Sentimen
Undefined (0%)
11 Jan 2025 : 07.30
Informasi Tambahan

Brand/Merek: Bata

Grup Musik: Naif

Kab/Kota: Karawang, Pyongyang, Seoul

Jembatan Mapo dan Kenangan yang Menyertai

11 Jan 2025 : 07.30 Views 26

Espos.id Espos.id Jenis Media: Lifestyle

Jembatan Mapo dan Kenangan yang Menyertai

Di bawah langit Seoul yang temaram, Lee Sun-kyun melintasi Jembatan Mapo, menenteng kantong plastik hitam berisi dua botol soju Chum Churum yang iklannya dibintangi aktris kesukaannya.

Bersama seorang lainnya yang sedang menunggu kedatangan Sun-kyun, dua botol soju itu rencananya menjadi minuman pendamping untuk menyantap tteobokki dengan saus gochujang yang kental.

Langkahnya terlihat tenang, seperti seseorang yang tahu ke mana dia akan pergi, tapi ragu apakah kepergiannya dapat diterima dengan baik.

Angin malam di atas Jembatan Mapo berembus kencang, membawa aroma sungai dan daun-daun basah, semacam wangi yang samar, tetapi meninggalkan jejak di benak. Angin yang sama juga mengempas helai-helai rambut Sun-kyun, mengacak-acaknya secara serampangan.

Sesekali Sun-kyun membenahi helai rambutnya, lalu saling mengusap-usap kedua telapak tangannya yang bahkan telah mengenakan sarung tangan berbahan wol demi mendapatkan rasa hangat yang tidak seberapa.

Sun-kyun kemudian merapatkan mantel berwarna abu-abu yang dikenakannya, mengencangkan syal yang mengalungi lehernya, serta mengembuskan napas dan menciptakan kepulan asap putih yang memanjang di permukaan udara. Dingin menggigil. Namun, dingin menggigil yang dirasakan Sun-kyun sepadan dengan pemandangan indah di sekitarnya.

Cahaya lampu Kota Seoul yang gemerlapan menciptakan bayangan pada permukaan Sungai Han yang membentang di bawah Jembatan Mapo, memantulkan pendar kota yang samar seperti noda cat minyak yang tergerus.

Sementara, lampu LED yang tertanam pada struktur baja jembatan itu menyala dengan berbagai warna, menyajikan pemandangan yang magis sekaligus menakjubkan. Kombinasi yang tentu saja terlampau sulit didapati Sun-kyun di kampung halamannya, yang mungkin tingkat kemajuannya tertinggal beberapa puluh tahun ke belakang.

Pemandangan itu menghadirkan kedamaian dan ketenteraman dalam diri Sun-kyun yang kerap rela berlama-lama berdiam diri di tempat itu meski udara menggigit, mengembuskan dingin yang tak hanya menyusup ke dalam kulit, tapi juga menusuk ke hati. Sekali lagi Sun-kyun mengedarkan pandangan, sekadar memanjakan matanya yang lelah usai bekerja seharian, mengumpulkan beragam informasi demi kepentingan negara.

Seiring malam yang kian remang sekaligus larut, Sun-kyun memutuskan melanjutkan perjalanan seusai langkahnya berkali-kali sempat terhenti demi menyaksikan aliran Sungai Han yang terlihat tenang di antara gedung-gedung yang berdiri megah dan berjejer di tepian sungai.

Entah aliran itu benar-benar tenang dalam arti yang sebenarnya atau hanya tampak seperti sedang tenang karena keterbatasan jarak pandang di tengah gelap malam, Sun-kyun tak terlalu peduli. Dia lebih condong pada pilihan yang pertama. Sungai Han tampak mengalir seperti arloji yang abadi, terus bergerak dan tak pernah menunggu, meninggalkan keping-keping masa lalu. Satu per satu, entah bagaimana, wajah-wajah lama yang dikenalinya melintas, terefleksi samar-samar di permukaan sungai.

Saat paling cemerlang dalam hidup Anda belum datang.

Kekhawatiran Anda akan terasa seperti tidak ada saat Anda bertambah tua.

Langkah kaki Sun-kyun diiringi kalimat-kalimat penyemangat hidup yang terpampang di sepanjang pagar pembatas yang membentengi jembatan Mapo, yang secara otomatis menyala karena dilengkapi sensor gerak.

