampak dari PPN 12% ini adalah kelas menengah dan kelas bawah. Kelas menengah rentan terpelanting turun kasta menjadi kelas bawah.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024, jumlah penduduk kelas menengah dalam lima tahun terakhir mengalami penurunan drastis, dari 57,33 juta pada 2019 atau setara 21,45% dari total penduduk menjadi 47,85 juta orang atau setara 17,13% pada Maret 2024. Mereka berjumlah 9,48 juta orang. Yang dikategorikan kelompok kelas menengah adalah yang berpengeluaran Rp2.040.262-Rp9.909.844 per kapita per bulan pada 2024.

Kelompok calon kelas menengah atau aspiring middle class yang rentan miskin bertambah mencapai 137,5 juta orang.
Namun ekonomi Indonesia dianggap baik-baik saja. Kemenkeu menyebut dalam 10 tahun terakhir, perekonomian Indonesia menjadi salah satu yang terbaik, rata-rata pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen, inflasi tetap terjaga, serta defisit fiskal yang positif.

Kok bisa pertumbuhan ekonomi bagus tetapi kelas menengah turun? Ada analisis lain. Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis dari Universitas Padjadjaran Arief Anshory Yusuf dalam Podcast SKS menilai beberapa tahun belakangan Indonesia mengalami immiserizing growth alias pertumbuhan ekonomi yang menyengsarakan. Pertumbuhan ekonomi tak dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Jadi kekayaan hanya terkonsentrasi pada segelintir orang. Silakan pembaca yang merasakan bagaimana situasi ekonomi sekarang.

***

Dalam Indonesia Industry Outlook 2025 Conference di Wisma Bisnis Indonesia, Jakarta Pusat, Rabu (23/10/2024), sebagaimana dikutip dari Bisnis.com, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanudin Muhtadi meyakini kelas menengah sering menjadi penentu perpolitikan sebuah negara meski bukan mayoritas. Jika kelas menengah yang jumlahnya terus tergerus ini dibiarkan, wah berbahaya.

Kelas menengah itu tak hanya jumlahnya biasanya lebih banyak, tetapi juga bisa menggerakkan secara sosial dan politik. Gerakan sosial peluangnya kecil dilakukan oleh kelas atas atau bawah. Coba saja lihat di media sosial. Orang super kaya tak punya waktu untuk memanfaatkan media sosial. Orang miskin juga sibuk dengan upaya mempertahankan hidup, tak ada waktu untuk unggah status atau foto.

Kelas menengah ini yang banyak muncul di media sosial. Termasuk di antara mereka adalah kaum intelektual, pengusaha menengah, aktivis LSM, cendekiawan, dan sebagainya.

Melalui tulisan, video pendek, podcast, dan sebagainya, me­reka membagikan pikiran dan analisis mengenai politik, ekonomi, sosial budaya, agama, maupun hal-hal lain. Diskusi mengenai politik pada Pilpres 2024 ramai sekali di Twitter.
Karakteristik kelas menengah ini, menurut Hilmar Farid, biasanya dilihat dari pendapatan (ekonomi), gaya hidup, bahasa, dan perilaku sosialnya.

Dalam konteks sekarang, mereka relatif masyarakat konsumtif, relatif mapan, cukup independen, dan aktif memanfa­at­kan media sosial. Media sosial jadi alat mengungkapkan ekspresi, menggalang dukungan, maupun menolak sebuah kebijakan. Ak­tivisme digital (digital activism) mereka terdiri atas tiga level: penonton digital, aktivitas transisi digital, dan petarung digital (lihat laporan Humanis soal Adu Jitu Melawan Otokrat).

Pemerintah pun memperhatikan itu. Sebagai sebuah kerumunan (crowd), keberadaan netizen (warganet) benar-benar di­perhitungkan. Pemerintah bisa melakukan atau tidak melakukan sesuatu mengikuti pendapat warganet.
Pada pergantian tahun 2024 ke 2025, media sosial riuh rendah dengan event itu. Ada harapan maupun resolusi. Semuanya berharap 2025 menjadi lebih baik. Baik secara ekonomi, sosial, politik, maupun psikologis.

Harapan kita, di awal tahun 2025 ini, tidak terjadi new fear, ketakutan baru. Takut meng­hadapi masa depan yang ti­dak menentu karena kenaikan PPN, PHK, represi, penu­runan kualitas hidup dan sebaga­inya. Kewajiban pemerintah un­tuk menghalau ketakutan rakyat­nya dengan menyejahterakan­nya dan menegakkan keadilan. Benar-benar happy new year.

 

Sentimen: neutral (0%)