Sentimen
Positif (98%)
24 Agu 2024 : 18.11
Informasi Tambahan

Event: Hari Pers Nasional

Institusi: Dewan Pers

Kasus: HAM, PHK

Tokoh Terkait
joko widodo

joko widodo

Keroposnya Pilar Komersialisme Pers dan Realitas Politik Kita Nasional 24 Agustus 2024

24 Agu 2024 : 18.11 Views 3

Kompas.com Kompas.com Jenis Media: Nasional

Keroposnya Pilar Komersialisme Pers dan Realitas Politik Kita Mengajar Komunikasi Politik & Jurnalistik/Penulis PERS sebagai lembaga demokrasi, memiliki tiga pilar utama sebagai penyokongnya. Tiga pilar dimaksud adalah idealisme, profesionalisme, dan komersialisme. Konsep idealisme sebagai pilar penyanggah pers bermakna bahwa kerja-kerja jurnalistik yang dilakukan berorientasi pada pengupayaan berbagai kondisi-kondisi ideal bagi masyarakat, bangsa, dan negara. Kondisi-kondisi ideal yang dimaksud, sebut saja seperti keadilan, kesejahteraan, hak asasi manusia, penegakan hukum, demokratisasi, dan lain sebagainya. Pilar idealisme secara praktis muncul dalam peran, fungsi, dan tujuan pemberitaan. Berita secara manifest adalah update tentang peristiwa yang tengah terjadi. Namun, secara laten berita adalah “alat” pers untuk mengupayakan kondisi-kondisi ideal di atas. Dalam rangka mencapai kondisi-kondisi ideal tersebut, pers harus profesional. Profesionalitas di sini menjadi tanggung jawab dua pihak, yaitu media sebagai institusi pers, dan wartawan sebagai pelaksana kegiatan jurnalistik. Media pers harus profesional, begitu pun wartawannya juga harus profesional. Pilar profesionalitas dalam pers kemudian diterjemahkan dalam pembuatan regulasi; undang-undang dan kode etik. Dalam konteks Indonesia hari ini, agar pilar profesionalisme sebagai penyangga pers tetap berdiri kokoh, dihadirkanlah UU Pers No. 40 tahun 1999. Kode etik jurnalistik juga dibuat untuk lebih mengkonkretkan upaya tetap mengokohkan pilar profesionalisme itu. Dalam hal ini, fokus profesionalisme sebagaimana tertuang dalam kode etik jurnalistik, mengarah pada profesionalisme wartawan dalam kerja-kerja mencari, mengumpulkan, mengolah, dan menyebarluaskan informasi. Profesionalisme juga fokus pada karya jurnalistiknya. Pada akhirnya, untuk menciptakan pers profesional yang memiliki orientasi ideal buat masyarakat, bangsa, dan negara, dibutuhkan sokongan komersial (baca ekonomi). Komersialisme sebagai pilar penyangga sama pentingnya dengan dua pilar sebelumnya. Komerasialisme artinya bahwa pers juga harus berorientasi pada finansial atau mencari keuntungan. Ini dalam rangka menjamin dua hal, yaitu: keberlangsungan proses produksi dan distribusi (kegiatan jurnalistik) di dalamnya, serta jaminan kesejahteraan karyawan (terutama jurnalis ). Muncul kemudian praktik komodifikasi dalam pers untuk menguatkan pilar komersialismenya tersebut. Secara praktis, pers mengkomodifikasi berbagai hal di dalamnya, namun yang biasanya ditampakan secara umum ke publik adalah berita dan konsumen (pembaca, traffic, dan audience). Berita menjadi produk jualan pers kepada konsumen untuk memperoleh pendapatan. Konsumen kemudian juga “dijual” lagi kepada pengiklan. Komersialisme sebagai pilar penyangga pers, secara normatif diamanatkan dalam Pasal 3 UU Pers No. 40 Tahun 1999, yaitu: di samping fungsi media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial (ayat 1), pers juga memiliki fungsi ekonomi (ayat 2). Fungsi ekonomi ini yang kemudian “membolehkan” pers mencari keuntungan dalam kerja-kerja jurnalistiknya. Secara ideal, ketiga pilar penyangga pers tersebut harus berada pada posisi sama. Ibaratnya, tinggi-rendahnya harus sama untuk tetap menjaga keseimbangan pers. Jika salah satu dari ketiga pilar itu lebih tinggi atau lebih kokoh, maka berpotensi merusak pers. Sebaliknya, jika ada salah satu pilarnya lebih rendah atau lebih keropos dari yang lain, maka Pers akan ambruk. Idealisme pers tidak akan tercipta tanpa kerja-kerja profesional yang ditunjukan oleh pers. Namun, untuk menghidupkan dan menjaga profesionalisme, pers membutuhkan komersialisme. Orientasi kepada komersialisme secara membabi-buta, dapat