Sentimen
Positif (79%)
1 Agu 2024 : 08.09
Informasi Tambahan

Kab/Kota: Gunung

Sengkarut Profesor Non-Akademisi

1 Agu 2024 : 08.09 Views 2

Kompas.com Kompas.com Jenis Media: Nasional

Sengkarut Profesor Non-Akademisi

CIVITAS academica perguruan tinggi (PT) saat ini terpecah dalam tiga pandangan terkait penggunaan atau pencantuman “profesor” sebagai jabatan akademik pada nama pemiliknya.

Dua pandangan menyatakan bahwa jabatan akademik profesor tidak perlu dicantumkan kecuali berkenaan dengan hal-hal yang bersifat akademik, dengan alasan berbeda, yaitu “sakralisasi” dan “desakralisasi”.

Sakralisasi Vs Desakralisasi

“Sakralisasi” karena profesor merupakan jabatan akademik tertinggi (bukan gelar akademik) yang berada di puncak hierarki jabatan akademik.

Status ini sama halnya puncak gunung yang diyakini sebagai tempat paling sakral dan suci dalam beberapa ajaran agama, tempat para dewa bersemayam.

Puncak gunung juga diyakini merupakan pusat kekuatan dan tempat sakral yang menghubungkan manusia dengan dewa atau yang dianggap memiliki kekuatan gaib.

Sebagai puncak jabatan akademik, demikian pula halnya dengan puncak gunung, tidak setiap akademisi dan penganut agama bisa mencapainya.

Dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang ada, tidak ada satupun yang “mewajibkan/mengharuskan” pencantuman profesor sebagai jabatan akademik mengiringi nama yang bersangkutan.

Artinya, profesor sebagai jabatan akademik boleh dan sah dicantumkan, tetapi boleh dan sah juga tidak dicantumkan.

UU hanya menyatakan bahwa profesor sebagai jabatan akademik hanya boleh digunakan atau dicantumkan “selama yang bersangkutan masih aktif bekerja sebagai pendidik di perguruan tinggi.”

Jika yang bersangkutan sudah tidak aktif lagi mengajar di PT, maka mereka tidak diperkenankan menggunakannya lagi.

Hal ini juga berlaku untuk jabatan-jabatan akademik lain seperti tenaga pengajar, asisten ahli, lektor, lektor kepala dan atau yang dalam Permenristekdikti No. 164/M/KPT/2019 disebut lecturer, assistant professor, associate professor, dan professor (full professor).

Ketentuan ini berbeda bagi profesor kehormatan (Permendikbudristek No. 38/2021). Pencantuman profesor kehormatan wajib menyertakan nama perguruan tinggi yang menetapkan profesor kehormatan. Walaupun dalam praktik, hal ini diabaikan.

“Desakralisasi” karena profesor bukan “status sosial” yang perlu dikejar dengan segala cara untuk kemudian dipamerkan ke ruang publik sebagai kebanggaan.

Menempatkan profesor sebagai status sosial telah melahirkan tradisi penultusan yang hanya ada, dan bertumbuh kembang di dalam masyarakat dan budaya feudal yang akan semakin meneguhkan kesenjangan diantara civitas academica (Yusuf, 2024).

Pemegang jabatan profesor bukan orang yang “bebas” dari kritik dan kesalahan atau “maksum”. Semua kebenaran, termasuk yang bersumber dari profesor bersifat nisbi, dan terbuka untuk dikritisi melalui “kebebasan akademik”.

Sentimen: positif (79.8%)