Sentimen
Positif (100%)
9 Agu 2024 : 04.06
Informasi Tambahan

Agama: Islam

Kab/Kota: Tuban

Kasus: Pemalsuan dokumen

Tokoh Terkait

Apakah Saudara Tiri Berhak atas Pembagian Harta Warisan Orang Tua?

9 Agu 2024 : 04.06 Views 29

iNews.id iNews.id Jenis Media: Nasional

Apakah Saudara Tiri Berhak atas Pembagian Harta Warisan Orang Tua?

JAKARTA, iNews.id - Harta warisan kerap menjadi sumber konflik dalam hubungan keluarga. Penyebabnya mulai dari karena perbedaan pandangan dalam pembagian, keserakahan ahli waris atau pembagian yang tidak adil hingga ketidaktahuan mengenai hukum warisan.

Belum lagi jika pembagian harta warisan melibatkan saudara tiri. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh pembaca iNews.id yang mempertanyakan pembagian harta waris orang tuanya berupa rumah peninggalan karena dia memiliki saudara tiri. Selama ini dia tinggal di rumah itu dan tiba-tiba saudara tirinya meminta dijual lalu hasilnya dibagi dua.

Baca Juga

Izin Usaha Pinjol Dicabut OJK, Apakah Utang Debitur Dianggap Lunas?

Berikut pertanyaan lengkapnya:

Selamat siang iNews Litigasi. Saya seorang yatim piatu, tinggal di Kelurahan Doromukti, Tuban, Jawa Timur. Saya punya satu saudara, laki-laki, tapi beda ibu (kakak tiri). Nah saat orang tua kami meninggal dunia, terdapat satu rumah peninggalan. Kebetulan rumah itu saya yang menempati. Adapun saudara saya telah lama berkeluarga dan tinggal di rumahnya sendiri.

Baca Juga

Bisakah Tanah Warisan jadi Jaminan di Bank?

Beberapa hari lalu dia datang, meminta rumah itu dijual agar hasil penjualan dibagi sebagai harta warisan. Rumah ini dulunya dibeli bapak saya semasa menikah dengan ibu kandung saya. Jadi bukan ibu kandungnya saudara tiri saya tadi. Nah saya bingung, apakah dia berhak atas warisan rumah itu? Bagaimana bila saya tidak mau menjualnya agar bisa saya tempati, apakah sah secara hukum? Terima kasih

Penanya:
WWP (inisial)

Baca Juga

Saya Pekerja Outsourcing, Apa Keuntungannya Bayar Iuran Tapera saat Potongan Gaji sudah Banyak?

Kami telah menyampaikan pertanyaan pembaca iNews.id kepada Slamet Yuono, S.H., M.H. (Partner pada Kantor Hukum Sembilan Sembilan Rekan). 

Berikut jawaban dan penjelasannya:

Baca Juga

Dana Setor Tunai melalui ATM Diambil Orang Lain, Tindakan Bijak Apa yang Bisa Saya Tempuh?

Kami mengucapkan terima kasih atas pertanyaan Saudara WWP (selanjutnya kami sebut saudara penanya) melalui iNews Litigasi. Kami mencoba memberikan ulasan secara umum dengan memperhatikan kronologinya. Ulasan dan pendapat yang kami sampaikan bisa digunakan sebagai guidance untuk menyelesaikan permasalahan pembagian warisan antara saudara penanya dengan kakak tiri. Harapannya permasalahan dapat diselesaikan melalui musyawarah mufakat tanpa harus melalui proses panjang melalui jalur hukum yang tentunya akan menyita banyak waktu, tenaga, pikiran dan biaya.

I. Tentang Syirkah/Harta Bersama/Gono-Gini 
Di dalam kronologi saudara penanya tidak menjelaskan agama dari pewaris dan ahli waris. Hal ini menjadi penting untuk menentukan hukum waris mana yang digunakan sebagai landasan untuk menentukan bagian dari masing-masing ahli waris mengingat di Indonesia dikenal ada beberapa hukum waris antara lain, Hukum Waris Islam, Hukum Waris Adat dan Hukum Waris Perdata.