menjauhkan pers dari tujuan-tujuan idealnya. Adapun tujuan ideal (pilar idealisme) adalah basis filosofis hadirnya pers. Meski demikian, jika Pers hanya berorientasi pada idealisme semata, mengabaikan profesionalisme, maka akan melahirkan wajah Pers yang “menghalalkan segala cara” dalam kerja jurnalistiknya; mengabaikan komersialisme, lambat laun Pers juga akan gulung tikar. Menjadi pertanyaan reflektif hari ini, apakah keberadaan ketiga pilar penyangga pers tersebut masih kokoh? Dalam pengamatan penulis, tidak lagi demikian. Pilar komersialisme sedang keropos. Akibatnya, pilar profesionalisme dan idealisme pun terkena dampaknya. Keroposnya pilar komersialisme dapat diamati dari sejumlah hal. Pertama, mulai tumbangnya pers cetak. Fenomena ini tentu tidak hanya di terjadi di Indonesia, di Amerika Serikat pun, Pers cetak telah masuk masa senja, bahkan mungkin tinggal “menghitung hari” untuk terbenam. Kedua, pers televisi (dan radio) yang mulai kehilangan relevansinya oleh karena kehilangan pemirsa. Artinya, pers televisi dan radio juga sedang memasuki “masa senja”. Dalam riset sederhana yang kerap saya lakukan di saat perkuliahan, mahasiswa ditanya kapan terakhir mereka menonton berita di televisi? Jawaban yang saya peroleh dari mereka adalah sekitar enam bulan sampai satu tahun lalu. Mereka lebih banyak mendapatkan informasi lewat potongan video berita yang muncul di media sosial. Ketiga, tren iklan media pers secara umum yang stagnan, bahkan cenderung turun. Pada peringatan Hari Pers Nasional 2023 lalu, Presiden Jokowi pernah menyampaikan bahwa 60 persen dari pendapatan iklan media massa di Indonesia, diambil oleh media digital, dan media digital itu dimiliki asing. Memang, sempat muncul kontroversi pada saat itu, ketika muncul data pembanding dari riset Ac Nielsen yang justru menempatkan belanja iklan televisi nasional justru lebih tinggi, dibandingkan belanja iklan di media digital. Frasa “media pers” dalam pandangan saya, betul-betul harus dipahami secara harafiah. Sehingga perolehan iklan media pers adalah angka pemasukan dari iklan pada media massa yang menjalankan kegiatan jurnalistik. Media cetak, sebagaimana yang saya ungkapkan di atas, jelas belanja iklannya makin menurun, begitu juga radio. Lantas bagaimana dengan televisi? Dalam pandangan saya, trennya mungkin sedikit lebih baik dari media lain. Namun, hal yang perlu digaris bawahi adalah bahwa pendapatan iklan di media televisi lebih banyak “diserap” oleh program-program non-berita (seperti sinetron, reality show, kuis, music, olahraga, dan lain-lain), ketimbang program berita. Persoalan keroposnya pilar komersialisme ini juga melahirkan keengganan para lulusan sarjana (terutama sarjana jurnalistik) memilih profesi jurnalis. Di Amerika, survei ZeepRecuiter, menemukan bahwa jurusan jurnalistik berada di urutan pertama, yang disesali oleh para lulusannya. Sekitar 87 persen dari 2000 lulusan perguruan tinggi yang disurvei menyatakan bahwa jurusan ini paling kecil prospek kerjanya ( Kompas.com , 05/08/2024). Keempat, gelombang PHK yang mulai dialami oleh para wartawan di Indonesia hari ini. Data yang diungkap Dewan Pers menyebutkan sampai tahun 2023 lalu, ada sekitar 800 wartawan yang dirumahkan. Data tersebut belum terhitung wartawan dari Pers lokal. Republika , di medio Mei 2024 lalu, terpaksa melakukan PHK 60 karyawannya. Perusahaan media banyak menggunakan Artificial Intelegent (AI) guna memangkas pengeluaran. Kelima, munculnya fenomena yang saya sebut “Deinstitusionalisasi Pers”, yakni merujuk pada kerja-kerja jurnalistik yang dilakukan oleh orang per orang (personalisasi jurnalistik), tanpa perlu memiliki lembaga pers atau izin perusahan pers dari Kemenkum HAM RI. Personalisasi kegiatan jurnalistik melampaui citizen journalism (jurnalisme warga) karena kerja-kerja jurnalistik mereka bertujuan memperoleh pendapatan secara personal. Informasi yang dihimpun, dipublikasi pada akun personal media sosial mereka dan kemudian memperoleh pendapatan, baik melalui adsense, endorse, atau iklan. Deinstitusionalisasi