Sentimen
Informasi Tambahan
Event: Pilkada Serentak
Tokoh Terkait

Heriyanto
UU Pilkada Digugat ke MK, Pemohon Minta Ada Opsi Kotak Kosong di Tiap Daerah
Kompas.com
Jenis Media: Nasional
/data/photo/2024/05/03/66343dcc13691.jpg)
JAKARTA, KOMPAS.com - Undang-Undang tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pemilihan Kepala Daerah/Pilkada) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Pemohon meminta UU Pilkada mengatur agar opsi memilih kotak kosong tersedia di setiap wilayah yang menggelar pilkada, tak hanya daerah dengan calon tunggal.
Pasal-pasal yang diuji antara lain Pasal 79 ayat (1) UU 1/2015, Pasal 94 UU 8/2015, serta Pasal 107 ayat (1) dan Pasal 109 ayat (1) UU 10/2016 digugugat ke Mahkamah Konstitusi.
Heriyanto (Pemohon I), Ramdansyah (Pemohon II), dan Raziv Barokah (Pemohon III) menilai pasal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 karena pasangan calon kepala daerah banyak yang tidak memperhatikan kehendak rakyat, melainkan mengutamakan pilihan elit partai politik.
"Kami melihat justru pasangan yang ada itu lebih banyak dihasilkan dari yang namanya kandidasi buying atau pork barrel politic juga didalamnya Yang Mulia,” ujar Heriyanto selaku Pemohon dalam sidang pemeriksaan pendahuluan Perkara Nomor 125/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta pada Rabu (25/9/2024).
Baca juga: Calon Tunggal Berkurang Signifikan Usai MK dan KPU Jadi Game-Changer Pilkada 2024
Menurut para pemohon, bakal pasangan calon kepala daerah di sejumlah wilayah tidak diusung untuk kepentingan rakyat, melainkan hanya kepentingan penguasa.
Bahkan, karena koalisi gemuk tersebut dibentuk mengakibatkan hanya ada satu pasangan calon kepala daerah, sehingga akan ada pertarungan melawan kotak kosong.
Namun, para Pemohon menginginkan konsep kotak kosong berlaku juga atas daerah yang memiliki dua atau lebih pasangan calon kepala daerah.
Hal ini sebagai bentuk penolakan pemilih untuk memilih pasangan calon kepala daerah yang ada.
Baca juga: Dinilai Diskriminasi Calon Perseorangan, UU Pilkada Digugat ke MK
Pada pokoknya, para Pemohon menginginkan ada fasilitasi terhadap keberadaan suara kosong atau blank vote dengan mengakui keberadaan kotak kosong di dalam surat suara bagi daerah yang memiliki dua atau lebih pasangan calon.
Pokok permohonan juga meminta agar suara kosong sebagai suara sah dan mempengaruhi keterpilihan dari hasil pilkada.
Dalam petitumnya, para Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 79 ayat (1) UU 1/2015, Pasal 94 UU 8/2015, serta Pasal 107 ayat (1) dan Pasal 109 ayat (1) UU 10/2016 bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai seperti yang dimohonkan para Pemohon.
Baca juga: Kata KPU soal Kampanye Kotak Kosong pada Pilkada, Tidak Dilarang tapi…
Ketua MK, Suhartoyo yang memimpin sidang mempertanyakan argumen para pemohon terkait permintaan fasilitas kotak kosong tersebut.
Karena menurut Suhartoyo, jika kotak kosong diterapkan, Pilkada akan sulit mencapai pasangan calon yang konkret terpilih.
"Kalau hanya blank vote dan kemudian untuk representasi suara kosong berarti kan tidak muncul figurnya di sini, bagaimana kemudian itu bisa terpecahkan, para Pemohon bisa memberikan elaborasi di dalam posita termasuk ada dampak tidak di petitumnya, kalau ada petitumnya harus diselaraskan,” ujar Suhartoyo.
Sebelum menutup persidangan, Suhartoyo mengatakan para Pemohon memiliki waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.
Sentimen: positif (66%)