Sentimen
Informasi Tambahan
Kab/Kota: Batang
Kasus: korupsi
Partai Terkait
Skandal Cokelat dan Korupsi SYL
Kompas.com
Jenis Media: Nasional
/data/photo/2024/05/06/6638c75661527.jpg)
PADA 1995, skandal politik mengguncang Swedia. Mona Sahlin, politisi partai Sosial Demokrat yang sedang naik daun dan sedang menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri, menggunakan kartu kredit pemerintah untuk membayar belanja pribadi.
Skandal ini menyeruak politik Swedia. Dari investigasi media diketahui, Sahlin menggunakan kartu kredit dinas untuk membayar belanja pribadi, dari membeli pakaian hingga biaya perjalanan pribadi, termasuk beberapa keping cokelat.
Saat itu, Sahlin tengah mencalonkan diri sebagai ketua partai. Jika partainya menang Pemilu, ia akan menjadi Perdana Menteri dan sekaligus perempuan pertama yang menduduki jabatan itu dalam sejarah Swedia.
Namun, skandal itu telah menggiring jalan politiknya ke ujung tanduk. Dalam keadaan terdesak, Sahlin menggelar konferensi pers. Ia berusaha memadamkan api kemarahan publik, termasuk kawan separtainya, atas kasus yang menyandungnya.
Dia berdalih agak kesulitan membedakan kartu kredit pribadi miliknya dengan kartu kredit dinas. Ia juga mempersoalkan ketiadaan aturan yang jelas soal penggunaan kartu kredit dinas.
Ia juga menyebut nilai kartu kredit yang dipakainya tidak banyak, hanya makanan, termasuk beberapa batang cokelat Toblerone. Jadilah skandal itu dikenang dalam sejarah dengan sebutan “skandal Toblerone”.
Meski kasus ini kemudian dihentikan karena tidak ditemukan pelanggaran, jalan politik Sahlin sudah terlanjur meredup.
Dukungan dari rekan separtainya sangat minim. Sementara 66 persen warga Swedia menganggap dia tidak layak menduduki jabatan publik sekelas Perdana Menteri.
Dari kasus itu, kita bisa memetik pelajaran: kemerdekaan pers bisa menjadi senjata efektif untuk melawan korupsi.
Swedia adalah negara pertama di dunia yang mencantumkan kebebasan pers dalam Konstitusinya, pada 1776. Dalam kasus Sahlin, jurnalisme investigasi lah yang mengendus skandalnya pertama sekali.
Kedua, kasus Sahlin telah memantik diskusi tentang perlunya transparansi, termasuk hak rakyat untuk mengakses berbagai dokumen publik terkait belanja pejabat dan penggunaan anggaran dinas. Prinsip transparansi ini turut menjadi mata tombak dalam pemberantasan korupsi.
Ketiga, Swedia sudah meruntuhkan cara pandang politik tradisional, yang menempatkan pejabat politik sebagai pemegang hak istimewa dan harus dihormati. Orang-orang Swedia memperlakukan pejabat politiknya tak berbeda dengan rakyat biasa.
Seperti diceritakan oleh Claudia Wallin dalam bukunya, Sweden: The Untold Story (2018), para menteri dan anggota parlemen di Swedia bepergian dengan bus dan kereta umum.
Tidak ada mobil dinas atau sopir pribadi. Tidak ada kemewahan atau hak istimewa bagi wakil rakyat.
Anggota parlemen juga tinggal di apartemen kecil dan mencuci serta menyetrika pakaian mereka sendiri di binatu umum. Gaji mereka sekitar dua kali lipat gaji guru sekolah dasar.
Sentimen: negatif (96.9%)