Sentimen
Informasi Tambahan
Institusi: UNHCR
Kab/Kota: Aceh Barat
Partai Terkait
Tokoh Terkait
“Tuhan Sudah Kasih Jodoh Saya Orang Rohingya, Saya Syukuri Saja”
Kompas.com
Jenis Media: Nasional
/data/photo/2024/06/20/6673d566801e7.jpeg)
KOMPAS.com - “Salahkah saya mencintai suami saya? Dia juga manusia. Saya tidak melihat suku, ras atau apa, tapi dari kemanusiaan. Apakah dia baik, punya sopan santun, dan mencintai saya serta keluarga saya,” ucap Ulfa Aulia Khairani.
Pada 2014 silam, perempuan berdarah campuran Batak dan Padang berusia 28 tahun ini menikah secara siri dengan seorang pengungsi Rohingya, Korim Syah, di Kota Medan. Namun, status suaminya sebagai pengungsi memaksa mereka hidup terpisah kendati telah berumah tangga.
Ulfa tak sendirian. Setidaknya ada 10 perempuan Indonesia yang menikah siri—perkawinan yang tidak tercatat secara resmi di KUA—dengan para pengungsi Rohingya yang tinggal di penampungan pengungsi Rohingya di Hotel Pelangi, Kota Medan.
Baca juga: Menyoal Kaburnya Pengungsi Rohingya dari Penampungan di Aceh Barat, Diduga ke Malaysia Dibantu Penyelundup
Dari pernikahan itu lahir 29 anak berdarah Indonesia yang disebut pengamat menghadapi ‘kerentanan berlapis’ dari segi akses kesehatan dan pendidikan sehingga membutuhkan bantuan pemerintah
Para perempuan yang menikah dengan pengungsi Rohingya berharap suatu saat dapat ikut dengan suami mereka dipindahkan ke negara ketiga bersama anak-anak.
Ulfa bermimpi suatu saat dirinya, suaminya dan dua anak mereka bisa tinggal di bawah atap rumah yang sama, bertumbuh bahagia, dan hidup sejahtera. Yang terpenting, status pernikahannya diakui.
Namun bertahun-tahun telah berlalu, apakah asa itu semakin tak tergapai? Wartawan BBC News Indonesia Raja Eben Lumbanrau bertemu dengan dua pasangan pernikahan campur ini di Medan dan menyelami problematika yang mereka alami.
Perkenalan hingga menikah dan hidup berbeda rumah BBC/DWIKI MUHARAM Korim mengaku sedih hidup terpisah, beda rumah, dengan istri dan anaknya.Kala saya mendampingi Korim berkunjung ke rumah orang tua Ulfa pada Maret silam, Ulfa sedang menggendong anak keduanya yang masih berusia lima bulan.
Anak pertama Ulfa yang menyadari kedatangan ayahnya, langsung berlari memeluk Korim dan meminta digendong. Berondongan pertanyaan dilontarkan anak laki-laki berusia lima tahun itu kepada ayahnya. Salah satunya, “Bapak ke mana saja kok tak pulang, tidak ajak aku jalan?”.
Walaupun telah menikah, keluarga ini tidak dapat tinggal di bawah atap rumah yang sama.
Bersama dua anaknya, Ulfa tinggal di rumah orang tuanya yang terletak tepat di pinggir Sungai Deli, Medan. Sementara Korim bernaung di Hotel Pelangi—tempat bagi pengungsi Rohingya yang telah belasan tahun berlindung di Indonesia—yang berjarak kira-kira 10 kilometer dari rumah orang tua Ulfa.
Di ruang tamu berdinding kayu dan beratap seng, Ulfa bercerita kepada saya kali pertama dia bertemu Korim adalah pada 2014 usai tamat sekolah menengah atas (SMA).
Baca juga: 3 Penyelundup Pengungsi Rohingya ke Aceh Divonis 8 dan 6 Tahun Penjara
Saat itu, Ulfa bekerja sebagai pelayan toko di dekat rumahnya, sedangkan Korim telah menetap dua tahun di Hotel Pelangi dan mendapatkan status pengungsi dari United Nations High Commissioner For Refugees (UNHCR).
Perkenalan mereka diawali saat Korim membeli minuman es tebu di depan toko Ulfa bekerja. Mereka berbincang-bincang dan berbagi nomor telepon.
”Awal mulanya dia [Korim] bilang orang Aceh, saya percaya saja,” kata Ulfa sambil menatap suaminya yang diikuti tawa.
Setelah pertemuan itu, mereka intens berkomunikasi via telepon. Lambat laun Ulfa pun menaruh curiga tentang asal usul Korim.
“Saya dengar logatnya berbeda. Lalu saya tanya kamu orang apa, Bang? Dia pun jujur bilang, ‘Saya Rohingya, terserah adik mau terima atau tidak’,” kenang Ulfa.
Baca juga: Pengungsi Rohingya Kabur di Aceh Barat, Aktivis Sebut Ada Pembiaran
Mendengar itu, Ulfa lalu menjawab, “Kenapa rupanya? Kan manusia juga.”
“Saya tidak mundur, saya tetap bertahan sama dia,” kata Ulfa yang mengaku saat itu belum terbayang berbagai cobaan yang akan dihadapi apabila berumah tangga bersama Korim.
Setelah mantap hati, Ulfa mengumpulkan seluruh keberanian untuk memperkenalkan Korim kepada orang tuanya.
Status pengungsi yang kapan saja dapat meninggalkan anaknya menjadi kekhawatiran terbesar orang tua, ujar Ulfa.
“Saya yakinkan orang tua, itu pilihan saya. Apapun yang terjadi, konsekuensinya saya terima, dan mereka setuju,” kata Ulfa.
