Sentimen
Undefined (0%)
23 Des 2024 : 00.46
Informasi Tambahan

Institusi: Dewan Pers

Kab/Kota: Solo

Kasus: HAM

AJI Solo Ajak Media Jadi Penjaga Keberagaman, Bukan Penyebar Stigma

23 Des 2024 : 00.46 Views 61

Espos.id Espos.id Jenis Media: Solopos

AJI Solo Ajak Media Jadi Penjaga Keberagaman, Bukan Penyebar Stigma

Esposin, SOLO -- Aliansi Jurnalis Independen atau AJI Solo mengajak jurnalis khususnya yang bertugas di Soloraya membuat konten berita yang inklusif terhadap kelompok minoritas, menghormati keberagaman, dan menggunakan perspektif hak asasi manusia (HAM) sesuai prinsip Deklarasi Universal HAM.

Hal itu disampaikan Ketua AJI Solo, Maryana Ricky, seusai menerima kunjungan pengurus Yayasan Mitra Alam di Sekretariat AJI Solo, awal Desember 2024 lalu. Dia mengingatkan pemberitaan media massa seharusnya tidak menyebarkan prasangka, provokasi, dan kebencian terhadap kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) yang berujung pada diskriminasi, persekusi, dan kekerasan.

”Setiap jurnalis wajib menaati Kode Etik Jurnalistik dan Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999,” kata Nana melalui keterangan tertulis yang diterima Espos, Sabtu (21/12/2024).

Yayasan Mitra Alam adalah organisasi nonpemerintah yang berbasis di Kota Solo dan pada tahun ini melakukan kerja-kerja advokasi dalam pemenuhan hak-hak pada masyarakat marginal.

Mariyana menambahkan AJI Solo turut berharap kepada Dewan Pers untuk aktif menyosialisasikan Peraturan Dewan Pers tentang Pedoman Pemberitaan Isu Keberagaman kepada komunitas pers.

Pedoman itu menjadi rujukan penting bagi pers dalam memberitakan isu keberagaman, sehingga diharapkan tidak memuat prasangka, kebencian, mengobarkan konflik, serta menghormati dan melindungi HAM.

Nana menyesalkan terkait kebijakan yang telah diambil Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), lembaga yang berperan mengawasi program penyiaran. KPI justru mempersulit pemberitaan yang merepresentasikan queer lewat aturan atau surat edarannya yang melarang media penyiaran, seperti radio dan televisi, menampilkan muatan yang mengandung LGBTQIA+.

”KPI telah cukup rutin mengeluarkan sanksi dan peringatan terhadap media yang menyiarkan konten LGBTQIA+,” jelas dia.

Menurut dia, hasil riset sejumlah organisasi kemanusiaan pada 2023 nyatanya menemukan mayoritas media daring Indonesia malah menjadi perpanjangan tangan politikus untuk memublikasikan pernyataan mereka yang anti-LGBT.

Sebelumnya, riset Konde.com pada 2022 menunjukkan dalam pemberitaan kasus kriminalitas, mayoritas media menggunakan polisi sebagai narasumber utama. Jika terduga kriminal adalah bagian dari LGBTQIA+, polisi mengaitkan perilakunya dengan identitasnya.

Stigma Komunitas Rentan

Sementara media memublikasikan ucapan polisi, tanpa mengkritisi atau melakukan verifikasi ke kelompok LGBTQIA+ atau organisasi pembela hak mereka. ”Representasi yang akhirnya dominan di media adalah bagaimana LGBTQIA+ adalah kriminal,” ucap Nana.

Menurut dia, media sama juga telah ikut berperan dalam mempromosikan kebijakan yang anti-LGBT dan seringkali menggunakan diksi yang memperkuat stigma terhadap komunitas rentan tersebut.

Pada akhirnya, AJI Solo berharap sikap media di Indonesia terhadap isu LGBTQIA+ tidak lagi mengabaikan atau tidak memberikan ruang terhadap isu tersebut, atau malah secara terang-terangan mempublikasi dan turut menggemakan kebencian maupun diskriminasi lewat penggunaan diksi, pemilihan narasumber, hingga penggunaan bingkai beritanya.

Sementara itu, Advokasi Officer Yayasan Mitra Alam, Sulistyaningsih, mengatakan kekerasan terhadap komunitas transpuan, gay, orang dengan HIV, dan perempuan pekerja seks di Kota Solo merupakan isu yang mendesak dan kompleks.

Menurut dia, kekerasan fisik yang dialami individu-individu itu bukan hanya menimbulkan luka fisik, melainkan juga dampak psikologis yang mendalam. Banyak dari mereka menjadi target kekerasan yang berasal dari berbagai kalangan, termasuk pasangan intim dan masyarakat umum.

”Selain itu, kekerasan ekonomi sering terjadi khususnya terhadap komunitas perempuan pekerja seks [PSP]. Dalam hal ini, teman-teman PSP dipaksa untuk memenuhi kebutuhan sehari hari di rumah tangganya dan kebutuhan pasangannya,” jelas Sulis.

Sulis menambahkan, pengancaman dan intimidasi, baik yang datang secara langsung maupun melalui media sosial, semakin memperburuk situasi dan menciptakan lingkungan yang tidak aman.

“Stigma dan diskriminasi yang dialami komunitas ini, terutama dari tenaga kesehatan dan tokoh masyarakat di Solo telah memperburuk kondisi mereka. Hal itu turut menghalangi akses dari kelompok sasaran kunci terhadap layanan kesehatan dan dukungan sosial,” papar dia.

Sentimen: neutral (0%)