Sentimen
Positif (80%)
13 Jul 2024 : 16.58
Informasi Tambahan

Kab/Kota: Semarang, Grogol, Gambir, Pemalang, Cideng, Tanah Sereal

Kisah Perjuangan Muhaimin Si Pengantar Kayu Bekas, 30 Tahun Tarik Gerobak demi Sekolah Anak Megapolitan 13 Juli 2024

13 Jul 2024 : 16.58 Views 4

Kompas.com Kompas.com Jenis Media: Metropolitan

Kisah Perjuangan Muhaimin Si Pengantar Kayu Bekas, 30 Tahun Tarik Gerobak demi Sekolah Anak Tim Redaksi JAKARTA, KOMPAS.com -  Muhaimin (53) telah 30 tahun merantau di Jakarta demi menafkahi tiga orang anaknya di kampung halamannya di Moga, Pemalang, Jawa Tengah. Sehari-harinya, Muhaimin bekerja sebagai pengantar kayu bekas. Bagi sebagian orang, penghasilan Rp 50.000 mungkin tidak seberapa. Namun, Muhaimin tidak mau menolak rezeki sekecil apa pun. Pecahan warna biru itu dia terima dengan senang hati usai menarik gerobak untuk mengantar kayu-kayu bekas dari Cideng, Jakarta Pusat ke alamat pengantaran di Grogol, Jakarta Barat. Paling jauh, Muhaimin pernah mengantar hingga ke Muara Baru, Jakarta Utara. Upah yang dia terima saat itu bisa dua kali lipatnya, yaitu Rp 100.000 untuk sekali antar. Beberapa tahun mengadu nasib di Jakarta, Muhaimin memutuskan untuk melepas masa lajangnya dan pulang ke kampung. Demi sang istri dan jabang bayi mereka, Muhaimin menetap di kampung dan bekerja di sawah meski harus terbakar matahari. Setelah mencangkul sawah selama setengah hari, Muhaimin dibayar Rp 25.000. Meski terbilang sedikit, dengan hasil kerja kerasnya Muhaimin dapat menghidupi istri dan anak-anaknya. Tapi, situasi berubah saat istrinya tiba-tiba meninggal dunia. Saat itu, anak ketiga Muhaimin belum genap 22 bulan. Saat masih dirundung duka, Muhaimin harus mengambil keputusan sulit. Dia memutuskan untuk kembali mengadu nasib di Jakarta. Saat itu anak pertamanya baru duduk di kelas 5 SD, anak kedua masih di kelas 3 SD, dan si perempuan bungsu baru 22 bulan. “Pikiran saya begini, saya cari duit di luar daerah, biar anak-anak dijaga orang tua (kakek-nenek mereka). Biar (anak-anak) bisa sekolah, maksud saya. Bapaknya capai enggak apa-apa,” ujar Muhaimin saat ditemui di Cideng, Gambir, Jakarta Pusat, Rabu (10/7/2024). Alhasil, Muhaimin kembali berangkat ke Jakarta dan setiap hari menarik gerobak bolak-balik Cideng ke Grogol, Tanah Sereal, atau ke mana pun alamat pengantaran yang disebutkan kustomernya. Setiap harinya, Muhaimin bisa mendapatkan uang sebanyak Rp 100.000-150.000. Uang ini pun disimpan betul-betul. Selain untuk membayar uang kos dan makan serta uang kopi seadanya, selebihnya disimpan untuk biaya sekolah anak. Tapi, Muhaimin yang sibuk di Jakarta berulang kali ditelepon oleh guru-guru di Moga, Pemalang. Mereka melaporkan kalau anak-anak Muhaimin ada yang bolos bahkan tidak masuk sama sekali sampai satu minggu lamanya. Bahkan, salah satu anaknya sempat mau dikeluarkan karena tidak pernah masuk sekolah. “(Waktu itu) saya sudah enam tahun (di Jakarta lagi). Akhirnya, saya kepikiran, sekolahin anak gagal semua, gimana nih,” lanjut dia. Meski berulang kali dikecewakan, Muhaimin tetap melaksanakan kewajibannya. Uang bulanan rutin dikirim. Kadang-kadang, dia pun mengirim lebih demi memenuhi kebutuhan mendadak di rumah. Misalnya, ketika tabungannya baru dikuras senilai Rp 2.480.000 untuk membayar uang daftar ulang anak ketiganya yang kini sudah masuk SMK, dia masih harus mengeluarkan biaya tambahan tidak terduga. “Daftar ulang harus bayar cash Rp 2.480.000. Sudah begitu, pulangnya bawa batik sama pramuka, bahan (kain saja). Dijahit lagi, duit lagi. Satu setel aja Rp 120.000. Sudah Rp 240.000. Minta duit lagi,” imbuh Muhaimin. Dari ketiga anak Muhaimin, dua yang paling tua sudah bekerja. Meski tidak berpendidikan tinggi, setidaknya mereka sudah bisa punya penghasilan sendiri. Tetapi itu bukan berarti mereka sudah bisa meringankan beban Muhaimin. Sebaliknya, Muhaimin masih harus membantu membiayai kehidupan kedua anaknya ini. Misalnya, saat anak keduanya kehabisan uang untuk berangkat kerja di Semarang. Saat itu, tiket yang sudah dibeli secara online justru hangus karena anaknya ini telat bangun sampai-sampai tertinggal kereta. Bukannya mengusahakan jalan untuk sampai ke Semarang, anak ini justru pulang ke Moga dan menelepon bapaknya yang sudah lebih dahulu sampai di Jakarta. Saat itu, hari raya Idul Fitri belum lama berlalu. Muhaimin yang baru tiga hari di Jakarta juga belum mendapatkan permintaan untuk mengantar kayu lagi. “Bapaknya baru berangkat (sampai Jakarta) tiga hari, sudah minta (kiriman uang). Saya belum dapat duit. Akhirnya, tetap saya usahakan orang anak mau berangkat. Kasih Rp 200.000,” tutur dia. Meski sudah lama tinggal di Jakarta, Muhaimin tetap memegang KTP dengan domisili di Pemalang, Jawa Tengah. Dia memilih untuk menyandang status sebagai pendatang di Jakarta. “KTP-nya (masih domisili di) kampung. Enggak mau bikin (pindahkan) ke sini. Entar lama-lama juga pulang lagi ke kampung,” imbuh dia. Walaupun sudah lumayan berumur, Muhaimin mengaku masih perlu menarik gerobak demi anak bungsunya di kampung. Masih butuh waktu tiga tahun sebelum anaknya itu lulus dari SMK jurusan akuntansi. Selama masih sekolah, tentu ada biaya-biaya yang perlu dikeluarkan. Mau tidak mau, Muhaimin masih harus bolak-balik Cideng-Grogol untuk mengantarkan kayu-kayu bekas untuk membangun rumah atau gubuk semi permanen. Muhaimin tidak banyak berharap, dirinya hanya fokus untuk menjalankan kewajibannya sebagai ayah agar nasib anak-anaknya bisa lebih baik darinya. Dia hanya berharap dapat menghabiskan masa tua di kampung usai tuntas menyekolahkan anaknya. “Masih sekolahkan anak dulu. Namanya rezeki, pasti ada (jalan),” tutur Muhaimin lagi. Copyright 2008 - 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

Sentimen: positif (80%)