Baca Juga

Saya Beli Tanah lewat Pihak Ketiga tapi Dibatalkan Pemilik, Bagaimana Langkah Hukumnya?

Karena keterbatasan informasi yang saudara penanya sampaikan, maka kami mencoba untuk membahas pertanyaan dengan menggunakan dasar hukum waris Islam.

Dalam kronologi saudara penanya menyampaikan memiliki kakak laki-laki tiri (beda ibu) dengan ayah yang sama, dimana ayah dan ibu kandung dari saudara penanya saat pernikahan membeli sebuah rumah. Dengan demikian, rumah yang dibeli orang tua saudara merupakan harta bersama yang diperoleh selama pernikahan. Hal ini sebagaimana dimaksud antara lain dalam:
• Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pada Pasal 135 ayat (1) disebutkan: "Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama";
• Kompilasi Hukum Islam (Buku I, Hukum Perkawinan) Pasal 1 huruf (f) yang menegaskan: "Yang dimaksud dengan Harta kekayaan dalam perkawinan atau Syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapa pun";

Terhadap harta bersama sebagaimana dimaksud dalam permasalahan yang saudara sampaikan maka almarhum ayah saudara penanya memiliki bagian ½ dari harta bersama dan almarhum ibu saudara penanya memiliki bagian ½ dari harta bersama.

Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Kompilasi Hukum Islam (Bab XIII – Harta Kekayaan Dalam Perkawinan) Pasal 97 yang berbunyi: "Janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

II. Ahli Waris dari Pernikahan Kedua
Sebelum membicarakan tentang pembagian warisan, ada baiknya kami menjelaskan terlebih dahulu mengenai ahli waris. Menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 huruf (c) dijelaskan ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.

Selanjutnya dalam Pasal 174 Kompilasi Hukum Islam diuraikan mengenai pengelompokan ahli waris antara lain: 

(1) Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari:
a. Menurut hubungan darah:
- Golongan laki-laki terdiri dari: ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek.
- Golongan perempuan terdiri dari: ibu, anak perempuan, saudara perempuan dari nenek.
b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari: duda atau janda.
(2) Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya: anak, ayah, ibu, janda atau duda.

Dari kronologi yang saudara penanya sampaikan jika dikaitkan dengan Pasal 171  huruf (c) dan Pasal 174 KHI maka kami dapat menyimpulkan antara lain:
1. Ahli Waris dari Alm. Ayah (Pewaris) 
1.a. Dari Pernikahan Pertama adalah janda (Ibu kandung saudara tiri dari penanya jika masih hidup), Saudara laki-laki (saudara tiri beda ibu), Saudara WWP (penanya), jika ayah dan ibu dari pewaris masih hidup maka mereka turut menjadi ahli waris dari pewaris/alm. ayah.
1.b. Dari Pernikahan Kedua adalah saudara laki-laki (saudara tiri beda ibu), Saudara WWP (penanya), jika ayah dan ibu dari pewaris masih hidup maka mereka turut menjadi ahli waris dari pewaris/alm. ayah
2. Ahli Waris dari Alm. Ibu (Pewaris) adalah Saudara WWP (Penanya),  jika ayah dan ibu dari pewaris masih hidup maka mereka turut menjadi ahli waris dari pewaris/alm. ibu.

Selanjutnya  mengenai pembagian harta warisan dari pewaris menggunakan aturan sebagaimana dimaksud dalam Kompilasi Hukum Islam Jo. Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama (Pedoman Beracara Pada Peradilan Agama, Pedoman Khusus, Hukum Kewarisan) Buku II Edisi 2009 
1. Kompilasi Hukum Islam 
• Pasal 176: 
"Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separoh bagian, bila dua orang atau lebih mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian, dan apabila anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki. Maka, bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan".
• Pasal 177: 
“Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian".
• Pasal l78: 
"(1) lbu mendapat seperenam bagian bila ada anak atau dua saudara atau lebih. Bila tidak ada anak atau dua orang saudara atau lebih, maka ia mendapat sepertiga bagian.
"(2) lbu mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah diambil oleh janda atau duda bila bersama-sama dengan ayah.

2. Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama (Pedoman Beracara Pada Peradilan Agama, Pedoman Khusus, Hukum Kewarisan) Buku II Edisi 2009, Halaman 239 s/d 240

• Kompilasi Hukum Islam mengelompokkan ahli waris dari segi cara pembagiannya dalam tiga kelompok sebagai berikut : 
(a) Kelompok ahli waris dzawil furud, yaitu:

(1) Ayah mendapat 1/6 bagian bila pewaris meninggalkan anak keturunan, mendapat ashobah bila pewaris tidak meninggalkan anak/keturunan (ex Pasal 177 KHI jo SE MARI Nomor 2 Tahun 1994). 
(2) lbu mendapat 1/6 bagian bila pewaris mempunyai anak/ keturunan, atau pewaris mempunyai dua orang atau lebih saudara (sekandung, seayah, seibu) mendapat 1/3 jika pewaris tidak meninggalkan anak/keturunan atau pewaris meninggalkan satu orang saudara (sekandung, seayah, seibu). 
(5)  Seorang anak perempuan mendapat 1/2 bagian, dua orang atau lebih anak perempuan mendapat 2/3 bagian, bila tidak ada anak laki-laki atau keturunan dari anak laki-laki.

Berdasarkan uraian sebagaimana kami sampaikan di atas, jika merujuk pada hukum waris Islam maka kakak laki-laki (tiri) bersama saudara penanya mendapatkan bagian waris dari alm. ayah (dari ½ harta bersama/gono-gini) baik dari PERNIKAHAN PERTAMA MAUPUN KEDUA yang besarannya tergantung dari adanya ahli waris lain yaitu janda (dari pernikahan pertama) ayah dan atau ibu dari pewaris (alm. ayah). 
Kemudian, saudara penanya di samping mendapatkan bagian warisan dari alm. ayah juga mendapatkan bagian dari alm. ibu yang besarannya tergantung dari adanya ahli waris lain yaitu ayah dan atau ibu dari pewaris (alm. ibu).

III. Apakah Anak Tiri Mendapatkan Wasiat Wajibah dari Ibu Kandung Saudara Penanya (Pernikahan Kedua)
Mengenai apakah anak tiri mewarisi dari ibu kandung saudara penanya, dalam Kompilasi Hukum Islam sangat tegas disebutkan ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam, dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. Dengan begitu, anak tiri (dalam hal ini kakak laki-laki tiri saudara penanya) bukanlah merupakan ahli waris dari ibu kandung saudara penanya.

Kemudian timbul pertanyaan apakah anak tiri bisa mendapatkan wasiat wajibah dari ibu kandung saudara penanya, jika hal ini dilandaskan pada Kompilasi Hukum Islam, Buku II Hukum Kewarisan, Bab Wasiat, Pasal 209 ayat (2) yang berbunyi:  
"Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya". Dari Pasal 209 (2) KHI tersebut sangat tegas yang bisa mendapatkan wasiat wajibah adalah anak angkat bukan anak tiri.

Namun, Mahkamah Agung (MA) kemudian membuat gebrakan mengenai kedudukan anak tiri dalam pewarisan. MA melalui Surat Edaran Nomor 07 Tahun 20212 tanggal 12 September 2012 tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar MA sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan, pada Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Agama MA Republik Indonesia Tanggal 03 s/d 05 Mei 2012, pada Jawaban No 19 dijelaskan: "anak tiri yang diperlihara sejak kecil bukan sebagai ahli waris, tetapi dapat diberi bagian dari warisan berdasarkan wasiat wasiat".

Dalam praktiknya, Pengadilan Agama pernah memutuskan anak tiri bisa mendapatkan wasiat wajibah. Hal ini sebagaimana Putusan Pengadilan Agama Sengeti melalui Putusan No. 192 /Pdt.G/2015/PA.Sgt Tanggal 29 Desember 2015, pada amar Putusan No. 4 (halaman 175) yang menetapkan porsi pembagian harta waris pewaris kepada anak angkat dengan wasiat wajibah dan "anak tiri dengan wasiat wajibah".