Kalimat-kalimat yang bertujuan menegarkan hati mereka yang sedang melintas dan berniat bunuh diri, melompat dari Jembatan Mapo dan menenggelamkan diri di Sungai Han. Lebih dari itu, terdapat pula foto dan gambar yang mengingatkan orang-orang dengan keluarga, teman, atau siapa pun yang mereka cintai sebagai upaya pencegahan tindakan bunuh diri.

Tak peduli seindah apa pun pemandangan dari Jembatan Mapo, setenang apa pun aliran Sungai Han yang menghadirkan rasa damai, kombinasi kedua tempat itu nyatanya merupakan lokasi favorit warga Korea Selatan atau Kota Seoul untuk mengonversi rasa frustrasi menjadi sebuah tindakan bunuh diri. Jembatan Mapo dan Sungai Han seolah ditakdirkan untuk saling beririsan, menjadi saksi bisu kerapuhan masyarakat.

Bagi Sun-kyun, Jembatan Mapo dan Sungai Han lebih dari sekadar tempat yang dikenal sebagai titik akhir banyak orang. Kedua tempat itu tak ubahnya sebuah penghubung, antara sesuatu yang tak dapat atau sulit dijelaskan dengan sesuatu yang tidak benar-benar pernah selesai.

Setiap orang yang meratap di tempat itu, entah pria atau wanita, dihadapkan pada dua pilihan: meneruskan hidup dengan terus melintasi Jembatan Mapo yang panjang atau menyerah pada kedalaman Sungai Han yang tenang, tetapi dingin.

Ingatan Sun-kyun terlempar, kembali ke beberapa tahun lalu ketika dia mendapati seorang pria muda yang mengenakan jas dan sepatu pantofel hitam yang berkilatan hendak melompati pagar pembatas Jembatan Mapo. Detik itu, malam seolah mengiriminya sinyal secara diam-diam, menarik langkahnya agar lebih dekat.

Pria muda itu berdiri di tepian jembatan, memandang kosong Sungai Han sambil bicara pada dirinya sendiri disertai mimik wajah yang sedih. Rambutnya terturai, wajahnya tak terlihat, tetapi ada semacam kehampaan yang memancar.

Dia kemudian menghela napas berat, beriring tangis kecil yang nyaris tak bersuara. Kecewa, putus asa, dan hampa - segala perasaan tidak nyaman itu bercampur dalam satu waktu.

Sun-kyun yang menyadari potensi bahaya dari adegan yang terlampau muram itu segera berlari, menerjang si pria muda ketika salah satu kakinya sudah menaiki pagar pembatas jembatan dan nyaris tergelincir.

Sun-kyun dan pria muda itu terempas sejauh beberapa meter, berguling-guling sebelum akhirnya tubuh mereka tertahan sebuah bangku panjang yang di permukaannya terdapat patung seorang pria yang sedang menghibur temannya dari rasa sedih.

Dengan kondisi tubuh telentang dan menghadap ke bulan, pria muda yang nyawanya baru saja diselamatkan oleh Sun-kyun menangis sejadi-jadinya, menciptakan jejak pada pipinya yang berwarna pucat. Tangis yang pilu, yang kadang tersendat-sendat, menghasilkan ucapan yang terbata-bata dan sulit dimengerti.

Sun-kyun meraih sapu tangan dari dalam sakunya, menyerahkannya pada pria muda itu sembari menepuk-nepuk pundaknya, membesarkan hatinya.

Sun-kyun berupaya menemukan kalimat yang tepat demi menembus dinding kekosongan yang menyelimuti pria muda itu, menyanggah kerapuhan dari rasa putus asa yang tak tahu dari mana asalnya. Namun, setelah beberapa detik terlewati, tak satu kata pun yang terlintas di pikirannya untuk disampaikan.

Sun-kyun hanya kembali menepuk-nepuk pundak si pria muda, berharap energi positif dari dalam dirinya dapat berpindah melalui sentuhan kecil itu.

Ahjussi! Ahjussi!”

Keping-keping ingatan Sun-kyun segera membuyar oleh suara lembut yang memanggilnya, menganulir satu peristiwa lainnya yang ingin dia kenang. Peristiwa yang nyaris serupa, tetapi memiliki hasil akhir yang sama sekali berbeda.

***

Lee Ji-eun selama bermenit-menit hanya berdiri di tempat dan titik yang sama, merenungi banyak hal yang ingin direnunginya. Gadis itu menjadikan Jembatan Mapo sebagai tempat favorit untuk mengevaluasi segala hal yang terjadi dalam hidupnya.