Pers menyebabkan kerja-kerja jurnalistik yang selama ini cenderung eksklusif (hanya dijalankan oleh perusahaan Pers) mulai menjadi kegiatan inklusif. Banyak masyarakat yang secara profesional melakukan kerja-kerja jurnalistik dengan menghasilkan informasi yang bahkan jauh lebih aktual dan faktual, dibandingkan media Pers mainstream. Muncul dan berjamurnya podcast-podcast yang dimiliki dan dikelola secara personal oleh para jurnalis atau mantan jurnalis, selebriti dan publik figur serta para politisi, adalah bagian dari fenomena ini. Keroposnya pilar komersialisme membawa implikasi kepada realitas politik kita hari ini. Dalam artian, pemberitaan-pemberitaan terkait realitas politik aktual, tidak lagi bebas nilai. Pers dipenuhi dengan berbagai kepentingan di dalamnya. Jika kepentingan yang dimaksud dalam rangka mengawal dan memperkokoh “pilar idealisme”, mungkin tidak masalah (menjalankan fungsinya sebagai “watch dog”). Pangkal soalnya adalah Pers ditarik-tarik ke dalam ranah politik, sebagai alat bagi kepentingan politik tertentu. Pers digunakan oleh aktor politik atau kelompok politik tertentu untuk menyerang aktor politik atau kelompok politik yang lain. Hal demikian terjadi karena Pers mau tidak mau memilih jalan “kompromi” guna menegakan pilar komersialismenya. Banyak bentuk kompromi yang biasanya dijalankan Pers. Dua yang umum terjadi adalah terkait dengan ownership dan intervensi ruang redaksi. Pers diincar oleh kalangan politisi untuk dijadikan "hak milik”. Jika pun ada pengusaha atau pegiat Pers sendiri yang mendirikan perusahaan, lambat laun dia akhirnya jadi politisi. Begitupun pengusaha, memiliki perusahaan Pers, kemudian jadi politisi. Bagi yang tidak punya kepemilikan atas Pers, mengambil jalan intervensi ruang redaksi. Aktor politik atau kelompok politik tertentu menggunakan berbagai macam cara untuk mendapatkan pemberitaan (tentang politik), sebagaimana yang dikehendaki seperti “membeli” wartawan atau Pemred, menekan dengan kekuasaan, menggunakan jalur hukum, uang, dan lain sebagainya. Atas nama komersialisme, ruang redaksi yang idealnya bebas dari berbagai macam kepentingan eksternal, kina rela, bahkan “menyerahkan diri” untuk dikooptasi. Ruang redaksi telah dijual kepada pihak lain untuk mengamankan kepentingannya. Tak ayal, kita akan melihat berita-berita politik yang sifatnya pesanan, peristiwa politik penting yang hilang dari agenda pemberitaan, dan sebagainya. Pamela J. Shoumaker dan Stephen D. Reese (1996) mencoba melihat komersialisme (baca iklan) ini sebagai variable penting yang memengaruhi bagaimana media menjelaskan realitas kepada publik. Dalam Media Routine Theory, Shoumaker dan Reese menempatkan komersialisme sebagai “pengaruh dari luar media” (outsider media level) bersama dengan kelompok outsider lainnya, seperti pemerintah, kelompok penekan, pemirsa, dan lain sebagainya, yang dapat mengarahkan frame pemberitaan media. Banyak wartawan yang beberapa waktu belakangan kehilangan pekerjaannya. Ini adalah implikasi terburuk dari keroposnya pilar komersialisme Pers ini. Ke depan, situasi ini akan terus berlanjut jika pilar komersialisme Pers tidak segera dibijaki. Berbagai pihak perlu mengambil langkah-langkah konkret untuk memperkokoh kembali pilar komersialisme Pers. Pemerintah, misalnya, mungkin perlu membebaskan para wartawan dan perusahaan Pers dari kewajiban membayar pajak, atau minimal mengurangi kewajiban pajak mereka. Ini terutama diberikan pada Pers yang sedang diambang kebangkrutan. Masyarakat harus mulai menumbuhkan kesadaran di dalam dirinya untuk membaca atau menonton berita secara langsung dari media Pers, entah itu berita televisi, berita surat kabar, atau pun berita media cetak. Mendasarkan asupan informasi hanya berdasarkan referensi di media sosial atau media “pengepul”, lambat laun akan mematikan Pers. Pers sudah bekerja dengan tekun menghasilkan berita, sayangnya kita mengakses berita itu dari media sosial atau Google. Sadar yuk! Copyright 2008 - 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

Sentimen: positif (98.5%)