Tetapi kemudian, khusus mengenai anak tiri yang mendapatkan porsi waris dari wasiat wajibah ini dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi dan Kasasi serta Peninjauan Kembali. Hal ini sebagaimana dapat diperhatikan pada Putusan Peninjauan Kembali Nomor 13 PK/Ag/2018 tanggal 28 Maret 2018. Dalam amar putusan pada pokok perkara No 4 (halaman 10), hanya menetapkan porsi pembagian waris untuk anak angkat melalui wasiat wajibah.

Dari penjelasan di atas terdapat ketidakkonsistenan MA mengenai porsi/bagian dari harta waris. Di satu sisi melalui Surat Edaran Nomor 07 Tahun 2012 tanggal 12 September 2012 (Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia Tanggal 03 s/d 05 Mei 2012) menjelaskan anak tiri porsi/bagian waris melalui wasiat wajibah, tetapi di sisi lain melalui Putusan Peninjauan Kembali Nomor 13 PK/Ag/2018 tanggal 28 Maret 2018, anak tiri tidak berhak mendapatkan wasiat wasiat.

Berdasarkan uraian di atas, ada baiknya permasalahan pembagian warisan dari almarhum orang tua baik dari pernikahan pertama dan kedua dapat diselesaikan dengan musyawar mufakat/damai dengan kebesaran hati dari masing-masing ahli waris. Hal ini sejalan dengan Pasal 183 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi: "Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya".

Jika permasalahan waris selalu diselesaikan melalui pengadilan, hal tersebut tentunya akan menyita banyak waktu, tenaga, pikiran dan biaya. Tetapi jika semua jalan penyelesaian di luar pengadilan sudah ditempuh dan tertutup, maka apa boleh buat, penyelesaian melalui pengadilan adalah pilihan terakhir.

Demikian jawaban dan pandangan dari kami Kantor Hukum Sembilan Sembilan dan Rekan terkait dengan pertanyaan yang telah saudara sampaikan melalui iNews Litigasi. Semoga bermanfaat khususnya bagi penanya, serta masyarakat pada umumnya.

Jakarta, 8 Agustus 2024

Hormat kami,

Slamet Yuono, SH., MH
Partner Kantor Hukum  Sembilan Sembilan dan Rekan
(Email: [email protected])


Dasar Hukum: 
1.  Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
2. Kompilasi Hukum Islam;
3. Pedoman Teknis Administrasi dan tehnis Peradilan Agama ( Pedoman Beracara Pada Peradilan Agama,  Pedoman Khusus, Hukum Kewarisan) Buku II Edisi 2009;
4. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 07 Tahun 20212 tanggal 12 September 2012 tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan

Putusan Pengadilan: 

1. Putusan No. 192 /Pdt.G/2015/PA.Sgt Tanggal 29 Desember 2015;
2. Putusan Peninjauan Kembali Nomor 13 PK/Ag/2018 tanggal 28 Maret 2018


Tentang iNews Litigasi

iNews Litigasi adalah rubrik di iNews.id untuk tanya jawab dan konsultasi permasalahan hukum. Pembaca bisa mengirimkan pertanyaan apa saja terkait masalah hukum yang akan dijawab dan dibahas tuntas para pakar di bidangnya.

Masalah hukum perdata di antaranya perebutan hak asuh anak, pencemaran nama baik, utang piutang, pembagian warisan, sengketa lahan tanah, sengketa kepemilikan barang atau jual-beli, wanprestasi, pelanggaran hak paten, dll. Selain itu juga hukum pidana perdata antara lain kasus penipuan, pengemplangan pajak, pemalsuan dokumen, pemerasan, dll. Begitu pula kasus-kasus UU Informasi dan Teknologi Elektronik (ITE) dll.

Editor : Maria Christina

Sentimen: positif (100%)