Sentimen
Negatif (79%)
22 Agu 2024 : 17.23
Informasi Tambahan

Institusi: Universitas Hasanuddin, ICJR

Kasus: HAM

Pro dan Kontra Revisi UU Polri, Apa Kata Para Ahli?

22 Agu 2024 : 17.23 Views 5

Fajar.co.id Fajar.co.id Jenis Media: Nasional

Pro dan Kontra Revisi UU Polri, Apa Kata Para Ahli?

FAJAR.CO.ID, MAKASSAR - Wacana revisi Undang-Undang Kepolisian Republik Indonesia (UU Polri) yang sedang dibahas di penghujung masa jabatan anggota DPR RI memicu perhatian serius dari berbagai kalangan.

Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (Unhas) merespons isu ini dengan menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertema "Revisi UU Polri dan Dampaknya terhadap Sistem Peradilan Pidana," yang dihadiri oleh sejumlah pakar hukum dan akademisi.

Dalam FGD tersebut, Dekan Fakultas Hukum Unhas, Prof. Dr. Hamzah Halim, menekankan bahwa revisi ini memiliki dampak besar terhadap sistem hukum di Indonesia, sehingga perlu dibahas dengan sangat hati-hati.

Prof. Hamzah menyebut FGD ini sebagai wadah penting untuk menghasilkan rekomendasi yang tidak hanya sesuai dengan hukum acara, tetapi juga melahirkan aturan hukum yang ideal.

"Kita berharap FGD ini dapat memberikan kontribusi pemikiran yang tepat agar UU Polri dapat lebih melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum secara maksimal," ujar Prof. Hamzah, Selasa (20/8/2024).

Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi (Asperhupiki), Fachrizal Afandi, turut memberikan pandangannya dalam diskusi tersebut.

Dikatakan Fachrizal, revisi UU Polri memang perlu dilakukan, namun tidak boleh dilakukan terburu-buru.

"Revisi UU Polri memang perlu dilakukan, namun tidak boleh dilakukan terburu-buru," kata Fachrizal.

Ia menyoroti beberapa hal dalam RUU Polri yang saat ini sedang dibahas, yang dianggap belum sejalan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

"Beberapa poin dalam RUU Polri saat ini belum sejalan dengan KUHAP dan bisa berdampak negatif pada sistem peradilan pidana," Fachrizal menuturkan.

Salah satu poin penting yang diangkat Fachrizal, tambahan kewenangan bagi Polri untuk menghentikan penyidikan dan/atau penyelidikan (Pasal 16 ayat (1) huruf j), yang tidak dikenal dalam KUHAP.

Selain itu, kewenangan Polri dalam melakukan tindakan seperti pemblokiran atau pemutusan akses ruang siber tanpa penjelasan yang ketat (Pasal 16 ayat (1) huruf q) seharusnya diatur dalam KUHAP dengan pengawasan pengadilan, bukan dalam RUU Polri.

Fachrizal juga menyoroti tugas Polri dalam pembinaan hukum nasional (Pasal 14 angka 1 huruf e), yang menurutnya bertentangan dengan kewenangan Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM.

"Ada kekhawatiran terkait dampak RUU Polri terhadap sistem peradilan pidana," imbuhnya.

Beberapa dampak yang ia soroti, seperti ketidakpaduan proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan persidangan yang disebabkan oleh aturan sektoral.

Selain itu, kata dia, upaya paksa serta penghentian penyelidikan dan penyidikan tanpa adanya check and balance serta kontrol pengadilan, dikhawatirkan akan mempersulit masyarakat dalam mendapatkan keadilan.

Atas dasar berbagai permasalahan tersebut, Fachrizal merekomendasikan agar revisi UU Polri ini ditunda dan pembahasan dilakukan secara lebih cermat, khususnya setelah pengesahan RKUHAP.

"Saya mengusulkan agar pengaturan terkait hukum acara pidana dalam RUU Polri dicabut," tandasnya.

Sementara itu, Iftitahsari, Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), juga memberikan rekomendasi dalam FGD itu.

Ia mendesak Presiden dan DPR RI untuk menunda pembahasan RUU Polri, sembari memperdalam substansi terkait mekanisme pengawasan (oversight mechanism).

"Presiden dan DPR RI perlu menunda pembahasan RUU Polri. Mekanisme pengawasan perlu diperkuat, dan perubahan KUHAP harus menjadi prioritas agar hukum acara yang baru bisa diimplementasikan sebelum 2 Januari 2026," Iftitahsari menekankan.

(Muhsin/fajar)

Sentimen: negatif (79.5%)