Bagaimana perjalanan Korim sampai ke Indonesia BBC/DWIKI MUHARAM Korim mengaku hingga kini belum ditempatkan ke negara ketiga karena menikah dengan perempuan Indonesia.Korim mengaku meninggalkan Myanmar pada tahun 2005 saat berusia 17 tahun. Ancaman kekerasan bersenjata dan getir kehidupan menjadi alasannya untuk melarikan diri.
Bangladesh adalah persinggahan pertamanya. Di sana, dia bekerja selama satu tahun sebagai tukang bangunan.
Tak lama kemudian, dia bersama puluhan pengungsi Rohingya lain mengarungi Samudra Hindia menggunakan kapal kayu menuju Malaysia.
Di negeri jiran, Korim bekerja serabutan sebagai tukang bangunan, las, hingga pelayan restoran demi menyambung hidup.
Bertahun-tahun hidup dengan status ilegal, Korim memutuskan untuk mencari suaka ke Australia pada 2011.
Baca juga: Kondisi Tenda Penampungan Usai Semua Pengungsi Rohingya di Aceh Barat Kabur
Bersama sekitar 38 pengungsi Rohinya lainnya, dia kembali menempuh perjalanan laut dari Johor Baru, Malaysia, dengan tujuan transit di Indonesia.
Saat transit di Tanjung Balai, Sumatra Utara, rombongan Korim ditangkap aparat keamanan Indonesia dan ditahan di rumah detensi imigrasi (rudenim).
Setahun kemudian, pada 2012, Korim mendapat status pengungsi dan ditampung di Hotel Pelangi, hingga kini.
Setelah tiga bulan saling mengenal dan mengantongi restu orang tua, Ulfa dan Korim memutuskan menikah secara siri.
Bulan madu keluarga baru ini hanya berlangsung sesaat lantaran kesulitan hidup bertubi-tubi menghampiri.
Tak lama setelah menikah, Ulfa dan Korim dihadapkan pada kenyataan bahwa mereka tidak bisa tinggal bersama.
Baca juga: Ditolak Warga, 62 Rohingya Dipindah ke Kantor Camat Tanjung Pura
BBC/DWIKI MUHARAM Korim tinggal di Hotel Pelangi, tempat bagi pengungsi Rohingya yang telah belasan tahun berlindung di Indonesia.Rumah komunitas Pelangi melarang setiap pengungsi Rohingya yang tinggal di sana untuk menginap di luar. Begitu juga sebaliknya, selain pengungsi dilarang tinggal di fasilitas penampungan itu.
Demi bertemu Ulfa di rumah orang tuanya, Korim menempuh perjalanan dengan transportasi umum angkot berbiaya sekitar Rp14.000 pulang pergi. Biasanya, dia mengunjungi rumah Ulfa sejak pagi hingga sore hari.
Saat ini, usia rumah tangga sudah hampir 10 tahun dan Ulfa mengaku remuk redam harus menjalani hubungan beda rumah dengan Korim.
“Sedih sekali Mas, sudah nikah tapi beda tempat. Saya di sini, dia di sana, seperti bukan berkeluarga suami istri,” ujar Ulfa kepada saya.
Baca juga: Kronologi 51 Pengungsi Rohingya Tiba di Langkat, Nahkoda Kabur, Sempat Berjalan di Hutan
Kadang-kadang, kata Ulfa, suaminya terpaksa melanggar aturan dengan menginap satu hingga tiga hari di rumah orang tuanya, baik disebabkan kehabisan ongkos maupun kondisi mendesak lainnya.
Ulfa pun tidak bisa menginap di Hotel Pelangi, timpal Korim.
“Cuma dia sekali-kali ke sana [Hotel Pelangi], tidak bisa tidur, mengobrol bisa. Sedih kali lah, susah lah. Kalau tinggal satu rumah kan aman, senang, sama anak-anak bisa main-main,” kata Korim yang duduk di sebelah Ulfa sambil menggendong anaknya yang terlelap.
Sebagai ayah dan suami, Korim mengaku sedih ketika sering kali dirinya tak pernah ada saat keluarga kecilnya membutuhkan.
“Malam-malam ditelepon sama istri, anak yang kecil demam. Saya tidak bisa datang, sedih sekali,” kata Korim yang telah fasih berbahasa Indonesia.
Terlilit utang hingga status anak tanpa ayah BBC/DWIKI MUHARAM Ulfa dan kedua anaknya tinggal di rumah orang tuanya.Dengan status sebagai pengungsi, Korim bersama belasan ribu pengungsi lainnya dilarang bekerja di Indonesia. Hal itu tercantum dalam surat pernyataan pengungsi pada lampiran Peraturan Dirjen Imigrasi tahun 2010.
Indonesia tidak meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967, sehingga tak ada kewajiban untuk memberikan hak bekerja dan memiliki rumah pada pengungsi.
Ulfa juga mengaku tidak bisa bekerja karena merawat anaknya yang masih menyusui. Keluarga ini pun bergantung pada bantuan rutin sebesar Rp1,25 juta per bulan yang diberikan badan PBB kepada Korim karena statusnya sebagai pengungsi.
Jumlah itu diakui Ulfa tak mencukupi kebutuhan keluarganya. Ulfa bercerita salah satu pengalaman terberatnya adalah ketika anaknya sakit namun mereka tidak memiliki uang untuk berobat.
”Anak saya belum ditanggung BPJS saat itu, saya harus cari pinjaman ke mana-mana,” kenangnya.
Baca juga: Pengungsi Rohingya dari Perairan Malaysia Mendarat di Langkat, Warga Menolak
Sentimen: negatif (100%)