Ketika gadis itu didera masalah yang sangat pelik, dia segera mendatangi Jembatan Mapo, menyemangati dirinya sendiri dengan frasa-frasa dan gambar-gambar yang muncul di permukaan pagar pembatas jembatan.

Dulu, permasalahan terbesar dalam hidup Ji-eun adalah utangnya yang beranak-pinak kepada seorang rentenir; utang yang bunganya jauh lebih besar ketimbang utang pokok itu sendiri. Utang-utang tersebut terus mencekik lehernya, memaksanya mengambil beberapa pekerjaan paruh waktu sekaligus, siang dan malam hingga nyaris tak memiliki waktu istirahat, yang upahnya bahkan hanya bisa menutupi cicilan bunga.

Di tengah Kota Seoul yang semakin individualistis, tak ada orang yang bisa diajaknya bicara mengenai keluhan hidup; mengenai betapa menderitanya dia, baik secara jiwa maupun raga. Jika pun ada, orang yang bisa diajak bicara —teman kerja paruh waktunya — nasibnya tak lebih baik dari gadis itu.

Alih-alih meringankan beban, percakapan mengenai keluhan hidup itu justru semakin membuat Ji-eun dijejali perasaan tidak nyaman.

Maka, Jembatan Mapo menjadi satu-satunya tempat pelarian bagi Ji-eun dari hal-hal yang menyesakkan dan mengimpit dadanya. Kerap Ji-eun berteriak sekuat tenaga dari jembatan itu hingga urat lehernya menegang, menyuarakan dan mengarahkan segala keluh-kesahnya ke Sungai Han yang mengalir di bawahnya. Meski pada akhirnya suara itu tenggelam oleh embusan angin kencang, Ji-eun setidaknya merasakan sedikit kelegaan.

Hingga, suatu waktu, kebiasaan Ji-eun menciptakan sebuah kesalahpahaman. Seorang pria menarik tubuhnya dari tepian Jembatan Mapo lantaran mengira dirinya hendak bunuh diri.

Ji-eun hampir saja melontarkan kata-kata kasar seusai tubuhnya sempat terpelanting, tetapi niat itu diurungkan saat menyadari bahwa sosok yang menarik tubuhnya itu merupakan seorang pria dengan wajah teduh serta memiliki logat dan aksen bicara yang tak biasa.

Kini, bertahun-tahun kemudian, Ji-eun tak lagi meratapi tumpukan utangnya kepada rentenir di tepian Jembatan Mapo, melainkan meratapi nasib pria —yang meski usianya terpaut jauh — mampu membuatnya merasa nyaman karena selalu setia mendengarkan segala keluh-kesahnya; pria yang rela melunasi utangnya secara diam-diam meski gadis itu tidak pernah meminta.

Pria itu bernama Lee Sun-kyun, sosok naif yang mengiranya hendak bunuh diri hanya karena beberapa hari sebelumnya dia menyaksikan dan berhasil mencegah tindakan bunuh diri seorang pria muda yang tak kunjung mendapatkan pekerjaan, persis di titik yang sama pada jembatan itu.

Sosok yang sangat menyukai soju merek tertentu hanya karena mengidolai bintang iklannya dan kerap menyantap tteobokki selagi panas hingga mulutnya megap-megap.

Pula, di titik jembatan yang sama yang Ji-eun sedang ratapi, pria itu dihujani peluru oleh sekelompok polisi seusai menerima laporan dari warga Seoul mengenai seorang pria yang memiliki logat dan aksen bicara yang aneh, yang disimpulkan secara sepihak merupakan logat Pyongyang.

Sejak saat itu, Lee Ji-eun memutuskan membenci polisi dan orang-orang Seoul, tetapi tidak dengan Kota Seoul beserta jembatan Mapo dan sungai Han yang telah mempertemukannya dengan Lee Sun-kyun.

Ahjussi,” gumam Lee Ji-eun, menyampaikan kesedihannya pada Sungai Han yang mengalir tenang di siang hari. Kemudian, dia mengenakan penyuara jemalanya, mendengarkan lagu syahdu milik Seo Ji-won, With My Tears.

*Ahjussi: Sebutan laki-laki yang usianya di atas 35 tahun, semacam paman, dan bukan anggota keluarga.

 

Arie Fajar Rofian

Pegiat literasi yang berdomisili di Karawang.

 

Sentimen: neutral (0%)